Cello masih terdiam duduk di meja belajarnya, sedang Ibra berdiri menyandar dinding samping bocah itu. Dia tidak lagi menangis, tapi matanya masih terlihat memerah dan sedikit bengkak. "Kamu sama Vian kan teman baik, kenapa malah berantem? Cello lihat sendiri kan! Om Ibra sama Om Bian, Om Johan, Om Raka, ayah dan papa kamu juga tidak pernah berantem." "Vian mau rebut papa Cello, Om." "Siapa yang bilang?" tanya Ibra. "Buktinya Vian panggil papanya Cello, papa. Mana boleh begitu?! Itu kan papanya Cello!" Sungut bocah itu kesal. Ibra bersedekap menatap keponakannya dengan seksama. Dia paham ketakutan Cello yang tidak ingin berbagi papa dengan siapapun, termasuk Vian. Bocah ini terlalu takut kehilangan Aksa. "Papa Aksa itu sampai kapanpun tetap papanya Cello. Kamu lihat sendiri kan, pap