Sikap Dafi yang memilih mempertahankan pernikahannya dengan Zahwah itu menyebabkan kemarahan besar pada Indra Adiwilaga. Pria paruh baya itu mengajak istri dan anaknya meninggalkan apartemen Dafi dengan amarah yang memuncak, tetapi tidak mampu melampiaskan pada cucu kesayangannya itu karena Dafi adalah satu-satunya pewaris yang mau meneruskan bisnis keluarga Adiwilaga.
Setelah kepergian kakek, nenek dan orang tuanya, Dafi mengajak Zahwah berangkat ke bank. Raka sudah menunggu di sana dan sudah mengurus semuanya. Pagi ini Dafi akan melunasi semua utang orang tua Zahwah.
Dafi membayar utang itu dengan uang pribadi yang dia miliki. Kecerdasannya dalam berinvestasi sudah membuahkan keuntungan miliaran yang dia simpan di rekening pribadinya. Dia tidak pernah menggunakan uang perusahaan Adiwilaga Grup untuk kepentingan investasi pribadinya.
“Kita kembali ke kantor, ada yang mau saya bicarakan dengan kamu, Za!” ucap Dafi setelah mereka menyelesaikan p********n utang orang tua Zahwah.
“Baik, Mas.”
Zahwah mengikuti langkah Dafi yang berjalan di depannya bersama dengan Raka. Gadis itu masuk ke mobil Dafi dan mobil itu pun melaju menuju perusahaan Adiwilaga Grup.
Di perjalanan menuju Adiwilaga Grup, Dafi tidak mengajaknya bicara. Zahwa menoleh sesekali pada pria itu. Pria itu sudah membayarkan semua utang orang tuanya. Tidakkan dia bersikap kurang ajar jika tidak mengucapkan apa pun pada pria itu.
“Terima kasih sudah membantu saya membayar utang, Mas.”
“Sudah kewajiban saya untuk membayar utang kamu sesuai perjanjian kita.” Dafi bicara dengan nada datar.
Zahwah penasaran dengan pernikahan mereka saat ini. Mau dibawa ke mana nasib pernikahan mereka selanjutnya. “Apa yang Mas harapkan dari pernikahan ini?”
“Nanti akan saya jawab di kantor.”
Zahwah pun bungkam, dia tidak akan bertanya apa-apa lagi pada pria yang duduk di belakang kemudi itu. Dia biarkan Dafi fokus menyetir agar mereka tiba di kantor dengan selamat.
Tiba di kantor, Dafi memarkirkan mobilnya. Kemudian, dia melepas sabuk pengaman. “Ikut saya ke ruangan!”
Zahwah turun dari mobil bersama dengan Dafi. Dia tidak mau membuat kesalahan dengan membuat Dafi menunggunya. Gadis itu menyamakan langkahnya ketika pria itu masuk gedung kantor dan berjalan menuju lift.
Ruangan kerja Dafi berada di lantai 10. Zahwah terus mengikuti Dafi sampai tiba di ruangannya. Di ruangan kerja Dafi, pria itu menuju meja kerjanya lalu mengambil kertas. Kemudian, dia menuju kursi yang ada di ruangan itu untuk menjamu tamu dan duduk di sana.
“Duduk, Za!”
Zahwah memilih kursi yang ada di hadapan Dafi lalu duduk di sana.
“Utang orang tuamu sudah lunas dan kita sudah menikah. Selanjutnya, kamu tinggal mengurus renovasi hotel itu, saya akan mengirimkan biayanya.”
“Baik, Mas. Terus … apa yang Mas harapkan dari pernikahan ini? Tidak mungkin kan Mas mau mengeluarkan biaya miliaran hanya untuk menikah dengan saya lalu tidak mendapatkan apa-apa dari saya?” Zahwa mengulangi pertanyannya.
“Kamu pintar juga. Sebenarnya … ada yang saya inginkan dari kamu dengan pernikahan ini. Tetap berada di samping saya karena saya membutuhkan kamu untuk membuat Kania menjauhi saya. Kamu dengar sendiri kan tadi kakek saya bilang sudah menjodohkan saya dengan Kania?”
Tentu Zahwah masih mengingat isi pembicaraan tadi pagi di apartemen Dafi. Gadis itu pun mengangguk.
“Di hadapan Kania, kita harus terlihat seperti pasangan suami istri yang saling mencintai. Kita harus terlihat mesra agar dia percaya kalau saya menikah dengan kamu karena cinta, bukan karena perjanjian. Setelah dia percaya kalau kita menikah karena cinta, dia pasti akan menjauh dengan sendirinya. Kamu paham, kan, Za?”
“Iya, Mas. Saya paham. Hanya pada saat ada Kania saja saya harus bersikap sebagai istri yang mencintai Mas Dafi. Lalu tugas saya hanya menjauhkan Kania dari Mas Dafi saja?”
“Ya. Hanya itu saja.”
“Mas tidak ingin saya mengurus semua keperluan pribadi Mas Dafi? Seperti memasak, menyiapkan pakaian untuk kerja atau memijat Mas Dafi setelah pulang dari kantor?”
Dafi menggelengkan kepala. Dia menikahi Zahwah buat untuk menjadikannya pembantu di apartemennya atau menjadikan Zahwah istri yang fokus mengurus suami. Dia tidak membutuhkan itu. “Itu bukan tugas kamu.”
“Kalau saya berhasil membuat Kania menjauh dan melupakan Mas Dafi artinya tugas saya sudah selesai. Apa kita akan bercerai setelah itu?”
“Tidak. Saya harus memastikan hotel kamu sudah selesai direnovasi dan siap untuk dibuka kembali. Baru setelah itu kita akan bercerai.”
“Apa Mas tidak tertarik sama sekali dengan keuntungan dari hotel saya nanti setelah dibuka kembali? Saya sudah menawarkan keuntungan itu, tapi Mas Dafi keliatan tidak tertarik sama sekali dengan keuntungan itu.” Sejak awal dia mengajukan proposal invetasi itu pada Dafi, pria itu tidak melirik keuntungannya sama sekali. Padahal semuanya akan lebih mudah untuk gadis itu jalani jika urusan mereka hanya sebatas bisnis saja tanpa melibatkan perasaan. Namun, pernikahan ini membuat perasaan Zahwah terlibat. Melihat sikap keluarga Adiwilaga yang tidak menerimanya membuat Zahwah merasa tidak nyaman berada di sisi pria itu.
Dafi menggeleng. Dia merasa yakin keuntungan yang dia terima jika bisa menjauhkan Kania itu setimpal dengan uang yang dia keluarkan untuk Zahwah.
Tepat pada saat itu, pintu ruangan Dafi di ketuk. Pada saat itu, seorang gadis dengan pakaian formal dan seksi masuk ke ruangan kerja Dafi. Zahwah menoleh ke belakang. Melihat penampilan dan sikap gadis itu, dia bisa menebak jika dia adalah Kania, perempuan yang dijodohkan dengan Dafi.
Zahwah memutar kepala lalu menatap Dafi. Pria itu memberikan isyarat dengan gerakan mata agar Zahwah segera pindah duduk di sampingnya. Zahwah paham dengan isyarat itu lalu bangkit dari kursi segera mendekati Dafi dan duduk tepat di sampingnya. Perempuan itu melingkarkan tangannya di lengan Dafi dan menyandarkan kepalanya di bahu pria itu.
Mata Kania melotot melihat Zahwah sangat menempel pada Dafi. Dia mempercepat langkahnya menuju kursi kemudian duduk di hadapan Dafi. “Mas Dafi! Siapa perempuan ini? Berani sekali dia duduk di samping Mas!” Kania terlihat sangat marah dan cemburu melihat Zahwah.
“Dia istriku, namanya Zahwah. Za, ini Kania, teman Mas.” Dafi tersenyum manis pada Zahwah.
Zahwah mengangkat kepalanya lalu mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Kania, tetapi perempuan itu mengabaikannya karena rasa cemburu yang besar pada Zahwah.
Kania terkejut dan makin terbakar api cemburu melihat Dafi bersikap manis pada Zahwah. “Apa? Mas nikah sama dia? Mas itu calon suami aku, kenapa Mas nikah sama dia?”
“Kami menikah karena cinta. Betul kan, Za?”
“Iya, Mas. Kita menikah karena aku cinta sama Mas Dafi dan Mas Dafi juga cinta sama aku.” Zahwah juga memberikan senyuman manis pada Dafi. Mereka harus terlihat seperti sepasang pengantin baru yang saling mencintai.
“Mas! Aku ini calon istri kamu, cepat Mas ceraikan dia lalu menikah denganku!” Kania tidak terima Dafi menikah dengan perempuan lain.