Bab 8 – Retaknya Kepercayaan

1112 Kata
Hari-hari berikutnya terasa asing bagi Aruna. Pagi yang dulu selalu hangat dengan senyum Raditya, kini berganti dengan tatapan dingin dan sikap terburu-buru. Ia tak lagi menyentuh sarapan yang disiapkan istrinya, bahkan pamit pun hanya dengan kata singkat. Aruna berdiri di dapur, menatap meja makan yang penuh tanpa disentuh. Tangannya yang masih memegang sendok gemetar. Apa aku benar-benar sudah tak berarti lagi di matanya? Ketika ia mencoba menghubungi Raditya lewat telepon, hanya pesan singkat yang ia terima: Aku sibuk. Jangan ganggu. Di kantor, gosip semakin liar. Ada yang berbisik bahwa Aruna memiliki hubungan khusus dengan atasannya. Ada pula yang menuduhnya sering keluar malam bersama pria lain. Semakin ia berusaha mengabaikan, semakin kuat bisikan itu menampar telinganya. Aruna menundukkan kepala setiap kali melewati meja rekan-rekannya. Ia berusaha fokus pada pekerjaan, namun tulisan di layar komputer sering kabur oleh genangan air mata. Suatu sore, ia mendapati Raditya menjemputnya. Hatinya sempat berbunga, mengira suaminya sudah mulai melunak. Namun ekspresi Raditya tak menunjukkan kehangatan—hanya tatapan penuh tanya. “Ada apa, Mas?” tanya Aruna pelan. “Aku cuma pengin lihat sendiri. Katanya kamu sering dijemput seseorang. Hari ini aku yang jemput,” jawab Raditya datar. Aruna tercekat. Tuduhan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang ia bayangkan. “Mas… aku tidak pernah—” “Sudahlah, Run. Aku nggak mau dengar pembelaanmu terus.” Raditya menyalakan mesin mobil, mengakhiri percakapan sebelum dimulai. Malamnya, suasana rumah semakin mencekam. Karina duduk santai di ruang tamu sambil memainkan ponsel, sesekali melirik kakaknya dengan pandangan simpati palsu. “Mas, aku lihat sendiri tadi teman-temanku ngomongin Kak Aruna. Mereka bilang pernah lihat dia di kafe sama seorang laki-laki.” Raditya mengernyit. “Kamu yakin, Kar?” “Kalau nggak yakin, mana mungkin aku ngomong? Aku cuma nggak tega lihat Mas dibohongi. Aku adikmu, aku cuma ingin yang terbaik.” Aruna yang mendengar dari balik dapur merasakan kakinya lemas. Ia ingin sekali keluar dan membela diri, tapi kata-kata Raditya sore tadi membuatnya sadar: ia tak lagi dipercaya. Ia hanya berdiri di sana, memeluk dirinya erat, berharap pintu rumah itu bisa melindunginya dari racun yang disebarkan Karina. Hari demi hari, jurang di antara Aruna dan Raditya semakin lebar. Senyum jarang singgah di wajah Raditya, sementara Aruna semakin kehilangan semangat. Ia mulai bertanya-tanya dalam hati: Apakah cinta yang dulu begitu kuat bisa dikalahkan hanya oleh gosip dan fitnah? Suatu malam, ketika mereka duduk berdua di kamar, Aruna memberanikan diri bicara. “Mas, kalau ada yang mengganjal, bicaralah denganku. Jangan biarkan jarak ini semakin jauh. Aku masih istrimu, aku masih ingin kita saling percaya.” Raditya menatapnya sebentar, lalu berdiri. “Aku capek, Run. Kamu nggak tahu rasanya jadi bahan omongan orang. Aku harus menanggung malu karena istriku terus digosipkan.” Aruna menggenggam tangannya, memohon. “Mas, lihat aku. Aku tidak pernah melakukan hal-hal itu. Percayalah sama aku, bukan sama mereka.” Namun Raditya melepaskan genggamannya, lalu pergi meninggalkan kamar. Pintu yang tertutup terdengar seperti dinding terakhir yang memisahkan mereka. Aruna duduk sendirian di tepi ranjang. Air matanya jatuh satu per satu, hingga akhirnya tubuhnya berguncang karena tangisan yang tak lagi bisa ia bendung. Kalau kepercayaan sudah retak, apa masih bisa diperbaiki? Besok paginya, ia mencoba bersikap tegar. Ia menyiapkan sarapan seperti biasa, berharap Raditya setidaknya mau mencicipi. Namun suaminya hanya mengambil segelas air putih, lalu keluar tanpa sepatah kata. Di halaman rumah, beberapa tetangga yang sedang menyapu sempat berbisik sambil meliriknya. Aruna pura-pura tidak mendengar, meski jantungnya berdegup cepat. Ia sadar gosip sudah merembet ke luar rumah. Di dalam, Karina tersenyum puas sambil mengetik pesan baru di ponselnya, menyebarkan kabar tambahan yang ia buat-buat sendiri. “Pelan-pelan, Kakak. Kamu akan sadar kalau istrimu hanyalah beban.” Malam berikutnya, Aruna duduk di balkon sendirian. Angin dingin menusuk kulit, namun rasa sepi jauh lebih menyakitkan. Ia memandang bintang yang berkelip samar di langit, berharap ada cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari kegelapan ini. Ya Allah, kalau ini ujian-Mu, beri aku kekuatan. Tapi kalau ini fitnah manusia, tunjukkan kebenaran sebelum aku hancur. Ia memeluk lututnya, berusaha menenangkan diri. Tapi dalam hatinya, ia tahu: badai yang lebih besar sedang menunggu. Dan di kamar sebelah, Karina sudah menyiapkan langkah berikutnya—fitnah yang lebih kejam, yang akan menguji cinta Raditya sampai ke batas terendah. Aruna mulai merasakan tatapan-tatapan aneh setiap kali ia keluar rumah. Di warung dekat komplek, bisikan lirih terdengar jelas di telinganya. “Itu istrinya Mas Radit, kan?” “Iya, katanya selingkuh sama bosnya. Pantes suaminya sekarang keliatan murung.” Aruna menundukkan kepala, menahan rasa malu yang membakar wajahnya. Ia tak pernah membayangkan dirinya akan jadi bahan gunjingan orang-orang yang bahkan tidak mengenalnya dekat. Setibanya di rumah, ia mendapati Raditya sudah duduk di ruang tamu. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Aruna mencoba menyapa, namun suaminya hanya melirik sekilas lalu kembali menatap layar ponsel. “Mas… aku capek sekali hari ini,” suara Aruna pelan, berharap ada sedikit empati. “Ya sudah, istirahat aja. Jangan banyak alasan,” jawab Raditya dingin. Kalimat itu menghantam hatinya lebih keras daripada teriakan. Aruna ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa yang ia butuhkan hanya sedikit kehangatan. Tapi lidahnya kelu. Malamnya, saat ia berbaring, Raditya memilih tidur di sisi paling jauh dari dirinya. Aruna menatap punggung suaminya dengan mata basah, mencoba memahami bagaimana cinta yang dulu begitu hangat bisa berubah jadi dingin seperti es. Apa aku benar-benar akan kehilangan dia karena kebohongan orang lain? pikirnya dengan d**a sesak. Di ruang lain, Karina menuliskan sesuatu di buku catatannya. Senyum puas mengembang di wajahnya. “Besok waktunya tahap berikutnya. Aku akan pastikan gosip ini bukan hanya jadi omongan, tapi juga bukti yang bisa menjatuhkannya.” Aruna tidak tahu, malam itu adalah awal dari fitnah yang lebih kelam—fitnah yang akan menguji seluruh kehidupannya. Esok harinya, Aruna sengaja berangkat lebih pagi ke kantor. Ia berharap bisa menghindari tatapan rekan kerja dan bisikan menusuk yang semakin menjadi-jadi. Namun begitu ia sampai, bisik-bisik itu tetap ada—lebih halus, tapi jelas mengarah padanya. “Kasihan suaminya, dibohongin begitu.” “Kalau aku jadi Mas Radit, udah kutinggalin lama-lama.” Aruna berjalan cepat, pura-pura tak mendengar, meski hatinya seperti diiris perlahan. Sore harinya, ketika ia pulang, ia mendapati Raditya berbincang serius dengan ibunya di ruang tamu. Begitu ia masuk, obrolan itu terhenti seketika. Raditya menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya diam. Aruna tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan keresahan. Namun dalam hati ia tahu, kepercayaannya kini benar-benar terguncang. Di kamar malam itu, ia berdoa lebih lama dari biasanya. Ya Allah, lindungi aku dari fitnah ini. Jangan biarkan aku kalah sebelum sempat membuktikan kebenaran. Sementara itu, Karina menatap dari balik pintu yang setengah terbuka, bibirnya melengkung penuh kemenangan. Fitnah yang ia rajut mulai meresap ke dalam rumah ini, dan sebentar lagi, ia akan memastikan semuanya runtuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN