Bab 10. Badai Di Ruang Kerja

1304 Kata
Dia hanya pelayan. Tapi mengapa aku merasa marah melihatnya bahagia bersama pria itu. Aku pikir aku sudah bisa mengendalikan diriku, tapi semua berubah saat melihat senyumannya. Aku tahu ini gila, tapi kenapa aku harus merasa seperti ini ketika ia berjalan-jalan tanpa izin. Aku pikir aku hanya membenci tindakan bodohnya, tetapi kenapa amarah ini justru terasa seperti ketakutan yang tak bisa kuterima. Ini bukan hanya soal pelanggaran aturan—ini soal perasaanku yang tak bisa aku sembunyikan *** Di ruang kerjanya yang luas dan megah, Azka menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ruangan itu terasa sunyi, hanya dihiasi detak jam dinding yang mengiringi detak jantungnya yang tidak karuan. Kedua tangannya mengepal, jemarinya menggenggam kuat armrest kursi seolah mencoba menahan amarah yang meluap-luap. "Dia pikir dia siapa?" gumam Azka dengan nada rendah, hampir seperti berbisik. Namun, suara itu menggema seperti petir dalam kesunyian. Tanpa membuang waktu, ia menekan tombol pada line telepon di ruang kerjanya, menghubungi Amir, kepala pelayan yang selalu sigap menjalankan perintahnya. “Pak Amir,” panggilnya, suaranya dingin seperti malam tanpa bintang. “Ya, Tuan Azka?” jawab Amir dengan nada hati-hati. “Panggil Qiana. Suruh dia segera ke ruang kerja saya sekarang juga,” perintahnya tegas. “Baik, Tuan.” Amir menjawab, lalu segera menuju kamar Qiana untuk menyampaikan pesan tersebut. Qiana yang sedang membereskan mainan Tiara mendongak saat mendengar ketukan di pintu. "Non Qiana, Tuan Azka meminta Anda ke ruang kerjanya sekarang," ucap Amir, suaranya pelan namun tegas. Qiana menatap bayangan dirinya di cermin kamar. Napasnya tertahan, hatinya berdesir tak menentu. Panggilan Amir tadi sudah cukup membuatnya tahu bahwa badai sedang menunggunya di ruang kerja Azka. Gadis itu menutup matanya sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum beranjak. "Mbak Dilah tolong temani Tiara sebentar. Saya harus menemui Tuan Azka," pinta Qiana dengan suara lembut namun sedikit gemetar. Dilah mengangguk penuh pengertian. "Baik, Non. Jangan terlalu khawatir, ya." Setelah memastikan Tiara aman bersama Dilah, Qiana berjalan menuju ruang kerja Azka. Setiap langkahnya terasa berat. Udara dingin di mansion yang biasanya menenangkan kini terasa menusuk tulang, seolah ikut mencerminkan suasana hatinya. Kini, Qiana berdiri di depan pintu ruang kerja Azka, tangannya gemetar ringan. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum mengetuk pintu kayu besar itu dengan lembut. Namun, sebelum sempat mengetuk, suara berat dari dalam terdengar lebih dulu. "Masuk!" seru Azka, suaranya rendah tapi penuh tekanan. Qiana membuka pintu perlahan, memperlihatkan sosok Azka yang duduk di balik meja kerjanya. Raut wajah pria itu garang, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya menggenggam ujung meja seolah berusaha meredam amarah yang meluap-luap. "Anda memanggil saya, Tuan Azka?" tanya Qiana dengan nada pelan namun jelas, berusaha menjaga suaranya agar tidak terdengar takut. Azka menatap Qiana tajam, matanya seperti ingin menembus jiwanya. "Tutup pintunya," ucap Azka singkat. Qiana menurut, menutup pintu dan berdiri dengan tenang meskipun debaran jantungnya semakin kencang. Baru saja ia menoleh ke arah Azka, pria itu berdiri tiba-tiba, menghentakkan kedua tangannya ke atas meja dengan keras. Suara gebrakan itu menggema, membuat Qiana terlonjak mundur setengah langkah. "Berani sekali kamu, Qiana! Kamu pikir di sini tempat bermain, yang seenaknya bisa datang dan pergi begitu saja!" Suara Azka meledak, memenuhi ruang kerja yang sebelumnya sunyi. "Keluar dari mansion tanpa seizin saya, berjalan-jalan dengan pria asing di taman, dan bahkan tertawa seolah kamu tidak punya batasan!" tuding Azka, suaranya penuh amarah. Qiana menunduk sesaat, mencoba menahan emosinya. Namun, perlakuan Azka kali ini terlalu melewati batas. Ia mengangkat wajahnya, menatap suaminya dengan tatapan tajam yang jarang ia tunjukkan. "Sudah saya katakan sebelumnya pada Tuan, saya pergi karena ingin mengurus pendaftaran kuliah meski tidak diizinkan. Dan, memangnya salah jika saya membawa Tiara keluar untuk menghirup udara segar? Saya hanya bertemu dengan tetangga baru dan bersikap sopan," jawab Qiana, nadanya tenang namun penuh keberanian. "Dan satu lagi, saya tidak butuh izin untuk melakukan sesuatu yang seharusnya normal bagi siapa pun." Azka tertawa pendek, sinis. "Normal? Jadi kamu pikir menggoda pria lain di depan anak saya itu normal? Jangan berpura-pura, Qiana. Saya tahu benar cara wanita seperti kamu!" bentaknya, kali ini ia menggeser posisi berdirinya. Qiana merasa dadanya sesak mendengar tuduhan itu, tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil, sebuah senyum yang penuh ironi. "Wanita seperti saya, ya, Tuan Azka? Anda lupa bahwa saya hanya pelayan di mansion ini, bukan? Itulah yang selalu Tuan katakan. Jadi kenapa Tuan begitu peduli dengan apa yang saya lakukan?" Azka melangkah mendekat, wajahnya semakin gelap. "Jaga mulutmu, Qiana. Saya tidak peduli apa statusmu. Kamu adalah istri sahku secara agama walau tidak saya anggap, dan itu berarti kamu harus mengikuti semua aturanku tanpa pertanyaan!" Kata-kata Azka bagai cambukan di hati Qiana. Ia ingin menangis, tapi ia tidak akan memberikan kepuasan itu kepada pria di hadapannya. "Istri, ya?" ucap Qiana dengan suara bergetar. "Istri yang Tuan nikahi hanya untuk mengurus Tiara dan menjadi pengganti sementara Kak Diana? Istri yang Tuan perlakukan seperti boneka tanpa perasaan dan berulang kali Tuan juga sudah menekan jika saya ini hanya pelayan! Persetan dengan status istri sah!?" Azka terdiam sesaat, terkejut dengan keberanian Qiana yang tidak biasa. Namun, bukannya mereda, amarahnya justru semakin membara. Ia menghempaskan sebuah buku tebal dari meja ke lantai, membuat Qiana berjengit. "Keluar dari ruangan saya, Qiana. Sebelum saya benar-benar kehilangan kesabaran," ujar Azka dengan suara rendah yang mengancam. Qiana tidak ingin berlama-lama berada di ruangan itu. Dengan kepala tegak, ia melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Namun, begitu pintu tertutup, ia menepuk dadanya yang terasa begitu sakit. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh membasahi pipinya. Saat pintu tertutup, Azka menghela napas panjang. Tangannya mengepal di sisinya, sementara pikirannya dipenuhi kebingungan. Ia tidak tahu mengapa ia begitu marah melihat Qiana dengan pria lain. *** Gadis itu berjalan menuju kamar Azka, tempat di mana ia biasa menyiapkan pakaian pria itu. Meski hatinya hancur, Qiana tetap menjalankan tugasnya. Ia membuka lemari, memilih kemeja bersih dan celana panjang, lalu meletakkannya di atas tempat tidur dengan rapi. Saat menatap pakaian itu, pikirannya melayang. Kenapa aku harus terus bertahan? Kenapa aku harus menerima penghinaan ini setiap hari? Namun, ia menghapus air matanya dan berusaha menguatkan diri. Ia tahu, selama Tiara membutuhkan dirinya, ia tidak akan pergi ke mana-mana. Di sisi lain, Azka yang masih berada di ruang kerjanya, bergumul dengan amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Ia mengacak-acak dokumen di mejanya, membuang segala sesuatu yang ada di hadapannya. Kursi besar di belakangnya ia tendang hingga terguling. "Kenapa aku harus peduli?" gumam Azka, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri. "Dia hanya pelayan. Tapi kenapa hatiku terasa terbakar melihatnya tersenyum pada pria lain?" Azka menatap ruangan yang kini berantakan. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, menarik napas dalam-dalam untuk meredakan emosinya. Namun, bayangan Qiana di taman bersama pria itu terus menghantuinya. "Pak Amir!" panggil Azka dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Amir muncul dengan wajah tegang. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Azka?" tanya Amir hati-hati, melihat suasana di ruang kerja yang berantakan. "Siapkan makan malam. Pastikan semuanya sempurna," perintah Azka singkat. "Baik, Tuan," jawab Amir sebelum bergegas pergi. Kembali ke kamar Azka, Qiana selesai menyiapkan pakaian Azka. Ia memandangi kamar itu sejenak, merasa terasing meskipun ini adalah mansion suaminya. Setelah memastikan semuanya rapi, ia menuju kamar Tiara. Bocah kecil itu sedang bermain dengan Dillah. "Terima kasih, Mbak Dilah. Saya akan menjaga Tiara sekarang," kata Qiana lembut. "Baik, Non Qiana. Jika ada apa-apa, panggil saya, ya," jawab Dilah sebelum pergi. Qiana memeluk Tiara erat, mencari kekuatan dari kehadiran anak itu. Tiara, meski kecil, seolah mengerti kesedihan Qiana. Ia mengusap pipi Qiana dengan tangan mungilnya. "Mama, angan cedih," ucap Tiara dengan suara lembut, kalimatnya masih terbata-bata. Qiana tersenyum tipis, mencium kening Tiara. "Mama tidak sedih, Sayang. Mama hanya lelah." Sementara itu, di ruang makan, Azka duduk dengan wajah dingin, menunggu Qiana dan Tiara. Ketegangan masih terasa di udara. Qiana tahu, perdebatan mereka belum benar-benar selesai. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar, demi dirinya dan juga Tiara. Bersambung ... ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN