Pagi itu, rumah terasa seperti museum kenangan. Segalanya masih di tempat yang sama vas bunga kering di meja makan, foto mereka berdua di dinding yang sudah mulai pudar warnanya, bahkan aroma kopi yang biasa memenuhi ruang tamu setiap pagi masih sama. Tapi yang berbeda adalah keheningan yang menggantung. Tidak lagi terasa nyaman, melainkan menyesakkan. Raka duduk di ruang kerja, menatap layar laptop yang menampilkan angka-angka proyek yang bahkan tak lagi mampu ia pahami. Ia mengusap wajahnya pelan, mencoba memfokuskan diri. Tapi pikirannya terus berputar pada kalimat yang diucapkan Sinta malam itu: “Mungkin kamu baru sadar setelah semuanya terlambat.” Kata-kata itu menggema di kepalanya seperti gema dalam ruangan kosong berulang-ulang, tanpa henti. Sinta lewat di depan pintu ruang ker

