Perjanjian Gila

1156 Kata
Di dalam supermarket, Angela berjalan ke tempat makanan instan. Ada beberapa mi dan bubur instan berbaris rapi. Angela memilah dan  memilih sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil mi instan dalam jumlah yang banyak. Leo yang melihat apa yang Angela lakukan langsung menghampiri wanita itu. "Jangan banyak-banyak, kita bisa membelinya lagi jika persediaan habis," cegah Leo. Namun, Angela malah tetap memasukkan banyak mi instan pada troli. Leo berusaha menaruh beberapa mi  ke tempat semula, sialnya Angela tetap bersikeras membeli banyak. "Untuk apa kamu membeli sebanyak itu? Memangnya siapa yang akan membayar?" "Pertanyaan bodoh. Seharusnya kamu tak boleh menjadi bodoh. Jangan membuatku malu, jadilah kekasih yang cerdas," ucap Angela tiba-tiba. Sungguh, hal itu tidak membuat Leo menjadi marah, melainkan berhasil membuat Leo kesal. Sangat kesal. Lancang sekali mengatakan hal seperti itu terlebih di tempat seperti ini. "Tentu saja ini untukmu," tambah Angela. "Baik, tapi aku rasa tak perlu sebanyak itu. Kamu pernah bilang bahwa mi instan bisa membuatmu sakit perut, bukan?" Angela mengangguk, merespons pertanyaan Leo. "Makanya jangan terlalu banyak," pinta Leo. "Tamu adalah ratu, sedangkan kekasih harus dihormati. Dan aku adalah tamu sekaligus kekasihmu. Artinya, tamu sepertiku harus dihormati," ucap Angela sambil bergegas maju, setelah berjarak beberapa langkah dengan Leo, akhirnya ia berhenti dan menatap Leo kembali. "Titik. Tidak pakai koma," tambahnya. Leo hanya bisa geleng-geleng kepala. Entah bagaimana cara menyingkirkan  Angela dari rumahnya. Setiap kali Leo ingin marah pada Angela, hanya dengan menatap wajahnya saja terlebih matanya, hal itu cukup membuat Leo terdiam. Lagi-lagi kemiripan Angela dengan Nadien membuat Leo merasa tak bisa berbuat apa-apa. Matanya, senyumnya. Ah, Leo mengutuk dirinya sendiri yang selalu mengingat Nadien. Bahkan, Leo merasa aneh mengapa tak satu pun yang terlewat. Ya, ketika melihat wanita itu … selalu terbayang wajahnya. Wajah cantik Nadien. *** Leo menggendong Angela yang kini tidur nyenyak. Leo jadi teringat kejadian waktu itu, saat dirinya bertemu Angela untuk pertama kalinya. Baru beberapa hari saja hidup dengan wanita itu, Leo hampir ikut menjadi gila. Apalagi jika menikah? Leo tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika itu semua terjadi. Mungkinkah ia akan berakhir di rumah sakit jiwa? Tidak, jangan sampai itu terjadi. Lagi pula, untuk apa ia memikirkan sampai sejauh itu? Sungguh konyol. Fokus Leo yang tengah memperhatikan Angela mulai buyar saat ponselnya bergetar. Langsung saja ia menggeser layar berwarna hijau. "Iya, Luri?" jawab Leo. Rupanya yang menelepon adalah Luri. "Begini Pak, saya ingin ... hmm, saya ingin meminta izin kalau saya tidak masuk kerja." Leo memindahkan ponsel dari telinga kanan ke telinga kiri. "Kenapa?" "Ini ada hubungannya dengan acara pernikahan saya. Maaf, saya meminta izin lewat telepon. Tadi saat pulang kerja, Bapak sudah tidak di ruangan.” "Oh, berapa hari? Jangan terlalu lama. Saya membutuhkanmu, sangat membutuhkanmu." "Hanya dua hari, Pak." "Baik saya izinkan, selamat malam." Leo menutup ponselnya. Menerima telepon dari sekretaris kepercayaannya membuat Leo kembali berpikir siapa yang akan menggantikan Luri. Bahkan, sampai saat ini Leo belum menuliskan pengumuman lowongan pekerjaan. Leo tak tahu apakah ada yang bisa seperti Luri. Firasatnya mengatakan, akan sulit sekali menemukannya. Andai saja suami Luri mengizinkan wanita itu untuk tetap bekerja, pasti Leo tak akan kesulitan mencari pengganti. Tiba-tiba terbesit pemikiran sebenarnya Angela lulusan apa. Bisakah ia bekerja? Ah, tapi bisa-bisa semuanya jadi gila jika wanita segila Angela menjadi sekretaris Leo. Jangan sampai itu terjadi. Leo yang baru saja akan keluar dari kamar dikagetkan oleh Angela yang tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang. Rupanya wanita itu sejak tadi mengendap-endap untuk membuat Leo terkejut. "Untung saja aku tidak mempunyai riwayat penyakit jantung. Bukannya kamu tidur? Apa pura-pura tidur lagi, hanya untuk dibopong olehku? Asal kamu tahu, kamu ini berat," ucap Leo sambil menstabilkan detak jantungnya. "Aku memang tidur di mobil dan terbangun saat sudah sampai di kamar. Aku berat? Tapi kamu kuat," jawab Angela tanpa merasa berdosa. Tentu saja Leo merasa kesal. "Siapa yang meneleponmu barusan?" tanya Angela secara tiba-tiba. Leo makin heran, rupanya Angela sedari tadi mendengarkan. "Oh itu, Luri." "Siapa Luri?" tanya Angela dengan nada yang terkesan mencurigai Leo. "Sekretaris pribadiku. Memangnya kenapa?" "Oh tidak apa-apa. Hanya saja ada sesuatu yang janggal." "Janggal bagaimana?" "Saya membutuhkanmu. Sangat sangat membutuhkanmu," ucap Angela yang menirukan gaya bicara Leo tadi tetapi dengan versi lebay. "Kurasa aku berbicara tidak se-lebay itu." "Bukankah kekasihmu ini wajar kalau bertanya?" "Dia sekretarisku, wajar saja aku membutuhkan Luri." "Ah, tetap saja aku tak suka," rengek Angela. Leo mendekat ke arah Angela. "Baiklah, maaf. Lalu sekarang apa maumu?" "Ambilkan kertas dan pulpen, lalu kita duduk di ruang depan. Ada yang harus kita bicarakan." Sebenarnya Leo merasa bingung, mengapa permintaan Angela aneh sekali. Untuk apa dan mau apa? Beberapa saat kemudian Leo menghampiri Angela yang sudah duduk manis di ruang tamu. Leo memberikan kertas beserta pulpen kepada wanita itu. Dengan wajah serius, Angela menulis pada kertas itu. Saat Leo berusaha melihat apa yang ditulisnya, sontak Angela langsung menghindar. "Jangan nyontek!" Dengan wajah yang menahan kesal Leo sedikit mundur. "Ini bukan sedang ujian." "Kamu bisa mengganggu konsentrasiku. Baca nanti saja, oke?" Sikap Angela memang aneh dan sulit ditebak. "Selesai!" ucap Angela dengan girang. Lalu menyerahkan kertas itu pada Leo. Leo akhirnya membaca kertas itu. "Tunggu, tunggu ada pesan sebelum kamu membacanya," ucap Angela yang sontak membuat Leo batal membaca. "Apa lagi?" tanya Leo kesal. "Baca dengan suara lantang, ya. Aku juga ingin mendengar." "Untuk apa kamu mendengar? Bukankah kamu yang membuatnya? Kamu sudah tahu isi tulisan di kertas ini." "Tak usah banyak cincong! Baca yang lantang." Tentu saja Leo mengalah. Tak ada gunanya berdebat dengan wanita aneh dan gila seperti Angela. SURAT PERJANJIAN! ucap Leo dengan keras Saya yang bertanda tangan di bawah ini, berjanji : Perasaan Leo sudah mulai tak enak saat membaca bagian ini. 1. Akan selalu membenarkan apa pun yang diucapkan Angela. Leo mengernyit saat membaca poin nomor satu ini. Mana ada perjanjian segila ini, pikirnya. 2. Tidak akan membangkang, selalu menuruti apa yang Angela inginkan. Leo sedikit menggeleng, tapi kemudian kembali lanjut membaca. 3. Akan membahagiakan Angela apa pun dan bagaimanapun caranya, tak peduli betapa sulit atau harus berkorban yang jelas Angela berhak dan wajib mendapat kebahagiaan. 4. Akan selalu ingat bahwa pasal satu Angela selalu benar, jika Angela berbuat salah … harus ingat lagi pasal satu. Leo merasa akan semakin gila. Tak lama kemudian Leo menatap Angela yang sedang tersenyum penuh kemenangan. "Cepat lanjutkan dan baca baik-baik, Leo." 5. Bersedia mendapat hukuman yang setimpal jika berbuat sesuatu yang membuat Angela tak suka. 6. Tidak akan pernah mengusir Angela, dan selalu memperlakukan Angela bak Ratu (karena memang sebenarnya Angela adalah ratu). Membaca poin ini Leo ingin sekali merobek kertas ini. 7. Tidak peduli berapa uang yang harus dikeluarkan karena yang terpenting Angela senang atau ASAL ANGELA SENANG. Disingkat AAS. Leo mengembalikan kertas itu pada Angela. "Aku tidak mau tanda tangan, perjanjian macam apa ini?! Hanya menguntungkan sebelah pihak. Pokoknya aku tak mau dan sangat tidak setuju!" Alih-alih menjawab, Angela malah tersenyum. Lagi-lagi senyuman khas yang membuat Leo tak fokus. "Eits, kamu belum selesai membaca. Kenapa malah dikembalikan?" Angela kembali menyerahkan kertas itu pada Leo. Bagaimana mungkin belum selesai. Leo merasa nomor tujuh adalah poin terakhir. "Baca belakangnya, masih ada tulisan." Leo akhirnya membalik kertas tersebut untuk membaca bagian belakangnya. Jika tak setuju atau keberatan dengan perjanjian ini, Angela bisa menawarkan dan menulis perjanjian lain dengan poin yang lebih banyak. Tanpa ragu, Leo membalik kertas itu dan segera menandatanganinya. Sungguh, Leo merasa cepat atau lambat statusnya akan  berubah menjadi pasien rumah sakit jiwa jika Angela terus berbuat seenaknya seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN