Bab 5 – Pulang ke Pelukan

1028 Kata
Pagi itu, Aruna duduk di ruang tamu sambil menatap ponselnya. Matanya bengkak karena semalaman menangis. Raditya sudah berangkat ke kantor tanpa banyak bicara, hanya meninggalkan pesan singkat, “Jaga diri, Run.” Kalimat sederhana, tapi bagi Aruna terasa dingin. Ia tahu Raditya masih menyayanginya, tapi ada sesuatu yang berubah. Ada jarak yang pelan-pelan tumbuh, dan itu membuatnya takut. Tangannya ragu-ragu menekan nomor yang sudah lama ingin ia hubungi: Ibunya. Setelah nada tunggu beberapa kali, suara lembut menjawab dari seberang. “Run? Sayang, kamu sehat? Sudah lama nggak pulang.” Air mata Aruna langsung tumpah. Ia menutup mulut, berusaha menahan isak. “Bu…” suaranya parau. “Boleh aku pulang sebentar?” Siang itu, Aruna sampai di rumah orang tuanya. Rumah sederhana dengan dinding cat yang mulai pudar, namun hangat dipenuhi kenangan. Begitu melangkah masuk, aroma masakan Ibu langsung menyambut, membuat hatinya terasa ringan. Ibunya, seorang perempuan dengan rambut beruban yang disanggul sederhana, segera memeluknya erat. “Nak… kamu kenapa? Matamu bengkak begini.” Aruna tidak sanggup menjawab. Ia hanya terisak dalam pelukan hangat itu, seolah semua beban bisa ia lepaskan. Ayahnya, yang duduk di kursi rotan tua, ikut menatap dengan cemas. “Ada apa, Aruna? Radit baik-baik saja sama kamu, kan?” Pertanyaan itu menampar. Aruna mengangguk cepat, tak ingin membuat orang tuanya khawatir. “Baik, Yah. Mas Radit baik… hanya saja… aku lelah.” Ibunya menuntunnya duduk di ruang tengah, lalu menuangkan teh hangat. “Ceritakan perlahan, Nak. Jangan dipendam sendiri.” Aruna menatap gelas teh itu, lalu menarik napas panjang. Ia tidak menceritakan semuanya, hanya bagian kecil—tentang rasa tidak diterima, tentang tatapan dingin mertua, tentang sindiran halus yang membuatnya tertekan. “Kadang aku merasa… aku bukan bagian dari mereka, Bu,” bisiknya. Ibunya mengelus tangannya lembut. “Aruna, hidup rumah tangga memang begitu. Tidak semua orang langsung menerima kita. Tapi jangan biarkan kebencian orang lain membuatmu ragu pada dirimu sendiri.” Ayahnya menambahkan dengan suara berat, “Yang penting, kamu jujur sama dirimu sendiri dan sama suamimu. Kalau kamu benar, jangan takut. Kebenaran akan berdiri meski seribu orang berusaha menjatuhkanmu.” Kata-kata itu membuat Aruna kembali menangis. Ada kelegaan, meski sedikit. Sore harinya, adik laki-lakinya, Bima, pulang dari bengkel tempat ia bekerja. Begitu melihat kakaknya, wajahnya langsung berbinar. “Mbak! Lama banget nggak main ke sini. Aku sampai kangen masakanmu.” Aruna tersenyum samar. “Kamu yang sibuk terus, Bim.” Namun Bima cukup peka. Ia menatap wajah kakaknya lama, lalu mengerutkan kening. “Mbak ada masalah, ya?” Aruna menggeleng cepat. “Nggak, cuma kangen rumah.” Bima tidak percaya, tapi ia memilih diam. Ia tahu kakaknya tidak akan mudah bercerita, tapi hatinya langsung penuh amarah membayangkan seseorang menyakiti Aruna. Malam itu, ketika semua sudah tidur, Aruna duduk di teras rumah orang tuanya. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah. Ia memandang bintang-bintang di langit, hatinya penuh doa. “Ya Allah… berikan aku kekuatan. Aku tidak ingin rumah tanggaku hancur. Aku hanya ingin hidup tenang dengan suamiku. Tapi kenapa jalannya begitu sulit?” Air matanya kembali mengalir. Namun kali ini, tangisnya bercampur dengan rasa hangat—karena ia tahu, setidaknya di rumah ini, ia selalu punya tempat untuk pulang. Di saat yang sama, di rumah besar keluarga Raditya, Karina sedang sibuk mengutak-atik ponselnya. Senyum miring menghiasi wajahnya ketika ia membuka pesan dari seorang teman yang diam-diam ia bayar untuk mengikuti Aruna. “Besok, aku butuh foto yang lebih jelas,” tulis Karina singkat. Ia menatap layar, lalu tertawa kecil. “Perlahan, semua orang akan percaya aku.” Dan perang yang sebenarnya, baru saja dimulai. Bima duduk di samping kakaknya di teras, membawa dua gelas kopi hitam panas. “Mbak, minum dulu. Katanya kopi bisa bikin hati tenang.” Ia tersenyum, mencoba mencairkan suasana. Aruna terkekeh pelan meski matanya masih sembab. “Kamu memang nggak pernah berubah, ya. Masih suka asal ngomong.” “Tapi berhasil bikin Mbak senyum lagi, kan?” Bima menimpali cepat. Aruna mengangguk kecil, lalu menyesap kopinya. Rasa pahitnya justru memberi kenyamanan, seperti menyadarkannya bahwa tidak semua kepahitan buruk—ada juga yang menguatkan. “Bim,” Aruna akhirnya membuka suara, “kalau suatu saat Mbak menghadapi sesuatu yang sulit… apa kamu bakal percaya sama Mbak?” Bima menoleh cepat, keningnya berkerut. “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku percaya. Mbak itu orang paling jujur yang aku kenal. Kalau ada yang berani menuduh macam-macam, biar aku yang maju duluan.” Jawaban itu membuat d**a Aruna menghangat. Ia tidak butuh banyak kata, tapi kepastian bahwa setidaknya ada satu orang yang selalu percaya padanya, itu sudah cukup. Keesokan paginya, Aruna membantu ibunya di dapur. Mereka memasak sayur asem dan ikan goreng kesukaan Ayah. Suasana dapur penuh tawa kecil, berbeda jauh dengan rumah mertuanya yang selalu kaku. “Run,” ujar Ibu sambil mengiris bawang, “Ibu dulu juga sering disindir sama mertua. Katanya Ibu nggak pantas untuk Ayahmu. Tapi Ibu tahan, sampai akhirnya mereka sadar siapa Ibu sebenarnya.” Aruna menunduk, hatinya tercekat. “Bedanya… aku nggak tahu apakah aku cukup kuat, Bu.” Ibunya menepuk bahunya lembut. “Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Ingat, Nak… orang jahat itu biasanya menang di awal. Tapi orang benar akan selalu menang di akhir.” Kata-kata itu kembali menancap dalam hati Aruna. Ia menyimpannya baik-baik, meski bayangan wajah Karina dan tatapan tajam mertuanya masih menghantui. Malam harinya, setelah makan bersama, Ayah memanggil Aruna ke ruang tamu. Ia duduk di kursi rotan yang mulai rapuh, namun sorot matanya tegas. “Run,” katanya pelan tapi penuh wibawa, “Ayah ingin kamu janji. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah menyerah sama hidupmu. Jangan biarkan orang lain menodai harga dirimu. Ayah tahu, kamu anak yang kuat. Kalau kamu goyah, ingatlah selalu… ada rumah ini untukmu pulang.” Aruna menatap ayahnya lama, lalu mengangguk sambil menahan air mata. “Iya, Yah. Aku janji.” Ketika ia kembali ke kamarnya malam itu, Aruna merebahkan diri di kasur lamanya. Ranjang kayu itu mungkin sederhana, bahkan bunyinya berderit ketika ia bergerak. Tapi di sinilah, ia merasa aman. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada perasaan ganjil—seakan ketenangan ini hanyalah jeda singkat sebelum badai yang lebih besar datang menghantam. Dan entah kenapa, firasat itu membuat tubuhnya merinding.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN