Bab 7 – Gosip Pertama

1061 Kata
Pagi itu Aruna bangun lebih awal, berusaha menata meja sarapan dengan hati-hati. Ia menyiapkan nasi goreng kesukaan Raditya, menaruhnya di piring dengan telur mata sapi yang digoreng sempurna. Dalam hatinya, ia berharap bisa sedikit memperbaiki suasana. Namun harapannya kembali pupus. Raditya hanya duduk sebentar, lalu menerima panggilan telepon yang membuat wajahnya berubah muram. Tanpa menyentuh sarapan, ia pamit terburu-buru. “Mas, sarapannya—” panggil Aruna, namun hanya dijawab dengan anggukan singkat. Aruna terdiam, menatap punggung suaminya yang berlalu. Ia merasa makin tak berarti. Sore harinya, ketika Aruna pergi ke warung dekat rumah, beberapa ibu-ibu tetangga menatapnya aneh. Bisikan-bisikan terdengar, sengaja dibiarkan agar sampai ke telinganya. “Itu kan istrinya Mas Radit?” “Iya, katanya punya hubungan sama orang kantor, makanya Radit sering pulang larut.” “Masa sih? Tapi aku dengar memang ada yang lihat mereka jalan bareng.” Langkah Aruna terhenti. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu gosip itu berasal dari Karina, karena hanya Karina yang selalu mencari-cari cara menjatuhkannya. Tapi mendengarnya keluar dari mulut orang lain membuat hatinya serasa ditusuk. Dengan wajah pucat, ia segera kembali ke rumah. Di ruang tamu, Aruna mendapati Karina duduk bersama dua orang temannya. Mereka tertawa-tawa, lalu tiba-tiba hening begitu ia masuk. Karina tersenyum miring. “Oh, Kak Aruna… dari mana? Jangan-jangan lagi jalan sama ‘teman kantor’ itu ya?” ucapnya sengaja keras. Tawa kecil meledak dari temannya. Aruna menatap Karina tajam, namun ia memilih diam. Ia tahu, jika membalas, itu hanya akan membuat Karina semakin puas. Malamnya, Raditya pulang dengan wajah dingin. Ia meletakkan tasnya di sofa, lalu menatap Aruna dengan sorot mata penuh tanya. “Aku dengar… ada yang bilang kamu dekat dengan salah satu rekan di kantormu. Itu benar?” Pertanyaan itu menusuk seperti belati. Aruna menahan air matanya. “Mas, kenapa kamu masih bisa tanya begitu? Bukankah seharusnya kamu lebih mengenalku daripada orang lain?” Raditya terdiam, namun keraguannya jelas terlihat. Dan bagi Aruna, itu lebih menyakitkan daripada tuduhan siapa pun. Malam itu, gosip pertama benar-benar menguji batas kesabarannya. Ia mulai sadar: fitnah ini baru saja dimulai, dan entah bagaimana ia harus melewatinya. Setelah percakapan singkat malam itu, suasana rumah menjadi hening menakutkan. Raditya memilih menyalakan televisi dengan volume kecil, seakan ingin mengalihkan pikirannya. Aruna duduk di sampingnya, berusaha mencari celah untuk menjelaskan, tapi setiap kali bibirnya terbuka, tatapan Raditya yang dingin membuatnya urung berbicara. Kenapa Mas Radit tidak percaya padaku? Apa dosaku sampai harus dicurigai begini? hatinya bergetar, namun ia menelan semuanya. Karina muncul dari dapur dengan membawa segelas jus, duduk di seberang sambil pura-pura menggulir ponselnya. “Mas, hati-hati lho kalau dengar gosip. Tapi, biasanya gosip itu ada benarnya. Orang nggak mungkin ngomong kalau nggak lihat sesuatu.” Raditya melirik adiknya sebentar, lalu mendesah. “Kamu jangan sembarangan bicara, Kar.” “Tapi aku serius, Mas,” Karina menatap kakaknya dengan wajah sok polos. “Aku cuma kasihan sama kamu. Jangan sampai dibohongi orang terdekat.” Ucapan itu berhasil membuat Aruna hampir meledak. Namun ia menahan diri, menggenggam tangannya erat di pangkuan agar tidak gemetar. Ia tahu, jika ia berdebat sekarang, Raditya akan menganggapnya defensif. Keesokan harinya, Aruna masih berangkat kerja. Ia mencoba menata wajahnya agar tidak terlihat murung, tetapi di kantor, bisikan-bisikan sudah lebih keras dari biasanya. “Katanya Aruna itu sering dijemput cowok pakai mobil hitam.” “Ah, iya, aku juga dengar. Katanya bosnya.” “Makanya, wajar kalau rumah tangganya mulai bermasalah.” Aruna berjalan melewati lorong kantor dengan langkah berat. Senyum tipis yang dipaksakan terasa seperti topeng rapuh yang bisa runtuh kapan saja. Sepulang kerja, ia sengaja berjalan kaki lebih lama sebelum tiba di rumah. Ia butuh udara segar, butuh waktu untuk menenangkan hati. Namun begitu sampai, ia kembali mendapati Karina duduk di ruang tamu, kali ini bersama ibunya. “Run,” suara Ibu mertua terdengar tajam, “kamu tahu kan, nama baik keluarga ini harus dijaga? Jangan sampai ada hal-hal memalukan yang bikin orang lain menuduh macam-macam.” Aruna menelan ludah. “Bu, saya tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu.” “Kalau begitu, buktikan!” potong Karina cepat. “Tunjukkan kalau semua gosip itu salah. Jangan hanya pakai kata-kata manis.” Malam itu, Aruna benar-benar kelelahan. Ia berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Kenapa aku harus terus membuktikan hal yang tidak kulakukan? Kenapa orang-orang yang seharusnya melindungiku justru menjeratku? Air matanya jatuh lagi. Ia merasa sendirian, meski Raditya ada di ruangan yang sama. Raditya masuk ke kamar beberapa menit kemudian. Ia menatap istrinya yang berbalut selimut, lalu duduk di sisi ranjang. “Run… aku ingin percaya sama kamu. Tapi kamu juga harus jujur kalau ada hal yang aku nggak tahu.” Aruna menoleh dengan mata basah. “Mas… apa artinya semua janji kita dulu kalau kamu lebih percaya gosip daripada aku?” Raditya terdiam. Ia tidak punya jawaban, hanya menghela napas panjang dan akhirnya berbaring membelakangi istrinya. Aruna memejamkan mata rapat-rapat, menahan sakit yang kian menusuk. Ia bisa merasakan perlahan cintanya diuji oleh fitnah yang semakin kuat. Dan di luar kamar, Karina tersenyum puas dalam gelap, merencanakan langkah berikutnya Aruna berusaha tidur, tapi matanya tak juga terpejam. Setiap detik, kata-kata Karina dan ibunya bergema di kepalanya. Ia menatap punggung Raditya yang membelakanginya, berharap suaminya berbalik dan meraih tangannya. Namun yang ia dapatkan hanya keheningan. Dulu, Mas Radit selalu bilang aku adalah rumahnya. Lalu kenapa sekarang aku merasa jadi orang asing di rumahku sendiri? pikirnya dengan perih yang menusuk. Aruna akhirnya bangkit, berjalan pelan ke balkon. Malam begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan angin dingin yang menyapa. Ia memeluk dirinya sendiri, merasakan kesepian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Di ruang lain, Karina masih belum tidur. Ia menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan-pesan gosip yang sengaja ia sebarkan melalui grup kecil. Senyumnya merekah penuh kemenangan. “Pelan-pelan, Kakak. Kamu akan lihat, Aruna bukan pasangan yang pantas untukmu.” Ia tahu, semakin sering Raditya mendengar gosip, semakin besar keraguannya. Dan ketika keraguan itu tumbuh, Karina akan memastikan ia menjadi orang yang Raditya percaya penuh. Keesokan harinya, Aruna mendapati Raditya sudah berangkat lebih pagi tanpa pamit. Hatinya remuk, seolah ada dinding tak kasat mata yang kini berdiri di antara mereka. Ia menunduk lama di meja makan, sendok di tangannya gemetar. Ya Allah, kuatkan aku… kalau ini ujian, jangan biarkan aku kalah sebelum berjuang. Namun, di sudut ruangan, Karina menatapnya sambil menyeruput kopi dengan ekspresi puas. Benih yang ia tanam mulai tumbuh, dan ia tak sabar menyaksikan pohon kebencian itu menjulang tinggi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN