“Istri yang tidak pernah aku anggap sedang bersama pria lain di taman! Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri ...!”
"Dia pikir bisa bebas begitu saja? Saat aku melihat Qiana tertawa dengan pria asing, aku tahu batas kesabaranku telah habis."
"Apa yang dilakukan wanita itu di taman bersama pria asing? Aku tidak akan tinggal diam melihat ini terjadi di depan mataku!"
***
Di sore hari, Azka menerima telepon dari Amir, kepala pelayan yang setia melaporkan keadaan di mansion.
"Selamat sore, Tuan Azka. Non Qiana sudah kembali ke mansion sebelum jam empat sore," lapor Amir dengan nada tenang.
Azka menyandarkan tubuhnya ke kursi kebesarannya, bibirnya tersungging sinis. "Bagus. Tapi dia pikir ini selesai begitu saja?" gumam Azka, nyaris tidak terdengar.
Amir di seberang telepon hanya terdiam, tidak berani mengomentari apa pun. Setelah itu, Azka mengakhiri panggilan tanpa basa-basi. Pikirannya sudah penuh dengan rencana untuk menghukum istri keduanya yang dianggap melanggar aturannya. Dengan segera, Azka memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya lebih awal.
"Ziyad, urus sisanya. Saya akan pulang sekarang," perintah Azka singkat saat melintasi ruang kerja asistennya.
"Baik, Tuan Azka," jawab Ziyad sambil memperhatikan punggung atasannya yang terlihat lebih tegang dari biasanya.
“Tumben Tuan Azka, pulang cepat. Apa jangan-jangan sesuatu hal terjadi pada nyonya Diana?” gumam Zayid bertanya-tanya.
Di mansion, Qiana yang baru saja tiba segera membersihkan diri. Setelah mandi, ia langsung ke ranjang Tiara yang baru saja bangun dari tidur lelahnya.
"Sayang, sudah bangun? Kita mandi, ya," ucap Qiana lembut sambil menggendong putri kecil itu ke kamar mandi.
Tiara mengangguk kecil, matanya masih setengah mengantuk. Dengan penuh kasih sayang, Qiana memandikan Tiara, menggosok tubuh mungil putrinya dengan sabun aroma lavender. Setelah selesai, ia memakaikan gaun berwarna pastel pada Tiara.
Setelah itu, Qiana menyuapi Tiara sambil berjalan-jalan kecil di sekitar komplek mansion. Stroller yang ia dorong bergerak perlahan, sementara angin sore membelai lembut wajah keduanya.
Di saat akan menuju taman bermain yang ada di komplek, Qiana tidak sengaja bertemu dengan seorang pria yang sedang jogging. Pria itu memiliki tubuh tinggi dengan wajah tampan yang dihiasi senyum ramah.
"Selamat sore," sapa pria itu.
Qiana tersenyum kecil, membalas sopan. "Sore juga."
"Saya Rafeeq, baru pindah ke komplek ini. Mbak-nya penghuni lama di sini?" tanya pria itu, memperkenalkan diri.
"Saya Qiana, tinggal di mansion blok utama. Senang bertemu Anda, Pak Rafeeq," jawab Qiana sambil sedikit membungkukkan badan.
Rafeeq tersenyum. "Tidak perlu terlalu formal, panggil saja Rafeeq atau pakai ‘Mas' juga boleh."
Qiana mengangguk, lalu mereka berbincang santai mengenai komplek yang mereka tinggali sambil berjalan menuju taman bermain. Tiara di stroller terlihat riang, tertawa kecil saat Rafeeq mengajaknya bercanda.
"Putri Mbak Qiana sangat lucu dan cantik. Namanya siapa?" tanya Rafeeq dengan penuh perhatian.
"Tiara namanya, ini anak kakak sepupu saya. Hanya saja biasa panggil saya Mama," jawab Qiana apa adanya, tersenyum menatap putri sambungnya yang sedang bermain dengan boneka kecil di stroller.
“Oh, saya pikir anak Mbaknya, syukurlah kalau begitu,” balas Rafeeq seakan lega saat kembali menatap gadis cantik itu.
Sesampainya di taman, mereka melihat seorang penjual es krim keliling. Rafeeq menawarkan untuk membelikan Tiara dan Qiana es krim.
"Ini, untuk Tiara dan juga Mbak Qiana," ucap Rafeeq sambil menyerahkan es krim.
"Terima kasih, tapi tidak perlu repot-repot sebenarnya, Mas Rafeeq," Qiana mencoba menolak dengan sopan.
"Ah, tidak masalah. Ini bentuk perkenalan kecil dari tetangga baru," jawab Rafeeq ringan.
Qiana akhirnya menerima es krim itu dengan senyum kecil. "Terima kasih sekali lagi, Mas."
Mereka terus berbincang, membahas hal-hal ringan seperti cuaca dan lingkungan sekitar. Tiara yang sedang makan es krim terlihat senang, tertawa kecil sambil sesekali menunjuk mainan di taman.
Di saat bersamaan, sebuah mobil mewah melintas di depan taman. Dari balik kaca gelap, Azka melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Qiana terlihat duduk di bangku taman bersama seorang pria asing. Mereka terlihat tertawa sambil menikmati es krim, sementara Tiara asyik bermain di stroller.
Azka mengerutkan dahi, matanya menajam. "Siapa dia?" gumamnya dengan nada rendah, hampir seperti geraman.
Hatinya meradang melihat Qiana terlihat begitu santai bersama pria itu. Ia tidak peduli apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rasa marah dan kesal bercampur menjadi satu, meski ia sendiri enggan mengakui bahwa ada perasaan lain yaitu kecemburuan yang saat ini melingkupi dirinya.
"Pak Yadi, berhenti di mansion sekarang," perintah Azka kepada sopirnya.
"Baik, Tuan," jawab Yadi tanpa bertanya lebih lanjut.
Sesampainya di mansion, Azka keluar dari mobil dengan langkah panjang dan penuh amarah. Ia langsung masuk ke rumah, melewati Amir yang mencoba menyapanya.
"Tuan Azka, Non Qiana baru saja ...."
Azka mengangkat tangannya, menghentikan Amir untuk berbicara lebih jauh. "Di mana dia sekarang?" tanyanya dingin.
"Sepertinya masih di luar bersama Tiara, Tuan," jawab Amir dengan nada hati-hati.
Tanpa menunggu lebih lama, Azka membuka jasnya lalu memberikannya pada Amir, lalu berjalan keluar lagi, langsung menuju taman tempat ia melihat Qiana sebelumnya.
Di taman, Qiana sedang memeriksa stroller Tiara, memastikan anaknya nyaman setelah bermain. Sementara itu, Rafeeq masih berdiri di sampingnya, berbicara dengan nada ramah.
"Kapan-kapan saya ingin mengenal lebih banyak penghuni di sini. Mungkin Mbak bisa membantu saya?" tanya Rafeeq dengan sopan.
Qiana tersenyum kecil. "Tentu, saya akan coba membantu sebisa saya. Setidaknya Mas juga harus lapor ke RT sebagai penghuni baru di sini.”
Namun, obrolan itu tiba-tiba terhenti oleh suara berat yang sangat dikenali Qiana.
"Qiana."
Qiana menoleh dan langsung menemukan Azka berdiri beberapa meter di belakangnya. Wajah pria itu gelap, matanya tajam menatap ke arah Rafeeq.
"Tuan Azka?" Qiana berbisik, terkejut melihat suaminya muncul tiba-tiba. “Kenapa dia bisa ada di sini,” batin Qiana.
Azka melangkah mendekat, sorot matanya tidak pernah lepas dari Rafeeq. "Siapa dia?" tanyanya dingin, suaranya datar namun penuh tekanan.
Rafeeq yang tidak mengerti situasi itu mencoba memperkenalkan diri. "Selamat sore, saya Rafeeq, tetangga baru di komplek ini."
Azka tidak membalas, hanya menatapnya tajam sebelum mengalihkan pandangan ke Qiana. "Kita pulang sekarang," ucap Azka tegas, tanpa memberi ruang untuk bantahan.
Qiana menghela napas panjang, merasa bahwa ini akan menjadi masalah besar. Ia mengangkat Tiara dari stroller dan menggendongnya, lalu melirik Rafeeq. "Terima kasih untuk sore ini. Saya harus pergi sekarang, Mas Rafeeq," ujar Qiana sopan.
Rafeeq mengangguk kecil, bingung dengan suasana tegang yang tiba-tiba terjadi. "Tentu, Mbak Qiana. Sampai jumpa lagi."
Azka berjalan mendahului mereka ke arah mansion, tidak memedulikan Qiana yang berusaha mengejar sambil membawa Tiara.
Setibanya di mansion, Azka langsung masuk ke ruang kerjanya tanpa berkata apa-apa lagi. Qiana yang merasa lelah dengan sikap suaminya memutuskan untuk mengabaikan sementara. Ia membawa Tiara ke kamar untuk beristirahat setelah hari yang panjang.
Namun, ia tahu, konfrontasi dengan Azka tidak akan bisa dihindari lebih lama lagi. Ketegangan di antara mereka semakin terasa, dan Qiana hanya bisa berharap bahwa dirinya cukup kuat untuk menghadapi badai berikutnya.
Bersambung ... ✍️