“Kak, ayok. Kalau jalannya di hitung begitu kapan kita sampai di halaman depan?” Arina sudah tidak sabar lagi dengan putri semata wayangnya, yang sejak dari kamar tadi berjalan dengan lambat sekali. Suaminya sudah beberapa kali menelepon meminta mereka untuk segera masuk ke dalam mobil. “Malika ngak jadi ikut saja deh, Ma. Mau dirumah sama Bibik,” ucapnya, kini dia bahkan kembali duduk di anak tangga. “Ngak bisa dong, Kak. Semua perlengkapan buat Kakak sudah di masukan Bibik ke dalam koper masak mau di bongkar lagi?” “Tapi Malika malas sekali buat jalan, Ma. Kayaknya kehabisan tenaga deh.” Melihat putri kesayangannya terlalu banyak alasan untuk menolak di ajak pergi. Arina mengeluarkan jurus rayuan mautnya. “Katanya, mau lihat apa yang di lakukan Nadhief di Magelang? Kalau Kakak nga