Hari Minggu pagi, Aruna kembali ke rumah Raditya. Dengan langkah pelan ia membawa koper kecil berisi pakaian. Hatinya sempat berat meninggalkan rumah orang tuanya, tempat ia baru saja menemukan ketenangan. Namun sebagai seorang istri, ia tahu kewajibannya adalah mendampingi suaminya, bagaimanapun keadaannya.
Setibanya di rumah, suasana sepi. Hanya terdengar suara Karina yang berceloteh dari ruang tamu, entah sedang menelpon siapa. Begitu melihat Aruna muncul di ambang pintu, senyumnya langsung sinis.
“Oh, ternyata kamu masih betah pulang juga?” sindir Karina dengan suara lantang, seolah ingin memastikan seluruh rumah mendengarnya.
Aruna menahan napas, tidak membalas. Ia memilih menurunkan kopernya dan melangkah masuk.
Tak lama, Ibu mertua keluar dari kamar. Tatapan dinginnya menyapu Aruna dari kepala sampai kaki. “Kamu bisa pulang kapan saja, tapi jangan harap suasana di sini akan sama. Jangan kira kami lupa semua sikapmu selama ini.”
Aruna terdiam. Hatinya perih, tapi ia masih mencoba tegar. “Bu, saya minta maaf kalau selama ini ada salah…” ucapnya pelan.
“Jangan banyak alasan. Kalau benar-benar mau jadi istri yang baik, tunjukkan dengan perbuatan, bukan kata-kata,” potong mertuanya cepat.
Raditya yang baru saja turun dari lantai atas ikut menyaksikan. Lelaki itu tidak membela Aruna, hanya menghela napas panjang lalu berjalan melewati mereka. “Run, simpan kopermu di kamar. Aku ada urusan di luar.”
Aruna menatap punggung suaminya yang menjauh tanpa sepatah kata manis pun. Sejenak, ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Malamnya, Aruna mencoba menghidangkan makan malam. Ia menata meja dengan penuh hati-hati, berharap bisa sedikit mencairkan suasana. Namun ketika semuanya siap, Raditya justru tidak pulang. Yang duduk di meja hanya Ibu mertua dan Karina, keduanya menyantap makanan tanpa menoleh sedikitpun padanya.
“Sayurnya terlalu asin,” komentar Karina dengan wajah masam.
“Kalau begini terus, kasihan Radit,” tambah Ibu mertua, menggeleng.
Aruna menggenggam sendok erat-erat, matanya panas menahan tangis. Ia sudah berusaha, tapi seakan apa pun yang dilakukannya selalu salah.
Malam itu ia berbaring sendirian, menatap kosong ke arah pintu kamar yang tak juga terbuka. Raditya pulang larut malam, langsung tidur di sofa ruang tamu.
Aruna bergumam pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Apakah aku benar-benar pantas mendapat semua ini? Apa salahku sebenarnya? Kenapa mereka begitu membenciku?”
Air matanya jatuh satu per satu, membasahi bantal. Dalam diam, Aruna mulai merasakan sesuatu yang mengerikan—rasa takut bahwa perlahan, ia akan kehilangan suaminya, bahkan sebelum benar-benar kehilangan dirinya sendiri
Aruna bangun tengah malam, tak bisa tidur. Lampu meja kecil menyala temaram, memperlihatkan bayang-bayang di dinding kamar. Dari sela pintu yang sedikit terbuka, ia bisa melihat Raditya masih terbaring di sofa ruang tamu. Lelaki itu tidur dengan wajah lelah, alisnya berkerut seolah terbebani banyak pikiran.
Aruna ingin menghampiri, ingin menutupinya dengan selimut, tapi langkahnya terhenti di depan pintu. Ada jarak yang begitu nyata di antara mereka. Bukan hanya jarak fisik, melainkan jarak hati.
Apa aku sudah kehilangan Radit? Atau masih ada sedikit ruang untukku di hatinya? pikirnya lirih.
Air matanya jatuh lagi. Ia menutup pintu perlahan, lalu kembali ke ranjang. Namun sebelum memejamkan mata, suara lirih terdengar dari luar kamar. Suara Karina, yang entah mengapa masih belum tidur.
“Kasihan Mas Radit,” ucap Karina kepada ibunya yang rupanya duduk di ruang keluarga. “Punya istri kayak Aruna, nggak bisa ngurus rumah dengan benar. Nanti kalau dibiarkan, bisa hancur hidupnya.”
“Makanya, kamu jangan heran kalau Ibu selalu keras sama dia,” balas Ibu mertua dengan nada dingin. “Perempuan itu harusnya sadar diri. Kalau nggak bisa jaga harga diri suami, lebih baik pergi.”
Aruna berdiri kaku di balik pintu. Tubuhnya gemetar mendengar percakapan itu. Ia ingin sekali berteriak, membela diri, mengatakan bahwa semua itu tidak benar. Tapi bibirnya kelu, suaranya terkunci oleh rasa sakit.
Ia kembali duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut di tangannya. Kenapa mereka begitu membenciku? Apa salahku sampai harus diperlakukan seperti ini?
Malam terasa semakin panjang. Aruna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, berusaha meredam tangis agar tak terdengar. Di dalam hatinya, ia berdoa—doa yang sama yang ia panjatkan sejak awal masuk ke rumah itu.
“Ya Allah, kalau aku memang salah, tunjukkan di mana letaknya agar aku bisa memperbaikinya. Tapi kalau aku benar… tolong beri aku kekuatan untuk bertahan.”
Ketika akhirnya ia terlelap dengan sisa air mata yang membasahi pipinya, satu hal jelas terasa: badai besar sedang menunggu di depan. Dan ia tidak tahu apakah dirinya cukup kuat untuk menghadapinya sendirian.
Ketika Aruna akhirnya mulai terlelap, suara notifikasi ponsel Raditya dari ruang tamu terdengar nyaring. Bunyi itu membangunkannya. Dengan langkah ragu, ia keluar kamar, mendapati layar ponsel suaminya masih menyala di meja kecil dekat sofa.
Nama pengirim pesan membuat jantung Aruna berdegup: “K.”
Pesan singkat itu terbuka jelas:
“Mas, jangan biarkan Aruna terus menipu. Aku sudah punya buktinya. Besok aku tunjukkan.”
Aruna berdiri mematung. Tangannya gemetar, wajahnya pucat pasi. Ia ingin percaya bahwa suaminya tidak akan mudah termakan ucapan orang lain, tapi kata-kata Karina barusan jelas menusuk.
Raditya bergerak pelan di sofa, hampir terbangun. Panik, Aruna buru-buru meletakkan kembali ponsel itu di tempat semula dan melangkah cepat masuk ke kamar. Tubuhnya bergetar hebat.
Di balik pintu, ia menutup mulutnya rapat-rapat agar tangisnya tidak terdengar. Rasa takut menjalari seluruh tubuhnya. Bukti apa lagi yang dimaksud Karina? Apa yang sedang mereka rencanakan untukku?
Untuk pertama kalinya sejak menikah, Aruna benar-benar merasakan ancaman nyata. Bukan sekadar sindiran atau tatapan sinis, melainkan sesuatu yang lebih gelap—jebakan yang bisa menghancurkan hidupnya.
Malam itu, ia tidak bisa lagi memejamkan mata. Di dalam hatinya, sebuah keyakinan tumbuh: fitnah besar sedang dipersiapkan. Dan esok hari mungkin menjadi awal dari segalanya.
Aruna berbaring lagi, tapi kali ini dadanya sesak luar biasa. Setiap kali ia memejamkan mata, pesan singkat itu kembali terbayang. Kata-kata “bukti” terasa seperti pisau yang siap menusuk dari belakang.
Ia menggenggam erat selimut, mencoba menenangkan diri. Namun perasaan tidak aman itu semakin menekan, membuatnya yakin hidupnya tidak akan lagi sama mulai esok hari.
Dalam kegelapan kamar, Aruna berbisik lirih, “Ya Allah… kalau benar badai itu datang, jangan biarkan aku runtuh sendirian.”
Dan malam pun berakhir dengan hati yang dipenuhi ketakutan.