"Kak El tahu kenapa Taris gini?"
"Tahu."
"Kenapa?"
"Lo mau jadi milik gue."
Taris terdiam untuk beberapa saat. Ia mencerna ucapan yang El katakan. Namun memang dasarnya Taris polos mendekati bodoh, akhirnya gadis itu hanya menyaut, "Emang Taris barang kak? Kan Taris makhluk hidup kak. Gabisa dimiliki siapa-siapa."
"Serah lo aja, males gue ngomong serius sama lo."
Taris memanyunkan bibirnya sambil menatap lurus ke depan. Elmarc melirik kemudian tersenyum miring. Tangan kirinya mencubit pipi gadisnya. Sedangkan tangan kanannya fokus untuk mengemudi. Cubitan itu benar-benar membuat Taris meringis. "Bibir jangan di manyunin. Mau gue makan tuh bibir?"
Taris reflek melipat rapat bibirnya. Tangannya juga menutup bibirnya. "Ih kak El gaboleh."
"Boleh."
"Enggak boleh!"
"Kalau gue ngomong boleh ya boleh."
"Enggak mau!"
"Harus mau lah."
"Ya enggak! Taris aja gapernah ciuman. Kak El tuh banyak cium cewe cewe yang suka kak El." Gerutu Taris.
"Kata siapa lo gapernah ciuman. Pernah kok. Gue juga pernah ciuman, tapi gak sama cewe cewe yang suka sama gue."
"Kapan? Taris gapernah kok!"
"Pernah."
"Jangan ngarang cerita ya Kak."
Elmarc mengangkat kedua bahunya acuh. Sudah malas berdebat dengan Taris. Yang jelas El masih ingat ciumannya dengan Taris. Dulu, saat ia masih bocah.
"Kak El diem, berarti kak El bener ngarang cerita."
Lagi El yang dasarnya irit bicara hanya tetap fokus menyetir dan diam. Hingga mereka sampai di rumah El.
Pintu gerbang terbuka. El memarkirkan mobilnya di pelatatan depan. Ia turun dan membukakan pintu untuk Taris. Mereka berdua masuk ke mansion El yang terlihat sepi. Kris dan Thalia, ayah dan bunda El sedang ke Bandung mengunjungi nenek Thalia yang tak lain buyut El karena sedang sakit.
"Langsung ke kamar gue aja. Gue bawa cemilan dulu."
"Bunda sama om Kris mana?"
"Ke Bandung. Lupa?"
"Oh.." Taris mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian bersuara kembali. "Taris ke kamar kak El dulu aja ya."
"Hm."
Tarisa menaiki tangga untuk memasuki kamar El yang tidak terkunci. Dan ia terkejut melihat Ido dan Odi yang sedang bermain Play Station di kamar El.
"Kak Ido? Kak Odi? Ngapain?"
"Loh ada dedek Taris? El mana?" Tanya Ido.
"Dibawah. Ambil cemilan. Kakak ngapain kesini?" Tanya Taris balik.
"Ya maen PS lah dek." Saut Odi dengan entengnya.
"Kak Odi sama kak Ido emang gapunya PS di rumahnya? Kok minjem punya kak El?"
Odi dan Ido tidak mengidahkan ucapan Taris. Kedua laki-laki kembar itu malah fokus pada game yang mereka mainkan. Taris tak peduli lagi, ia mengarah pada sofa kamar El kemudian menghempaskan tubuhnya disana.
Tak lama El masuk, dan ia memasang wajah datar melihat tingkah kedua temannya. Satu paket yang selalu menjadi benalu dalam hidupnya. Odi Ido, satu satunya manusia yang mau berteman dengan seorang Elmarc.
"Ngapain sih lo pada? Kerumah gue gamau bacot dulu?" Tanya El.
"Sorry El, kalo kita ngomong. Sudah pasti lo gabakal ngizinin kita. Udahlah lo tenang aja. Gue gabakal ngerusakin PS lo juga." Balas Ido
"Dan kita juga gabakal ganggu kencan lo sama dedek Taris."
El malas berdebat. Ia hanya diam. Tak peduli dengan apa yang kedua temannya ucapkan. Mereka memang sama. Selalu membuat El tak pernah bisa hidup tenang. Dengan gerakan ringan El mengarah pada Taris. Duduk di samping gadis itu. Kepalanya ia sandarkan di pundak gadis itu seraya memainkan ponselnya.
"Kak tas taris gimana?"
"Nanti gue anter lo kerumah tasya."
"Oh gitu, terus kita mau ngapain kak?"
"Diem gini aja, nungguin curut-curut itu pulang."
"Taris pegel di sanderin terus sama kak El. Taris aja yang nyander."
"Lo mulu, gue kapan? Enggak ah ini udah enak posisi gue."
"Kaya kak El gak berat aja."
"Diem aja. Gue mau tiduran bentar."
El memejamkan kedua matanya. Ia menyakui handphone yang ia mainkan. Tak butuh waktu lama untuk El terlelap tidur. Taris masih diam memperhatikan kedua teman El bermain PS.
Hingga tak terasa kedua teman El yang super duper cerewet itu mulai bosan bermain. Tentu saja mereka mengakhiri sesi bermain PSnya.
Odi dan Ido berdiri dari duduk sila mereka. Mengais tas untuk mereka cangking.
"El gue mau pulang du.." Ido tak meneruskan kata-katanya.
"El tidur? Yaudahlah gua sama Ido pulang dulu ya." Tambah Odi.
Taris melirik dan benar saja El tengah terlelap. "Yaudah deh kak, hati-hati dijalan."
"Iya, by the way gamau gue bantuin taroh El ke kasur?"
"Enggak deh kak, kasian nanti bangun. Kak El peka banget soalnya." Bisik Taris.
"Iya udah, kami pulang ya dek."
"Hati-hati."
Sepeninggal kedua bocah kembar itu. Taris melirik ke samping. El dengan damainya terpejam. Bulu mata lentiknya, hidung mancung, mata tajamnya selalu berhasil membuat Taris terpesona. Rasanya hanya El yang berhasil membuatnya terkagum. Kepintaran yang pria itu miliki, bahkan rasa peduli yang berlebih kepada Taris. Meski kadang ia juga kesal saat El bersikap egois dan selalu mengatur kehidupannya. Namun Taris yakin El adalah pria baik.
Taris menyentuh bulu mata pria itu, membuat El sedikit terganggu. Taris sedikit menyunggingkan bibirnya melihat tingkah El. Jika diperhatikan lagi, bibir El tebal bahkan berwarna merah. Sempat Taris berfikir apakah pria yang sudah ia anggap kakak itu memakai liptint?
"Kak El ganteng banget." Puji Taris pelan. Ia berbisik pada dirinya sendiri.
Handphone El berdering. Taris buru-buru mengambilnya dari dalam saku pria itu. Ia hendak mengangkatnya namun lagi-lagi dari "Elena"
"Kak El."
"Kak El," Taris mengguncang pelan pundak El. Dan El terbangun kaget. Matanya sedikit merah, dan ia menatap Taris.
"Apaan?"
"Maaf bangunin kak El, ini ada telfon."
El mengambil handphonenya dari tangan Taris. Kemudian mengangkatnya. Ia bahkan tak sadar kalau telfonnya dari Elena. Teman sekelasnya yang super cerewet dan menuntut ini dan itu kepada El.
"Halo."
"El jangan bilang lo, Ido, sama Odi lupa kalau hari ini kita kerja kelompok bareng?"
"Gue bangun tidur, Odi sama Ido," El mencari keberadaan kedua temannya. Tak ada, ia melirik Taris, "Kemana mereka?"
"Udah pulang kak. Barusan aja. Mau bangunin kakak kasian."
"Udah pulang mereka. Barusan main PS sih di rumah gue tadi."
"Gini nih kalo satu kelompok sama kalian. Udahlah males gue!"
"Biasa aja dong. Gausah ngegas gitu."
"Gimana gak ngegas kalo lo kaya gini El! Odi Ido apalagi! Gue juga selalu di taroh satu kelompok sama kalian. Udah pentolan sekolah, males kerja kelompok lagi."
"Gue males mau bentakin Lo. Selow aja lah. Nanti gue suruh orang buat kerjain tugas kelompok."
"Enteng banget lo ngomong! Tahu ah!"
Tut
Panggilan terputus secara sepihak. El menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Kak El ada tugas kelompok?"
"Mulai deh kepoin urusan gue?" Tanya El balik. Pandangan matanya sudah menajam.
"Taris kan cuma tanya kak."
"Gasuka gue."
"Maaf deh."
El memperhatikan mimik wajah Taris yang tengah menunduk. El mengangkat wajah gadis itu. Mata mereka bertemu. Ingin sekali El menempelkan bibirnya dan bibir Taris. Namun ia tidak ingin melakukannya karena saat ini Taris masih begitu kecil baginya.
"Lo bisa cantik gini sih?" Tanya El.
Blush.
Wajah Taris memanas. Seketika ia menjadi gugup dan salah tingkah.
"Iyalah kak, cewe kan cantik. Mana ada yang ganteng."
"Lo cantik. Mata lo juga. Dan gue suka."
"Berarti kak El suka Taris karena Taris cantik? Ih kak El gaboleh gitu. Suka itu diliat dari hati. Bukan dari fisik." Oceh Taris.
El tersenyum, ia mengusap puncak kepala Taris. "Iya gue tahu, suka itu dari hati. Tapi cowo zaman sekarang emang ada yang gitu? 1 dari 1000 Taris. Dan lagi kalaupun gue suka cewe dari cantiknya, pacar gue udah banyak kali."
"Maksudnya gimana sih kak?"
"Banyak cewe cantik yang gue temui. Ada dari mereka bahkan banyak yang bilang suka gue. Tapi gapernah sedikitpun ada di pikiran gue buat macarin mereka. Gue suka lo cantik, gue suka lo karena itu emang lo. Meskipun lo udah gak cantik lagi gue tetep suka. Selama itu lo, mau lo jelek atau cantik. Tarisa. Gue cinta sama lo. Jadi pacar gue ya."
Blank.
Pikiran Tarisa hilang entah kemana. Tubuhnya memanas mendengar pengakuan El.
"Gue gabisa nahan. Awalnya gue mau ngungkapin perasaan gue pas lo udah SMA. tapi kelamaan. Gue gasuka lo deket sama cowo lain. Lo punya gue."
"Taris gabisa ngomong." Cicit Taris.
"Lo harus mau lah jadi pacar gue. Mau gak mau lo harus bilang iya."
"Kak El kok maksa?"
"Karena gue gabisa terima lo nolak gue."
"Taris bukan nolak, taris gamau pacaran. Taris kan masih.."
"Detik ini, menit, jam, hari, bulan bahkan tahun. Lo resmi jadi pacar gue Taris. Lo milik gue. Selamanya bakalan gitu."
"Kok kak El yang mutusin?"
"Karena gue bisa lakuin apa aja yang gue mau. Termasuk ini."
Cup.
El mencium bibir Taris. Menempelkannya disana cukup lama. Taris hendak mendorong namun El menarik tubuh Taris. Menarik tengkuk gadis itu untuk memperdalam ciuman mereka.
El bahkan tak peduli bahwa pipinya basah karena air mata Taris.
"Jangan nangis."
"Taris takut sama kak El."
"Biasain. Dari hari ini. Gue bakal sering makan bibir lo kalo lo bantah omongan gue."
"Jangan kak El."
Cup.
"Hmpft."
Taris semakin menangis sesenggukan. Ia tak bisa lepas dari El maupun bibirnya. Gadis itu tak tahu lagi harus bagaimana.
Hingga El melepas ciumannya. Menangkup wajah Taris. Kemudian mengusap air mata yang mengalir deras di pipinya.
"Hari ini."
"Lo."
"Resmi jadi pacar gue."
- To be continue -