Eps. 8 Baju Pelayan

1316 Kata
Gianna melangkah perlahan di belakang Grace, langkahnya nyaris tak bersuara di atas lantai marmer. Ketika mereka tiba di ruang utama, Jason masih duduk di kursinya dekat perapian, memutar gelas anggurnya perlahan. “Signor,” ucap Grace dengan nada sopan, “Signorina sudah berganti baju.” Jason menoleh pelan, pandangan matanya langsung jatuh pada sosok Gianna. Ia terdiam selama beberapa detik, tidak mengatakan apa pun. Matanya, dingin namun tajam, seperti sedang menilai atau membaca sesuatu yang tak terucap dari tubuh ramping wanita itu. Seragam pelayan sederhana itu tampak berbeda ketika melekat pada Gianna. Terlalu kontras dengan kulitnya yang pucat dan aura elegan yang masih tertinggal meski gaun pengantinnya telah ditanggalkan. Jason mengangkat alis tipisnya. “Ya…” gumamnya datar. “Nggak terlalu buruk untuk kamu, baju itu.” Suara baritonnya membuat suasana seketika sunyi. Gianna menunduk cepat, wajahnya memerah malu. Ia meremas ujung apron putih di tangannya, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ada campuran perasaan aneh antara lega karena tidak dimarahi dan gugup karena tatapan pria itu terlalu dalam. “Terima kasih, Signor,” ucapnya lirih tanpa berani menatap. Jason hanya mendengus pelan, meneguk kembali anggurnya. “Grace, urus dia sampai besok pagi. Aku nggak mau ada yang mengganggunya malam ini.” “Baik, Signor,” jawab Grace sambil menunduk. Gianna menatap sekilas Jason sebelum berbalik. Tatapan itu singkat, tapi cukup membuat jantungnya kembali berdegup tak karuan. “Tunggu!” suara Jason yang dalam menggema di ruangan sebelum langkah Gianna dan Grace benar-benar hilang di ambang pintu. Keduanya berhenti dan menoleh pelan. Jason masih duduk di kursinya, namun tatapannya kini beralih ke arah dinding besar di seberang kamarnya, tempat sebuah lukisan tua tergantung dalam bingkai emas berukir. Lukisan itu menampilkan pemandangan laut Sisilia di senja hari, indah namun menyimpan kesan sunyi dan kelam. “Berikan dia kamar yang ada di seberang kamarku,” ucap Jason tenang tapi tegas. Grace menatapnya sejenak, agak terkejut. Lukisan itu bukan benda sembarangan, karya antik yang biasanya tak pernah disentuh siapa pun tanpa izin. Namun ia tahu lebih baik untuk tidak bertanya. “Baik, Signor,” jawabnya sambil menunduk hormat. Jason hanya mengangguk tipis, menatap api yang kembali menyala di perapian. “Anggap itu hadiah,” tambahnya tanpa ekspresi. Grace melirik Gianna sekilas, wanita muda itu tampak bingung tapi juga tersentuh, tidak menyangka pria dingin itu memberi sesuatu padanya. “Terima kasih… Signor,” ucap Gianna lirih, suaranya hampir tenggelam oleh bunyi kayu terbakar. Jason tidak menjawab. Hanya matanya yang sedikit melunak sesaat sebelum ia memalingkan pandangannya, membiarkan mereka berdua pergi meninggalkan ruangan. “Signorina, ini kamar Anda, sesuai dengan yang diminta Signor,” ucap Grace lembut sambil membuka pintu kayu berukir di ujung koridor panjang itu. Aroma lembut lavender dan kayu pinus segera menyambut Gianna begitu ia melangkah masuk. Ruangan itu tidak terlalu besar, namun tertata dengan indah dan bersih. Sebuah tempat tidur bergaya klasik dengan seprai putih bersih berada di tengah, jendela besar menghadap taman belakang, dan di atas meja kecil, terdapat vas berisi bunga segar yang baru saja diganti. Cahaya lampu gantung kristal menyebar lembut, memberi kesan hangat dan tenang setelah hari yang panjang dan menegangkan. Grace membungkuk sedikit. “Beristirahatlah malam ini di sini. Bila butuh apa pun, panggil saja aku, Signorina.” Gianna menoleh padanya, sedikit terharu dengan keramahan itu. “Baik, terima kasih, Grace,” balasnya sambil tersenyum tipis. Suaranya pelan namun tulus. Grace mengangguk, lalu menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan Gianna sendirian dalam keheningan yang damai. Untuk pertama kalinya malam itu, Gianna merasa sedikit aman. Ia menatap lukisan yang baru diterimanya dari Jason, lalu berbaring perlahan di ranjang, membiarkan pikirannya tenggelam di antara rasa lelah, bingung, dan penasaran akan pria yang baru saja mengubah nasibnya. Gianna menatap langit-langit kamar dengan mata kosong, sementara pikirannya berputar tanpa henti. Hanya beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di depan altar, di bawah tatapan tajam Sergio dan tamu undangan yang memadati gereja. Semua terasa begitu cepat dan mencekik, gaun putih yang berat, senyum palsu, doa pernikahan yang bahkan tak sempat ia hayati. Saat itu, ia sudah menyerah, yakin tak ada yang bisa menyelamatkannya dari nasib pernikahan yang dipaksakan itu. Namun kini, semuanya berbalik arah. Ia berada di kamar asing, di rumah seorang pria bernama Jason, penyelamat sekaligus misteri baru dalam hidupnya. Bayangan wajah pria itu muncul lagi di benaknya, tatapan tenang tapi tajam, sikap dingin tapi tegas, dan sorot mata yang sulit ditebak. “Siapa dia sebenarnya?” gumam Gianna pelan, menatap langit-langit yang dihiasi ukiran halus. “Apa aku juga harus menikah dengannya?” Ia menarik napas dalam, menahan degup jantung yang belum juga tenang. “Aku harap dia bukan pria buruk... setidaknya, dia masih muda dan bukan seperti Sergio.” Gianna memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya, tapi rasa takut dan penasaran terus beradu dalam dadanya malam itu. Dua jam telah berlalu sejak rumah itu kembali hening. Namun langkah kaki berat terdengar mendekat perlahan di lorong lantai atas. Jason berhenti tepat di depan pintu kamar Gianna, tangannya menyentuh gagang pintu, lalu mendorongnya pelan hingga terbuka sebagian. Cahaya redup dari lampu meja menyinari sosok Gianna yang tertidur di ranjang berukuran king size. Rambutnya yang panjang terurai di atas bantal, wajahnya tampak tenang meski ada sisa lelah di sana. Gaun pelayan sederhana yang ia kenakan justru membuatnya tampak rapuh, berbeda jauh dari kesan wanita bangsawan yang Jason lihat pertama kali di Roma. “Kamu sudah tidur rupanya,” gumam Jason, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang terhenti di udara. Ia berdiri di ambang pintu, kedua matanya menatap tajam ke arah Gianna, seolah mencoba membaca setiap detail dari wanita itu, siapa dirinya, dari mana asalnya, dan rahasia apa yang disembunyikan di balik pelarian itu. Pikiran Jason berputar cepat, diwarnai rasa ingin tahu yang sulit dijelaskan. “Aku akan segera tahu siapa kamu sebenarnya, Gianna…” katanya pelan sebelum akhirnya menutup kembali pintu dengan hati-hati. Langkahnya menjauh, meninggalkan keheningan malam yang hanya diisi oleh napas lembut Gianna di balik pintu tertutup itu. Jason berjalan menyusuri lorong panjang dengan langkah tenang, pantulan cahaya lampu chandelier mengikuti setiap gerakannya. Ketika sampai di depan kamarnya, ia membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan bergaya klasik modern yang dipenuhi aroma tembakau halus dan kayu mahoni. Tanpa melepaskan jasnya, Jason duduk di kursi kulit di dekat jendela besar yang menghadap ke kebun, lalu merogoh ponsel dari saku dalam jasnya. Jari-jarinya yang panjang dan dingin menekan sebuah nomor di layar ponsel tanpa ragu. Suasana hening berganti dengan bunyi sambungan yang akhirnya tersambung. “Sudah sampai pengiriman dari pelabuhan Napoli?” Suaranya rendah, namun tegas. Dari seberang, terdengar suara pria lain menjawab dengan nada hati-hati. “Ya, Signor, tapi ada gangguan dari pihak luar. Sepertinya seseorang mencoba mengendus pergerakan kita.” Jason terdiam sejenak, pandangannya menembus gelapnya malam di luar jendela. “Hapus jejaknya. Aku nggak mau satu pun nama kita tercatat di sana. Urusan dengan keluarga De Luca akan aku tangani sendiri.” Suara di seberang terdengar tegang. “Baik, Signor.” Jason menutup panggilan tanpa menambahkan kata apa pun, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Wajahnya datar, matanya redup seperti menyimpan badai yang belum pecah. Tangannya memutar gelas whisky di meja, namun pikirannya kembali ke sosok Gianna. Ia menghela napas perlahan. “Malam ini terlalu panjang untuk dua rahasia besar,” gumamnya dingin sebelum menenggak minuman itu perlahan, membiarkan rasa pahit menyatu dengan pikirannya yang semakin gelap. Setelah menutup panggilan, Jason berdiri dan berjalan ke arah rak buku besar di sudut kamar. Ia menekan satu sisi rak itu, dan perlahan panel kayu berputar membuka ruang rahasia kecil. Di dalamnya terdapat berkas-berkas, foto, dan dokumen yang disusun rapi. Ia mengambil satu map hitam bertuliskan “Sergio Morelli”. Jason membuka map itu, menelusuri foto dan catatan dengan sorot mata tajam. “Jadi, Gianna sehatusnya milikmu, Sergio?” gumamnya lirih. Senyum tipis namun dingin muncul di wajahnya. Ia menutup map itu, meletakkannya kembali, lalu menatap pantulan dirinya di kaca besar. “Permainan baru saja dimulai,” ucapnya pelan sebelum mematikan lampu kamar dan membiarkan kegelapan menelan seluruh ruangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN