SEMALAMAN kuhabiskan dengan membuang air mata. Meluapkan semua emosi hingga tertidur lelap dan bangun keesokan harinya. Lelah mendera, tapi sakit di hati tak kunjung mereda. Aku mendesah beberapa kali, berusaha mengurangi sakit di relung d**a. Nyatanya, semua itu berakhir sia-sia. Air mata kembali mengalir laksana sungai yang tak mau mengering. Aku jatuh, meringkuk di atas lantai, dan menyesali semua kebodohanku selama ini. Ketukan dari arah kaca balkon memaksaku mendongak. Aku tersenyum lemah dan mulai berdiri, menghampiri pintudengan gerakan pelan lalu membukanya. Wajah Rasya terpampang dengan ekspresi terkejut. Dia segera menarikku ke dalam pelukan dan membelai kepalaku dengan lembut. “Apa yang terjadi?” Rasya menggumam pelan sebelum melepaskan pelukannya. Matanya menatapku lekat. K

