Malam itu, usai makan malam yang penuh ketegangan, Qiana dengan hatinya yang terasa sesak akibat perkataan suaminya menggendong Tiara kembali ke kamarnya. Anak kecil itu masih memeluk erat leher ibu sambungnya, sesekali mengusap wajahnya yang basah oleh sisa air mata. Dengan lembut, Qiana membaringkan Tiara di tempat tidur kecilnya, menyelimuti tubuh mungil itu. Ia duduk di tepi tempat tidur, membelai rambut Tiara yang mulai terpejam. “Tidurlah, Sayang,” bisik Qiana, berusaha menenangkan anak itu. Ia menatap Tiara dengan penuh kasih sayang, merasa bersalah karena anak ini harus menyaksikan ketegangan yang tak seharusnya ia lihat. Setelah memastikan Tiara benar-benar terlelap, Qiana bangkit perlahan, beranjak ke kursi dekat jendela. Pandangannya menerawang ke luar, menatap gelapnya malam