Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar Aruna. Ia terbangun lebih awal, matanya sembab karena semalam hampir tak bisa tidur. Bayangan tatapan Karina dan sindirannya masih terus menghantui. Namun, berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini ia merasa ada sesuatu yang berubah. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang, lalu menatap kedua tangannya yang terkepal. “Aku tidak bisa selamanya jadi korban,” bisiknya pada diri sendiri. Radit masih terlelap di sampingnya, wajahnya terlihat tenang tanpa tahu badai yang sedang menggerogoti istrinya. Aruna menatap suaminya lama, mencoba merasakan kembali cinta yang dulu membuatnya rela meninggalkan segalanya. Ada sesak, ada rindu, ada kecewa yang bercampur menjadi satu. “Seandainya kau benar-benar melihatku, mungkin aku tidak akan

