Bab 8. Amarah Yang Terpendam

1121 Kata
Aku tahu tuan Azka tidak akan tinggal diam, tapi aku sudah muak dikekang. Hari ini, aku melangkah keluar untuk mengambil kembali kendali atas hidupku. Demi masa depan dan Tiara, aku harus melawan! Namun, saat aku kembali ke mansion, sesuatu menunggu. Apakah ini akhir dari keberanianku, atau justru awal dari perubahan besar? *** Azka menatap ponselnya tajam setelah menutup telepon dengan Amir, kepala pelayannya. Rahangnya mengeras, sementara tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Qiana berani-beraninya pergi tanpa izinnya, meninggalkan mansion tanpa memberitahu dirinya. Pikirannya penuh dengan amarah yang sulit ia kendalikan. Padahal ia sudah menegaskan pada Qiana tidak boleh pergi. Tapi tidak diindahkan oleh gadis itu. "Dia benar-benar sudah keterlaluan!" gumam Azka, suaranya rendah, namun penuh tekanan. Pria itu segera menghubungi Amir kembali. Begitu panggilan diangkat, ia berbicara tanpa basa-basi. "Pak Amir, segera hubungi Qiana. Katakan padanya Tiara rewel dan dia harus pulang sekarang juga!" perintah Azka dengan nada dingin. Amir terdiam sejenak sebelum menjawab, bingung dengan permintaan itu. "Tuan Azka, apakah tidak sebaiknya Anda sendiri yang menghubungi Non Qiana? Anda pasti lebih mudah menjelaskan situasinya." Azka menegakkan tubuhnya, merasa tersinggung oleh saran itu. "Tidak perlu! Hubungi dia sekarang juga. Itu tugasmu," balas Azka tegas, mengakhiri panggilan tanpa mendengar jawaban lebih lanjut. Di mansion, Amir menatap ponselnya dengan bingung. Ia mengenal baik sifat Azka—pria itu jarang, hampir tidak pernah, berbicara langsung dengan Qiana lewat sambungan telepon. Namun, permintaan kali ini terasa janggal, terutama karena Azka tidak pernah menunjukkan perhatian lebih pada istri keduanya. Amir mencoba menghubungi Qiana beberapa kali, tapi hasilnya nihil. Nomor ponsel Qiana tidak aktif. Dengan ragu, ia kembali menghubungi Azka untuk melaporkan perkembangan situasi. "Bagaimana?" tanya Azka tajam begitu panggilan tersambung. "Maaf, Tuan. Saya sudah mencoba beberapa kali, tapi ponsel Non Qiana tidak aktif," jawab Amir dengan nada hati-hati. Azka terdiam sejenak, tetapi keheningan itu segera pecah oleh suara amarahnya. "Dia pikir dia bisa lolos begitu saja? Saya akan pastikan dia tahu siapa yang berkuasa di sini!" Azka menutup telepon dengan kasar, lalu berdiri dari kursinya. Dengan sekali sapuan tangan, ia menyapu semua dokumen di atas meja kerjanya hingga berhamburan ke lantai. Suara kertas dan map yang berserakan menggema di ruangan besar itu, membuat suasana semakin mencekam. Saat itulah pintu ruangannya terbuka perlahan, dan Ziyad, asistennya, melangkah masuk dengan ragu. Mata pria muda itu membesar melihat kekacauan yang terjadi. "Tuan Azka, apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan nada hati-hati. Azka mengangkat kepalanya, menatap Ziyad tajam, matanya penuh amarah yang masih membara. "Keluar! Jangan ganggu saya sekarang!" bentak Azka, membuat Ziyad mundur beberapa langkah sebelum keluar dengan tergesa-gesa, lalu menutup pintu di belakangnya. Setelah sendirian, Azka mencoba mengatur napasnya. Ia berjalan mondar-mandir di ruangan itu, mencoba memahami perasaannya sendiri. Amarahnya bukan hanya karena pelanggaran Qiana terhadap aturan, tetapi juga karena sesuatu yang lebih dalam—perasaan kehilangan kendali atas situasi. Sementara itu, masih di kampus, Qiana baru saja selesai berbicara dengan petugas administrasi kampus. Ia merasa lega setelah menyerahkan semua dokumen yang diperlukan untuk proses pendaftaran. Vitri, yang setia menemaninya, tersenyum lebar melihat wajah puas Qiana. "Kamu kelihatan lebih tenang sekarang," ujar Vitri sambil menepuk bahu sahabatnya. "Bagaimana rasanya akhirnya mengambil langkah ini?" Qiana menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Rasanya seperti beban besar terangkat, tapi aku tahu ini baru awal. Aku harus siap menghadapi tuan Azka saat kembali nanti." Vitri mengangguk memahami. "Sepertinya pria yang menikahimu dan harus dipanggil tuan itu memang bukan tipe pria yang mudah menerima perubahan. Apa mentang-mentang kamu ini ban serep saudara sepupumu itu? Tapi kamu punya hak untuk ini, Qiana. Jangan biarkan dia menghentikanmu." Qiana tersenyum kecil, merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Vitri yang selalu mendukungnya. "Terima kasih, Vit. Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kamu." Saat mereka berbincang, ponsel Qiana yang sebelumnya mati karena kehabisan baterai kini menyala kembali setelah diisi daya di tasnya. Ia melihat beberapa panggilan tak terjawab dari nomor mansion, namun ia memilih mengabaikannya sejenak, tidak ingin mengganggu momen bahagianya dengan Vitri. Ia sudah terlalu lama terkurung di mansion mewah, untuk bersosialisasi dengan sahabatnya saja begitu sulit. Namun, setidaknya ada media komunikasi yang lain sehingga persahabatan mereka tetap terjaga. Kembali ke mansion Azka, Dilah yang menjaga Tiara, mulai merasa gelisah. Gadis kecil itu mulai rewel, mencari-cari keberadaan Qiana. "Ana Mama? Ana Mama?" rengek Tiara, matanya berkaca-kaca. Dilah mencoba menenangkan Tiara dengan mainan dan makanan ringan, tetapi usaha itu hanya berhasil sementara. Tiara terus menangis, membuat Dilah akhirnya melapor kepada Amir. "Pak Amir, Tiara terus menangis. Apa Non Qiana sudah bisa dihubungi?" tanya Dilah, suaranya cemas. Amir menghela napas panjang. "Saya sudah mencoba, tapi ponselnya tidak aktif. Kita harus menunggu sampai dia kembali." Sementara itu, di kantor Grup Bimantara. Azka duduk kembali di kursinya, mencoba memfokuskan diri pada pekerjaan, tetapi pikirannya terus terganggu oleh keberadaan Qiana. Ia tidak pernah merasa sesulit ini mengendalikan situasi, dan hal itu membuatnya semakin frustrasi. "Kenapa kali ini dia harus membuat segalanya lebih rumit?" gumamnya pelan, matanya menatap kosong ke layar komputer. Ziyad kembali masuk, kali ini dengan hati-hati setelah mendengar suara dari dalam. "Tuan Azka, apakah ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan. Azka menatap asistennya dengan tajam, tetapi kali ini tanpa amarah. "Tidak ada. Keluarkan semua dokumen baru dari meja saya dan beri laporan progres proyek hari ini. Saya tidak ingin diganggu lebih lama." Ziyad mengangguk cepat, mengambil dokumen yang berserakan, dan meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa lagi. Azka mendesah berat, merasa lelah dengan semua yang terjadi. Di dalam dirinya, ia tahu ada sesuatu yang berubah sejak perdebatan terakhirnya dengan Qiana. Gadis itu tidak lagi menjadi sosok yang lemah seperti dulu. Ia semakin yakin, Qiana kini mulai berani menantangnya, dan itu membuat Azka merasa terusik. "Qiana," gumam Azka pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa sebenarnya yang kamu inginkan dariku?" Di balik kemarahannya, Azka mulai menyadari bahwa perasaan itu bukan hanya sekadar frustrasi. Ada sesuatu yang lebih mendalam—sesuatu yang selama ini ia coba abaikan. Namun, Azka bukan tipe pria yang mudah mengakui kelemahan, bahkan pada dirinya sendiri. *** Dua jam kemudian, dalam perjalanan pulang ke mansion, Qiana menatap ponselnya dan melihat panggilan tak terjawab dari Amir. Ia merasa sedikit cemas, tetapi mencoba berpikir positif. "Mungkin Tiara mencari aku," pikirnya. Sesampainya di mansion, Qiana disambut dengan ekspresi lega dari Dilah. "Non, Tiara rewel sekali tadi. Dia terus mencari mama," lapor Dilah. Qiana segera masuk ke kamar Tiara, menemukan putri kecil itu tertidur lelah setelah menangis lama. Melihat wajah mungil itu, Qiana merasa bersalah. Ia mengecup kening Tiara lembut dan berbisik, "Maaf, Sayang. Mama nggak akan lama pergi lagi." Namun, ia tahu ini hanya awal dari konflik yang lebih besar. Di ruangan lain, Amir sedang mempersiapkan diri untuk melapor kepada Azka, sementara Azka sendiri masih tenggelam dalam pikirannya, menunggu momen konfrontasi yang tak terelakkan. Konflik antara mereka semakin memanas, dengan Tiara di tengah-tengahnya sebagai penghubung yang tidak bersalah. Bersambung ... ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN