Andrean sudah memutari berbagai jalanan ibu kota, sejauh ini, belum ada tanda-tanda penjual pesanan istrinya nangkring di bahu jalan. Jika seperti ini, bisa dipastikan Anisa akan mogok sarapan. Hal itu tentu saja tak baik– mengingat makanan yang masuk ke dalam tubuh istrinya tak hanya untuk wanita itu seorang. Ada janin yang juga harus tercukupi nutrisinya. “Baru jam lima gini. Kita nyari kemana lagi, Dan?” Ingin pasrah, namun bayang-bayang kemarahan istrinya sudah melambai di depan mata. Kejam sekali dunia dalam mempermainkan dirinya. Anisa yang hamil, kenapa juga harus dirinya yang repot seperti sekarang. Tidak adil! “Muter lagi aja. Ntar juga nemu kalau udah waktunya!” Jawaban nyeleneh Zidan memancing huru-hara di dalam diri Andrean. Tanpa laki-laki itu katakan, Andrean juga tahu ji