Pagi di penjara tidak pernah ramah. Dentuman besi, teriakan sipir, dan langkah kaki yang tergesa selalu menjadi alarm keras yang tak bisa dihindari. Aruna membuka matanya dengan kepala berat. Malam tadi ia nyaris tak tidur, pikirannya terus berputar, mencoba mencari celah untuk bisa bertahan di tempat ini. “Bangun!” teriak seorang sipir sambil memukul-mukul tralis besi dengan pentungan kayu. Suaranya membuat jantung Aruna berdegup kencang. Rasti, teman sel di ranjang sebelah, sudah lebih dulu turun. Dengan wajah datar, ia menyenggol kaki Aruna. “Cepat. Kalau kau terlambat, mereka akan jadikanmu bulan-bulanan.” Aruna buru-buru berdiri. Tangannya gemetar, tapi ia paksa langkahnya keluar sel. Suasana lorong penjara terasa menekan—barisan napi lain berjalan seperti kawanan burung gagak, mas

