Sampai di rumah Anisa, Andrean dibuat semakin bingung. Pria itu dipersilahkan masuk ke dalam. Telinganya bahkan menangkap suara Mama Anisa yang meminta pelayan untuk menyiapkan kamar tamu untuk dirinya. “Tante.. Saya langsung kembali saja ke airport. Masih jam segini, pasti masih ada penerbangan buat ke Semarang.” Dibanding menginap terlebih dahulu dan pergi esok hari, Andrean lebih baik tetap berangkat di hari yang sama agar semuanya cepat selesai. Ia sudah tidak sabar untuk meminang wanita pujaannya. “Kamu bodoh atau bagaimana?!” “Ya Om?!” Andrean terperangah. Ia harus segera mengejar waktu dan calon mertuanya malah mengatai dirinya bodoh. Ia tahu jika papa Anisa memang tidak menyukainya. Dirinya mungkin bukan manusia peka layaknya Zidan– tapi hanya dengan melalui tatapan tak bersaha