Zidan menangis di dalam pelukan Marini. Pria itu tersengal-sengal sembari menepuk-nepuk dadanya sendiri— Demi Tuhan, ia sudah melewatkan kesempatan emas yang tak mungkin akan datang dua kali di dalam hidupnya. Seharusnya dia menggunakan kesempatan itu dengan baik. Mewujudkan mimpi terakhirnya selain melihat Anisa bahagia— Pulang kepada Tuhannya di rengkuhan hangat wanita yang dirinya cintai. Tapi semua itu tak dapat dirinya usahakan. Ia tak akan pernah tenang nantinya jika pergi membawa kesedihan Dunianya. “Mah..” Ratapan memilukan Zidan menggores hati ibu satu anak yang telah melahirkan pria itu. “Rasanya..” Marini mendekap putranya lebih erat. Tak perlu putranya katakan, Marini merasakan kesedihan itu dengan jelas. “Kamu melakukan yang terbaik, Sayang. Anak hebat Mama.” Tangannya mem