Dua hari kemudian, Dafi dan Zahwah menikah di KUA dengan wali nikah kakek dari papanya Zahwah. Sampai detik itu orang tuanya belum ada kabar sama sekali. Perempuan di mana pun pasti memiliki pernikahan impiannya sendiri. Zahwah ingin dengan pria yang dia cintai dan diwalikan oleh orang tua yang menyayanginya, tetapi pernikahan Zahwah saat ini jauh sekali dari gambaran pernikahan impiannya. Tidak ada kebahagian pada hari pernikahannya, hanya ada rasa sedih dan terpaksa demi melunasi utang orang tuanya.
Setelah menikah, Zahwah dibawa ke apartemen Dafi dan membawa pakaian seadanya. Pria itu mengajaknya bicara di ruang tengah apartemennya.
“Walaupun kita sudah menikah, saya mau kamar kita terpisah. Saya tidur di kamar saya sendiri dan kamu di kamar yang ujung.” Dafi menunjuk kamar untuk Zahwah. “Pakailah kamar itu selama kamu menjadi istri saya.”
Zahwah mengangguk. Dia bangkit dari sofa membawa kopernya menuju kamar yang Dafi berikan untuknya. Di kamar itu, Zahwah meletakkan koper di dekat lemari. Permasalahan utang orang tuanya membuatnya merasa sangat lelah. Dia pun berbaring di ranjang yang ada di kamar itu.
Malam ini adalah malam pertamanya menjadi istri Dafi. Tidak ada malam pertama yang penuh gairah dan cinta yang mereka rasakan sebagai pengantin yang baru menikah karena tidur di kamar yang berbeda.
Hanya ada malam yang dingin dan sepi yang dirasakan oleh Zahwah. Perempuan itu memejamkan mata. Dia tidak pernah menyangka gara-gara utang miliaran dari orang tuanya, dia harus berakhir menikah dan menjadi istri dari pria yang tidak dia kenal.
Jika saja sore itu tidak ada debt collector yang menagih utang dan mengancamnya, mungkin saat ini Zahwah masih luntang-lantung memikirkan nasibnya yang tidak jelas. Dia harus pergi ke sana kemari mencari pinjaman untuk melunasi utangnya dan belum tentu bisa lunas dalam waktu singkat.
Perempuan itu harus merasakan kesedihan yang mendalam saat dia tahu orang tuanya menghilang tanpa kabar dan meninggalkan utang miliran yang harus dia tanggung seorang diri. Ya, Zahwah adalah anak tunggal sehingga semua beban utang itu menjadi tanggung jawabnya saat ini sebagai pewaris dari orang tuanya.
Hatinya terasa sakit saat tidak ada seorang pun dari saudara atau kerabat orang tuanya yang mau membantunya membayar utang itu atau mencicilnya barang sedikit saja. Dia dipaksa berjuang sendiri melunasi utang yang jumlahnya tidak sedikit itu.
Zahwa tiba-tiba teringat pada kekasihnya yang pernah berjanji akan menikah dengannya setelah lulus kuliah. Namun, sampai dia menyelesaikan pendidikan S2-nya, pria itu tak kunjung datang. Andai saja pria itu menepati janjinya pada Zahwah, mungkin gadis itu tidak perlu merasakan rasa sedih yang amat dalam karena ada seseorang yang mencintai, menemani, dan membantunya untuk melunasi utang itu.
Dengan menjadi istri Dafi, Zahwah telah mengorbankan impian dan menggadaikan harga dirinya agar semua utang orang tuanya lunas, kemudian merenovasi hotel itu agar dia bisa mendapatkan uang setelah hotel itu dibuka kembali.
Pikiran-pikiran ini membuat Zahwah tidak bisa tidur sepanjang malam. Baru pada jam tiga pagi, gadis itu terlelap dan berpindah ke alam mimpi.
Tepat pada jam enam pagi, pintu kamar Zahwah diketuk lalu terdengar suara berat seorang pria dari luar kamarnya.
“Za … bangun. Kita harus siap-siap buat ngurus p********n utang kamu di bank pagi ini.”
Zahwah berusaha membuka matanya yang terasa berat karena gadis itu kurang tidur. Baru tiga jam dia terlelap dan kedua mata itu masih ingin menempel dan sulit untuk dibuka. Dia paksakan tubuhnya untuk bergerak turun dari ranjang lalu menuju kamar mandi yang ada di kamar.
Gadis itu mencuci mukanya lalu keluar dari kamar untuk mencari Dafi. Pria yang dia cari sudah memakai kemeja sedang duduk di ruang tengah apartemennya. Dia tampak sudah siap untuk berangkat saat itu juga. Zahwah pun mendekati pria itu dengan perasaan takut melihatnya belum mandi dan mengganti pakaian.
“Mas mau sarapan dulu atau langsung pergi?” tanya Zahwah dengan hati-hati.
“Saya tunggu kamu siap-siap sampai jam tujuh. Kita berangkat tepat pada jam itu.”
Zahwah yang takut akan membuat Dafi akan marah, memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Gadis itu menganggukkan kepalanya lalu kembali ke kamar.
Dia harus gerak cepat, Zahwah bergegas mandi lalu memakai pakaian rapi. Ketika gadis itu membuka pintu kamarnya, dia berdiri terpaku di dekat pintu. Zahwah terperanjat melihat ruang tengah apartemen tamu yang tidak dia kenal yang tengah menatap Dafi dengan serius dan seolah meminta penjelasan pada pria itu. Zahwah menduga mereka adalah orang tua, Kakek dan neneknya Dafi. Perasaan takut menghantuinya.
Pada saat itu, Dafi menoleh padanya. Pria itu menatapnya dengan dingin. Dari tatapannya juga menyiratkan agar dia segera mendekat dan duduk di samping pria itu. Zahwah bergegas menghampiri Dafi lalu duduk tepat di sampingnya. Zahwah menunduk sambil sesekali menatap wajah-wajah serius orang tua, kakek, dan nenek Dafi yang duduk di hadapannya. Membuat Zahwah takut untuk mengeluarkan suara bahkan untuk memperkenalkan dirinya pada mereka.
“Ini Zahwah, istriku. Kami menikah secara resmi dan tercatat sesuai hukum negara.” Terdengar penjelasan singkat dari Dafi pada mereka yang duduk di hadapannya. Dari terlihat sedang melindungi gadis itu.
Tatapan tajam mereka layangkan pada Dafi setelah mendengar ucapannya yang barusan. Terlihat sekali jika mereka tidak menyetujui keputusan sepihak Dafi yang menikah dengan seorang gadis tanpa izin pada orang tuanya.
“Berani kamu menikah tanpa izin Kakek dan kedua orang tuamu, Dafi! Di mana rasa hormatmu pada Kakek, nenek dan orang tua yang telah melahirkan kamu?”
Dafi tidak gentar menghadapi orang tua dan kakek neneknya yang tiba-tiba datang pagi ini ke apartemennya. Dia sadar sudah melakukan kesalahan pada mereka. Namun dia akan mempertahankan keputusan itu semampunya. “Maaf karena aku sudah menikah tanpa minta izin dulu sama Papa, Mama, Kakek dan Nenek, tapi keadaan yang memaksa aku harus segera menikah dengan Zahwah.” Dia terus menatap mereka secara bergantian.
“Dafi … kamu tahu kan Kakek sudah menjodohkan kamu dengan Kania? Dia cantik, sopan dan pantas buat jadi calon istrimu. Orang tuanya juga rekan bisnis Kakek. Gadis itu tidak akan menjadi beban buat kamu. Tidak seperti dia yang baru kamu nikahi kemarin. Kakek mau kamu menceraikannya dan menikah dengan Kania!" Suara Indra terdengar penuh dengan penekanan.
Zahwah sadar dia bukan menantu yang diinginkan oleh keluarga Adiwilaga. Gadis yang menanggung utang miliaran. Namun, dia tidak bisa pergi begitu saja dari sana karena hanya Dafi yang bisa menolongnya untuk saat ini. Selama Dafi tidak menceraikannya, Zahwah akan bertahan menjadi istri Dafi.
“Aku tidak akan menceraikan Zahwah demi Kania. Tolong Kakek mengerti keputusanku dan jangan salahkan Zahwah karena aku yang memaksanya menikah.” Dafi pasti mempertahankan Zahwah di sampingnya agar dia bisa menyingkirkan Kania. Dafi tidak menyukai gadis itu karena terlalu agresif mengejarnya. Dia merasa tidak nyaman dengan sikap yang ditunjukkan oleh perempuan itu.