"Berapa lama aku harus menunggu hidupku kembali? Aku bukan boneka yang bisa mereka kendalikan."
Tuan Azka bisa saja mengancamku, membatasi langkahku, bahkan mengikatku dengan perjanjian yang tidak adil. Tapi hari ini, aku memutuskan untuk melangkah keluar dari bayangannya. Demi masa depan yang lebih baik, aku harus melawan, meski risikonya besar.
Aku tahu, keputusan ini akan membuat Tuan Azka marah. Tapi aku tak peduli lagi. Karena aku yakin, ada hidup yang lebih baik menantiku di luar sana. Ini bukan tentang cinta atau pernikahan. Ini tentang kebebasan yang layak aku perjuangkan.
***
Pagi itu, setelah perdebatan yang memanas dengan Azka, Qiana memutuskan bahwa ia harus melangkah maju. Di kamar Tiara, ia menenangkan putri sambungnya yang masih kecil. Tiara duduk di tempat tidurnya, wajah terlihat bingung ketika Qiana duduk di sisinya.
“Tiara sayang, Mama harus pergi sebentar,” ujar Qiana dengan lembut, menyentuh pipi kecil gadis itu.
“Mama au ana? Agan engih!” Tiara meraih tangan Qiana dengan kuat, matanya mulai berkaca-kaca.
Qiana tersenyum, mencoba menghilangkan kegelisahan di hati gadis kecil itu. “Mama cuma sebentar kok, nanti Mama pulang lagi. Selama Mama pergi, Tiara sama Mbak Dilah, ya? Tiara suka’kan main sama Mbak Dilah?”
Tiara mengangguk ragu. “Angan ama, Ma”
Qiana mengangguk sambil mengecup kening Tiara. “Mama janji. Tiara anak pintar, ya?”
Setelah memastikan Tiara tenang, Qiana membawa putri kecil itu ke ruang keluarga di mana Dilah sedang membantu maid yang lain.
“Mbak Dilah, tolong jagain Tiara ya. Saya ada urusan mendesak,” pinta Qiana dengan nada penuh harap.
“Iya, Non. Jangan khawatir, Tiara pasti aman sama saya,” jawab Dilah sambil tersenyum ramah.
Setelah itu, Qiana kembali ke kamarnya, mengambil ponsel, dan menghubungi Vitri, sahabatnya sejak SMA. Vitri adalah mahasiswi semester akhir di salah satu universitas di Jakarta Utara, tempat Qiana berencana mendaftar kuliah.
“Vit, aku jadi ke kampusmu hari ini. Kamu bisa temenin aku, ‘kan?” tanya Qiana dengan nada penuh harap.
“Tentu, Qiana! Aku udah siapin semuanya. Kamu sampai jam berapa?” Suara Vitri terdengar antusias di seberang telepon.
“Mungkin satu jam lagi. Aku harus pastikan semuanya beres di sini dulu,” jawab Qiana.
“Baiklah, aku tunggu di gerbang kampus. Jangan lupa bawa semua dokumen yang diperlukan, ya,” ujar Vitri mengingatkan.
Setelah menutup telepon, Qiana memantapkan hatinya. Ia tahu apa yang ia lakukan mungkin akan memicu masalah baru, tapi ini adalah langkah yang harus diambil demi masa depannya.
Sementara itu, Vera, ibunya Diana, duduk di samping tempat tidur putrinya yang masih terbaring koma. Ruangan itu sudah menyerupai ruang ICU di rumah sakit, lengkap dengan alat-alat medis yang menjaga kehidupan Diana.
Vera menggenggam tangan dingin Diana sambil berbicara dengan suara lembut.
“Diana, Nak, kapan kamu bangun? Semua orang menunggumu. Tiara butuh kamu, Azka butuh kamu,” ujar Vera sambil menyeka air matanya.
Ia berhenti sejenak, menatap wajah pucat Diana, lalu melanjutkan, “Kamu tahu, Qiana sudah mulai menunjukkan belangnya. Dia mencoba merebut Azka darimu. Kalau kamu tidak bangun, semuanya bisa hilang darimu. Jadi, ayo, Nak... bangunlah. Kembalilah ke keluarga kita.”
Vera mengusap lembut rambut Diana, berharap kata-katanya mampu menembus alam bawah sadar putrinya. Namun, seperti biasa, hanya keheningan yang menyambutnya.
***
Perusahaan Grup Bimantara
Azka telah tiba di kantor dengan ekspresi dingin yang khas. Ia belum sepenuhnya melupakan perdebatan dengan Qiana pagi tadi, tapi ia tahu harus fokus pada pekerjaan. Ziyad, asisten pribadinya segera menghampiri begitu Azka keluar dari lift khusus.
“Tuan Azka, Pak Syafiq meminta Anda langsung ke ruang kerjanya,” lapor Ziyad.
Azka mengangguk tanpa banyak bicara dan berjalan cepat menuju ruang kerja papa-nya. Begitu masuk, ia disambut dengan senyum ramah dari Syafiq, papa sekaligus pemimpin paling tertinggi Grup Bimantara.
“Azka, duduk,” pinta Syafiq dengan nada tenang.
Azka duduk di kursi di depan meja besar itu. Syafiq membuka pembicaraan dengan topik yang ringan.
“Bagaimana progres pembangunan mall baru kita?” tanya Syafiq sambil memeriksa dokumen di mejanya.
“Progresnya sesuai jadwal, Pah. Tim di lapangan bekerja dengan baik. Jika tidak ada hambatan, mall akan selesai tepat waktu,” jawab Azka formal.
Syafiq mengangguk puas. “Bagus. Pastikan semua berjalan lancar. Proyek ini adalah salah satu yang terbesar tahun ini.”
Setelah membahas detail proyek selama beberapa menit, Syafiq mengalihkan topik pembicaraan. “Sekarang, bagaimana kabarmu dengan Qiana?”
Azka terkejut mendengar pertanyaan itu. “Kami baik-baik saja, Pah,” jawabnya singkat, mencoba menyembunyikan kebenaran.
Syafiq tersenyum tipis. “Azka, kamu tahu Papa tidak bodoh. Papa bisa melihat ada sesuatu di antara kalian. Qiana itu gadis yang baik. Papa tahu pernikahan kalian bukan pilihanmu, tapi Papa berharap kamu bisa membuka hati untuknya.”
Azka menatap papanya dengan mata tajam. “Pah, aku menjalani pernikahan ini hanya karena kondisi Diana dan Tiara. Tidak ada alasan lain.”
“Azka,” suara Syafiq melembut, “Hidup ini tidak selalu berjalan sesuai rencana kita. Kadang, orang yang awalnya tidak kita inginkan justru menjadi seseorang yang paling berarti. Papa hanya ingin kamu mencoba. Berikan Qiana kesempatan, untuk dirimu sendiri juga. Dan jangan lupa, jika kamu ingin mendapatkan warisan dari Papa, cobalah melunakkan hatimu untuk Qiana.”
Azka terdiam. Kata-kata ayahnya terasa menusuk, tapi ia tetap bersikeras menyembunyikan perasaannya. “Aku akan mempertimbangkan saran Papa,” ucap Azka formal, meski tanpa niat tulus. Tapi, warisan menjadi point utama yang ingin Azka raih sebagai anak tunggal.
Syafiq tersenyum kecil. “Baiklah. Papa percaya kamu akan membuat keputusan yang tepat.”
Setelah itu, Syafiq kembali ke pekerjaannya, dan Azka meninggalkan ruangannya dengan kepala penuh pikiran. Kata-kata Qiana dan Syafiq terus bergema di kepalanya, membuatnya merasa semakin tertekan.
Di waktu yang bersamaan, Qiana sudah dalam perjalanan menuju kampus Vitri. Ia merasa gugup sekaligus bersemangat. Ini adalah langkah pertamanya untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Sesampainya di kampus, Vitri menyambutnya dengan pelukan hangat. “Qiana! Aku senang kamu akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Ayo, aku sudah siapkan semua berkas pendaftaranmu,” ujar Vitri sambil menarik tangan sahabatnya menuju ruang administrasi.
Qiana tersenyum kecil. “Terima kasih, Vit. Kamu selalu mendukungku.”
Vitri menepuk bahu Qiana. “Tentu saja. Kamu berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik.”
Di ruang administrasi, Qiana menyerahkan semua dokumen yang diperlukan. Saat proses pendaftaran selesai, ia merasa lega, seolah satu beban besar telah terangkat dari pundaknya. Namun, di balik rasa lega itu, ia tahu bahwa langkah ini hanya awal dari perjuangan panjang yang akan ia hadapi.
Hari itu menjadi titik balik bagi Qiana. Ia tahu, banyak rintangan yang akan menghadangnya, baik dari Azka, Vera, maupun situasi di mansion.
Namun, ia sudah bertekad untuk melangkah maju, demi dirinya sendiri dan juga Tiara. Di sisi lain, Azka mulai merasa terguncang oleh perubahan sikap Qiana, meski ia terus menyangkal perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya.
***
Azka menatap ponselnya di sela-sela mengecek dokumen yang yang bertumpuk di atas meja kerjanya. Seperti kebiasaannya, setiap hari pria itu pasti akan menghubungi kepala pelayannya untuk mengetahui kondisi mansionnya.
“Siang ini Tiara sedang ngapain, Pak Amir?” tanya Azka saat panggilan telepon terjawab.
“Tadi habis makan siang langsung diajak ke kamarnya, Tuan,” jawab Amir jujur.
“Sama Qiana?” tanya Azka.
“Dua jam setelah Tuan Azka berangkat, non Qiana pergi, Tuan.”
Rahang kokoh pria itu mengetat dan menggertakkan giginya. “Dia sudah berani rupanya melanggar aturan!”
Bersambung ... ✍️