Hari Minggu, udara pagi terasa hangat. Burung-burung berkicau di halaman, dan aroma roti panggang tercium dari dapur. Aruna sengaja bangun lebih awal, menyiapkan sarapan sederhana untuk Raditya. Ia ingin hari ini dimulai dengan baik, tanpa bayang-bayang percakapan Karina tempo hari.
Namun hatinya tetap saja berdebar. Ada perasaan was-was yang sulit ia usir. Kalimat Karina menancap begitu dalam, seakan racun yang perlahan menyebar.
“Pagi, Sayang,” sapa Raditya sambil meraih secangkir kopi yang sudah tersedia. Senyumnya hangat, tapi Aruna menangkap sesuatu di matanya—sebuah lelah yang tidak bisa ia jelaskan.
“Pagi, Mas. Hari ini nggak ada rencana ke kantor, kan?” tanyanya hati-hati.
“Tidak. Hari Minggu, waktunya buat kamu.” Raditya berusaha menenangkan.
Aruna mengangguk, lalu mencoba membuang jauh-jauh kecemasan. Namun, ketenangan itu buyar ketika ponsel Raditya berdering. Nama di layar membuat Aruna tercekat: Ibu.
Raditya segera mengangkat. “Halo, Bu…”
Aruna hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk membereskan meja. Suara Ibu dari seberang terdengar jelas—tegas, penuh wibawa.
“Radit, tolong datang siang ini ke rumah. Ada hal yang harus kita bicarakan. Bawa Aruna juga.”
Kalimat itu singkat, tapi nadanya tak memberi ruang untuk menolak.
Aruna merasakan jantungnya melesat cepat. Ia tahu, setiap kali Ibu memanggil dengan nada seperti itu, pasti ada sesuatu yang serius.
Siang harinya, mereka tiba di rumah besar keluarga Raditya. Rumah itu megah, dengan halaman luas dan pilar-pilar kokoh. Namun bagi Aruna, setiap kali melangkah masuk, ada hawa dingin yang menyelimuti.
Di ruang tamu, Ibu sudah duduk dengan sikap anggun. Karina ada di sampingnya, wajahnya tampak polos seakan tak pernah melontarkan ucapan beracun.
“Silakan duduk,” ujar Ibu datar.
Aruna duduk dengan sopan, menunduk sedikit. Raditya berusaha tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Ada apa, Bu?”
Ibu menatap Aruna lama, sebelum akhirnya bicara. “Beberapa hari ini, aku mendengar kabar kurang menyenangkan. Katanya Aruna sering terlihat bersama laki-laki lain. Apa itu benar?”
Pertanyaan itu menusuk bagai pisau. Aruna langsung mendongak, wajahnya pucat. “Tidak, Bu. Itu tidak benar sama sekali.”
Karina buru-buru menimpali, pura-pura menenangkan. “Bu, jangan salah sangka dulu. Aku juga kurang yakin, cuma… ada temanku yang cerita. Katanya dia lihat Mbak Aruna di kafe sama seseorang. Mungkin hanya salah lihat, ya?”
Nada suaranya terdengar manis, seolah membela, tapi justru menambah api keraguan.
Raditya terdiam. Ia menatap Aruna, mencari jawaban di matanya. Sementara Aruna merasa suaranya tercekat di tenggorokan. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan, tapi dadanya sesak.
Ibu menghela napas panjang. “Aku tidak suka hal-hal seperti ini. Keluarga kita punya nama baik. Radit, kamu harus hati-hati memilih istri. Jangan sampai ada noda.”
Aruna menunduk lebih dalam. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan. Bagaimana bisa ia membela diri ketika yang menuduh adalah keluarga sendiri?
Setelah pertemuan itu selesai, suasana di mobil pulang terasa hampa. Raditya hanya diam, fokus menyetir. Aruna menatap jalanan yang berlari cepat di luar jendela.
Hatinya penuh dengan pertanyaan. Kenapa Karina melakukan ini? Apa salahku padanya?
Dan yang lebih menyakitkan: Apakah Mas Radit percaya padaku?
Raditya menggenggam setir erat-erat. Di dalam hatinya, ada badai. Ia ingin percaya pada Aruna, tapi suara ibunya terlalu kuat, terlalu berpengaruh.
Di kursi belakang, bayangan Karina yang tersenyum puas tadi masih terpatri di benak Aruna. Ia sadar, ini baru permulaan.
Sepanjang perjalanan pulang, Aruna tidak berani membuka suara. Hanya deru mesin mobil yang terdengar, seolah menjadi tirai yang memisahkan ia dan Raditya. Sesekali ia melirik suaminya—dahi Raditya berkerut, rahangnya mengeras, tanda ia sedang berpikir keras.
“Mas…” akhirnya Aruna memberanikan diri. “Kamu percaya sama aku, kan?”
Pertanyaan itu meluncur lirih, nyaris seperti bisikan. Namun justru membuat Raditya semakin kaku. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap jalan lurus di depan. Beberapa detik terasa seperti menit panjang bagi Aruna.
Akhirnya Raditya menghela napas. “Aku ingin percaya. Tapi kamu tahu sendiri, Bu itu orangnya… kalau sudah dengar sesuatu, dia susah diyakinkan.”
Kalimat itu membuat hati Aruna remuk. Ia menggigit bibir, menahan air mata. Jadi, Mas belum sepenuhnya percaya padaku?
Ketika mobil berhenti di lampu merah, Raditya sempat melirik istrinya. Ia melihat mata Aruna yang berkaca-kaca, namun tetap mencoba tersenyum. Ada rasa bersalah menusuk d**a Raditya, tapi ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.
Sesampainya di rumah, Aruna langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Ia duduk di tepi ranjang, melepas kerudungnya dengan gerakan gemetar. Kepalanya penuh dengan tanya.
Apa aku benar-benar seburuk itu di mata mereka?
Kenapa Karina begitu tega?
Apakah cinta Radit cukup kuat untuk melindungiku?
Air mata akhirnya jatuh juga, membasahi tangannya. Ia merasa sendirian, meski suaminya berada di ruangan yang sama.
Di ruang tamu, Raditya duduk termenung. Dalam benaknya, wajah ibunya dan Karina bergantian muncul. Kata-kata mereka berputar, menuntut untuk dipercaya. Namun bayangan senyum tulus Aruna juga menghantui, membuatnya bimbang.
Raditya menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Tuhan… apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan.
Malam itu, rumah mereka terasa dingin. Bukan karena udara, tapi karena jarak yang mulai tumbuh di antara keduanya. Jarak yang tercipta dari benih fitnah—benih yang semakin hari, semakin berakar dalam.
Aruna akhirnya merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit kamar yang temaram. Suara kipas angin berputar monoton, namun pikirannya tidak tenang. Bayangan wajah Ibu mertuanya tadi siang terus menghantui, terutama tatapan dingin yang seakan menghakimi tanpa memberi kesempatan membela diri.
Air matanya kembali jatuh. Kenapa aku selalu jadi orang yang disalahkan? Aku sudah berusaha sebaik mungkin, tapi kenapa tetap salah di mata mereka?
Ingatan masa kecilnya terlintas—ketika ia sering dimarahi hanya karena terlambat pulang sekolah. Saat itu, ayahnya selalu menenangkannya, berkata: “Sabar, Nak. Orang sering salah menilai. Yang penting, jangan berhenti jadi baik.”
Kata-kata itu biasanya mampu menguatkan, tapi malam ini terasa hambar. Aruna merasa dunia menutup pintu untuknya, bahkan rumah tangga yang ia bangun dengan sepenuh hati pun mulai retak.
Ia melirik Raditya yang masuk ke kamar beberapa saat kemudian. Suaminya tampak lelah, duduk di kursi tanpa berkata apa-apa. Aruna ingin memeluknya, ingin mengatakan bahwa semua itu fitnah. Namun bibirnya kelu. Ia takut, kata-katanya justru dianggap pembelaan yang tidak perlu.
Dalam diam, Aruna hanya berdoa dalam hati. “Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan rumah tanggaku hancur hanya karena kebencian seseorang.”
Raditya menoleh sebentar, menatap istrinya yang memejamkan mata sambil menggenggam guling erat-erat. Ada desir aneh di hatinya—rasa sayang bercampur ragu. Ia ingin percaya, tapi bayangan ucapan Karina dan Ibu lebih keras dari suara hatinya sendiri.
Malam itu, keduanya tidur dalam diam. Hanya jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka, tak kasat mata, tapi nyata.