Bab 3 – Benih yang Disemai

1044 Kata
Pagi itu, Aruna sibuk di dapur. Tangannya lincah menyiapkan sarapan sederhana: nasi goreng, telur mata sapi, dan segelas s**u hangat untuk Raditya. Suaminya memang menyukai makanan sederhana buatan tangannya, lebih dari apapun. “Mas, sarapannya sudah siap,” ucap Aruna lembut ketika Raditya turun dari kamar. Lelaki itu tersenyum, menyalaminya, lalu duduk di meja makan. Momen pagi seperti ini selalu menjadi penghibur bagi Aruna setelah semalam hatinya terasa berat. Senyum Raditya, canda kecilnya, dan tatapan hangatnya mampu menyingkirkan resah meski hanya sejenak. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Deru mesin mobil terdengar dari depan rumah. Aruna sempat menoleh dari jendela. “Sepertinya ada tamu…” gumamnya. Tak lama, bel rumah berbunyi. Raditya bangkit dan membuka pintu. Ternyata Karina berdiri di sana, masih mengenakan gaun kasual modis. Wajahnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. “Kak Radit! Wah, kebetulan aku lewat. Kupikir mampir sebentar,” katanya dengan suara riang. Raditya menyambut adiknya dengan hangat. “Masuklah, Rin. Pas banget, kami baru sarapan.” Aruna pun segera menambah piring di meja makan, berusaha bersikap ramah meski hatinya terasa ciut. Ia ingat betul tatapan Karina semalam. Namun, ia memilih bersikap baik, sebab tak ingin Raditya tahu ada yang tidak beres antara dirinya dan sang adik. Selama sarapan, Karina banyak bercerita. Tentang pekerjaannya, tentang teman-temannya, tentang pesta yang ia hadiri. Aruna hanya menanggapi seperlunya, sementara Raditya sesekali tertawa. Hingga akhirnya Karina meletakkan sendoknya, menatap Aruna dengan senyum yang tampak manis—namun menusuk. “Aruna, kamu kelihatan capek sekali. Sibuk, ya? Atau… ada kegiatan lain di luar rumah?” tanyanya dengan nada seolah-olah bercanda. Aruna tertegun, tidak langsung menjawab. Raditya melirik istrinya, kemudian Karina, merasa aneh dengan pertanyaan itu. “Maksudmu apa, Rin?” tanyanya. Karina tertawa kecil. “Nggak, Kak. Aku cuma iseng. Soalnya kemarin ada temanku bilang sempat lihat Aruna di luar, tapi bukan sama Kak Radit. Jadi penasaran aja…” Ucapan itu diselipkan begitu saja, seakan ringan. Namun efeknya langsung terasa. Aruna merasa wajahnya memanas. Ia ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu. Raditya hanya mengernyit, tidak menanggapi lebih jauh. Karina buru-buru menutup ucapannya dengan tawa renyah. “Ah, maaf ya, Run. Aku kebanyakan gosip kayaknya. Bercanda, kok. Jangan diambil hati.” Namun tatapan singkat yang dilemparkannya ke arah Aruna jelas menunjukkan sesuatu yang berbeda. Ada kepuasan terselubung di sana—seolah ia baru saja menabur benih kecil yang suatu hari akan tumbuh menjadi duri. Setelah sarapan selesai, Karina pamit pulang. Raditya hanya mengantar sampai depan, sementara Aruna membereskan meja makan. Saat itu, ia merasa jantungnya berdetak tak karuan. “Kenapa dia bilang begitu…?” bisiknya lirih. Ia tahu Karina tidak benar-benar bercanda. Ada maksud lain di balik kalimat itu. Dan yang lebih menakutkan, Raditya sempat terdiam beberapa detik sebelum menanggapi. Bagi Aruna, tatapan suaminya barusan cukup untuk membuat hatinya cemas. Ia takut, suatu hari Raditya akan benar-benar meragukannya. Dan di luar sana, Karina sudah tersenyum puas sambil melajukan mobilnya. “Benih pertama sudah kutanam,” gumamnya pelan. “Tinggal tunggu waktu sampai semua percaya aku.” Siang itu, setelah Karina pulang, rumah menjadi sunyi. Aruna sibuk mencuci piring di dapur, sementara Raditya duduk di ruang tamu. Matanya menatap kosong ke arah pintu, tempat adiknya tadi berdiri sambil mengucapkan kalimat yang membuat hatinya resah. Ia memijit pelipis, mencoba menepis suara Karina yang terus terngiang. “Ada temanku bilang sempat lihat Aruna di luar, tapi bukan sama Kak Radit.” Raditya tahu, Karina kadang suka melebih-lebihkan sesuatu. Ia juga tahu Aruna bukan tipe perempuan yang suka macam-macam. Namun, entah kenapa, kalimat itu tetap menancap di kepalanya. “Tidak mungkin,” gumamnya pelan. “Aruna bukan seperti itu…” Tapi semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin besar pula rasa ragu yang menyelinap. Benih keraguan itu kecil, tapi cukup untuk membuat dadanya sesak. Aruna keluar dari dapur, membawa segelas teh hangat untuknya. “Mas, minum dulu. Kamu kelihatan pusing,” katanya lembut. Raditya menoleh, menatap wajah istrinya yang polos. Senyumnya tulus, matanya jernih tanpa sedikit pun menyiratkan rahasia. Seketika rasa bersalah menyelip di d**a Raditya karena sempat membiarkan pikirannya goyah. “Terima kasih, Sayang.” Ia menerima gelas itu, lalu menarik tangan Aruna untuk duduk di sampingnya. “Aku cuma capek, Run. Jangan khawatir.” Aruna mengangguk pelan, meski sebenarnya ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya. Ia bisa merasakannya dari cara Raditya menarik napas panjang, dari tatapan matanya yang sesekali kosong. Diam-diam, Aruna menggenggam tangan suaminya lebih erat. “Aku selalu ada di sini untuk Mas, apa pun yang terjadi,” ucapnya dengan suara lirih. Raditya mengangguk, menatap istrinya dalam-dalam. Dalam hati ia berjanji untuk percaya. Tapi suara Karina kembali berbisik di kepalanya, menimbulkan bayangan samar yang sulit diusir. Kalau benar hanya gosip, kenapa Karina menyebutnya dengan begitu yakin? Pertanyaan itu tidak ia ungkapkan. Ia hanya menahan dalam hati, membiarkan waktu yang menjawab. Namun tanpa sadar, ia telah membiarkan sebutir kerikil kecil masuk ke dalam fondasi kepercayaannya pada Aruna. Dan kerikil kecil itulah yang suatu hari akan runtuhkan segalanya. Malam harinya, setelah Raditya tertidur, Aruna masih terjaga di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang ke kejadian tadi pagi. Kata-kata Karina terus terngiang, menimbulkan tanya yang tak kunjung terjawab. Kenapa Karina selalu bersikap seperti itu padaku? Apa salahku sampai dia tega melontarkan kalimat yang bisa merusak rumah tanggaku? Apakah aku terlalu naif, berharap ia akan menerimaku sebagai bagian dari keluarga? Aruna menghela napas panjang, memeluk guling lebih erat. Hatinya pedih, karena ia tahu Karina tidak sekadar bercanda. Tatapan yang sempat terlontar dari mata adik iparnya itu jelas penuh tantangan, seakan berkata bahwa ia tidak akan pernah diterima. Apakah aku terlalu berlebihan menanggapinya? pikirnya lagi. Atau memang Karina sejak awal tidak suka keberadaanku di sisi Raditya? Pertanyaan itu menghantam lebih keras ketika ia teringat sikap Karina yang selalu menuntut perhatian Raditya. Baginya, Karina mungkin masih sulit menerima bahwa kakaknya kini bukan hanya miliknya, tapi juga milik seorang istri. Namun mengapa, jika memang begitu, Karina harus memilih cara yang begitu kejam? Kenapa harus dengan fitnah? Air mata Aruna mengalir tanpa ia sadari. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, takut isakannya membangunkan Raditya. Mas Radit bilang akan selalu ada untukku… tapi bagaimana jika suatu hari ia lebih memilih percaya pada adiknya sendiri? Ketakutan itu membayangi benaknya, meski ia berusaha menepisnya. Malam itu, Aruna akhirnya terlelap dengan hati yang penuh tanya—dan rasa waswas yang tak bisa ia usir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN