“Kenapa masih lihat aku? Cepat minum minuman kamu itu. Atau kamu mau masuk angin, kedinginan? Itu pilihan kamu, pengantin kabur,” ucap Jason datar, tapi nada suaranya mengandung perintah yang tak bisa dibantah.
Gianna tersentak pelan, segera menunduk. “Ya, S–Signor,” jawabnya terbata. Tangannya bergetar sedikit saat meraih gelas porselen yang masih mengepulkan uap hangat. Aroma cokelat dan kayu manis langsung memenuhi inderanya, menenangkan tapi sekaligus membuat dadanya sesak oleh gugup.
“Namaku Gianna, Signor,” lanjutnya pelan, mencoba memperkenalkan diri meski suaranya hampir tak terdengar.
Jason menoleh sekilas, mata abu-abu tajamnya menatap lurus padanya. “Gianna?” ulangnya, seolah ingin menghafal nama itu. Ia menegakkan tubuhnya, lalu memberi isyarat dengan dagu. “Ya, cepat minum itu, Gianna.”
Suara baritonnya bergema di ruangan megah itu, membuat Gianna buru-buru meneguk minumannya meski hampir tersedak karena panas. Jason memperhatikannya diam-diam, pandangannya seperti membaca seluruh rahasia di balik wajah wanita muda itu.
Setelah menelan tegukan terakhir, Gianna menurunkan gelasnya perlahan, masih menunduk sopan. Tapi dalam batinnya, hatinya berdetak keras. 'Pria ini… siapa sebenarnya? Kenapa sikapnya begitu dingin tapi matanya seolah tahu segalanya?'
Setelah menghabiskan cokelat panas di cangkir porselen itu, tubuh Gianna masih tampak gemetar. Kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan, berusaha menahan dingin yang entah berasal dari cuaca atau rasa takut yang belum juga reda. Jason memperhatikan gerak-geriknya dari kursi seberang, wajahnya tetap tanpa ekspresi, hanya mata tajamnya yang menyoroti setiap detail seolah sedang menilai sesuatu.
“Pelayan,” panggilnya datar.
Seorang pria paruh baya berperawakan ramping segera muncul dari balik pintu kayu besar. Langkahnya cepat dan nyaris tanpa suara. “Ya, Signor, ada apa?” suaranya sopan namun penuh kewaspadaan.
Jason menggerakkan jarinya, menunjuk ke arah Gianna yang masih menunduk dengan gaun pengantin putihnya yang kini kusut. “Bawa Gianna dan ganti pakaiannya dengan pakaian wanita,” ucapnya singkat.
Pelayan itu yang bernama Grace, terlihat sedikit ragu. Ia menarik napas sebelum berkata, “Maaf, Signor. Di rumah ini… tidak ada pakaian wanita. Yang tersedia hanya pakaian pelayan wanita.”
Ruangan tiba-tiba menjadi hening. Hanya suara jam antik berdetak pelan di dinding. Jason bersandar di kursinya, menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan malam di Sisilia, lalu mengusap dagunya dengan gerakan perlahan. Benar, selama ini tak pernah ada wanita yang tinggal di rumahnya. Ia bukan pria yang membawa tamu sembarangan, apalagi wanita.
“Baju pelayan?” gumamnya lirih, nada suaranya seperti menimbang sesuatu.
Gianna yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri berbicara. “Signor… baju pelayan juga nggak masalah bagiku,” ucapnya lembut, suaranya nyaris bergetar. “Daripada harus terus mengenakan baju berat ini…” Ia menunduk, menatap gaun pengantinnya yang sudah kotor dan terasa menyiksa.
Jason menoleh lagi padanya, pandangannya tajam namun tak sekeras sebelumnya. Ia diam sejenak, lalu menatap Matteo. “Ambilkan. Pastikan yang masih baru.”
“Baik, Signor,” jawab Matteo cepat, menunduk hormat sebelum melangkah pergi.
Gianna mengembuskan napas lega, sementara Jason hanya mengamati diam-diam. Dalam hatinya, ada sesuatu yang baru saja berubah,sesuatu yang bahkan dia sendiri belum bisa jelaskan.
Sebelum Gianna dan pelayan pergi dari hadapannya, Jason bersuara lagi dengan nada rendah tapi tegas. “Grace,” panggilnya tanpa menoleh.
Dari sisi lain ruangan, seorang wanita berusia tiga puluhan muncul. Ia adalah kepala pelayan rumah itu, ramah tapi selalu menjaga jarak dengan tuannya. “Ya, Signor?” sahutnya sopan.
“Besok bawakan baju wanita baru untuk Gianna,” ujar Jason datar, matanya masih menatap api perapian yang berkelap-kelip di depannya. “Pastikan ukurannya pas dan bahannya nyaman. Jangan ada yang bertanya lebih dari yang perlu.”
Grace menunduk hormat. “Baik, Signor.”
Jason hanya mengangguk kecil, lalu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka semua pergi.
Grace segera menuntun Gianna keluar dari ruang utama. Suara langkah kaki mereka perlahan menghilang di balik koridor panjang mansion itu.
Jason kini sendirian, hanya ditemani suara api yang menyala tenang dan detak jam tua di dinding. Tapi pikirannya tidak tenang. Tatapan matanya mengeras perlahan, ada sesuatu tentang Gianna yang menarik perhatiannya lebih dari yang ia inginkan. Dan itu, bagi seorang seperti Jason, berbahaya.
Jason masih menatap punggung Gianna sampai wanita itu benar-benar menghilang di balik koridor panjang. Gaun putihnya yang menyapu lantai meninggalkan jejak lembut, kontras dengan keheningan ruangan yang kini hanya diisi suara api perapian. Tatapan Jason tak beranjak, seolah pikirannya masih terikat pada sosok itu, wanita asing yang datang tiba-tiba, dengan wajah pucat dan mata penuh ketakutan, namun menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar pelarian.
Jason menghela napas pelan lalu bangkit dari kursinya. Gerakannya tenang namun tegas, langkah-langkahnya berat di lantai marmer yang bergema. Ia berjalan menuju meja kayu besar di dekat jendela, di mana segelas anggur merah masih setengah terisi. Setelah menyesapnya sedikit, ia menatap ke luar jendela ke arah langit Sisilia yang kelam dan laut hitam berkilau di kejauhan.
“James,” panggilnya tiba-tiba, suaranya dalam dan berwibawa.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara ketukan pantofel mendekat, ritmis dan pasti. Pintu terbuka, dan seorang pria tinggi berjas hitam masuk dengan wajah serius. “Ya, Signor. Ada yang ingin Anda bicarakan?”
Jason berbalik menatapnya, kedua tangan dimasukkan ke saku celananya. “Ada,” jawabnya singkat. “Aku ingin kamu cari tahu semua informasi tentang wanita bernama Gianna, wanita yang baru saja kubawa ke rumah ini.”
James mengangguk pelan. “Apakah Anda ingin saya mulai dengan latar belakangnya?”
“Tidak hanya itu.” Jason menatap tajam, suaranya kini terdengar seperti perintah yang tak bisa dibantah. “Cari tahu kenapa dia dinikahkan dengan Sergio. Dan kenapa dia kabur dari pernikahan itu.”
Nama Sergio membuat ekspresi James sedikit berubah. “Signir Sergio… politisi Roma itu?”
Jason hanya mengangguk tanpa emosi. “Ya. Aku ingin tahu sejauh mana keterlibatan keluarga Gianna dengan dia. Siapa ayahnya, siapa keluarganya, dan apakah dia punya koneksi lain. Gunakan semua jaringan kita di Roma. Aku ingin laporan lengkap sebelum tengah malam besok.”
James menunduk hormat. “Baik, Signor. Saya akan segera menghubungi orang-orang kita di sana.”
Jason tak menjawab. Ia hanya berjalan pelan menuju perapian, menatap nyala api yang menari. “Dan James,” tambahnya lirih namun tajam, “Pastikan tak seorang pun tahu wanita itu berada di rumah ini. Aku nggak ingin ada mata lain yang mengintai.”
James menatap tuannya dengan penuh hormat. “Perintah diterima, Signor.”
Jason mengangkat gelas anggurnya sekali lagi. “Pergilah.”
James berbalik meninggalkan ruangan, dan Jason kembali menatap kosong ke arah api, pikirannya penuh tanda tanya tentang wanita bernama Gianna yang entah mengapa membuat dadanya terasa berbeda malam itu.
Di kamar pelayan yang terletak di sisi timur mansion, suasananya terasa hangat dengan cahaya lampu kuning temaram. Wangi lembut sabun dan lilin aromaterapi memenuhi udara. Grace melangkah menuju lemari besar dari kayu ek tempat penyimpanan seragam para pelayan. Tangannya yang cekatan membuka satu per satu laci hingga menemukan satu seragam baru yang masih terbungkus rapi dalam plastik bening.
Ia menoleh pada Gianna yang berdiri kikuk di dekat tempat tidur sederhana, masih mengenakan gaun pengantin putih yang kini kusut dan berat. “Signorina,” ucap Grace lembut, panggilan sopan untuk wanita muda di Italia. “Ini bajunya. Seragam baru, belum pernah dipakai.”
Gianna menatap pakaian itu sejenak. Baju berwarna abu-abu muda dengan apron putih bersih, sederhana namun terlihat nyaman. Wajahnya memerah sedikit, perasaan malu bercampur lega mengalir di dadanya. “Terima kasih, Signora Grace,” ujarnya pelan, meski suaranya nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.
“Tidak perlu berterima kasih, Signorina. Silakan berganti di kamar mandi di sana,” ucap Grace sambil menunjuk ke arah pintu kecil di sudut ruangan.
Gianna mengangguk dan melangkah masuk, menggenggam erat baju itu di dadanya. Di balik pintu, ia menatap pantulan dirinya di cermin, gaun pengantin yang dulu melambangkan penjara kini akan berganti dengan pakaian kebebasan baru, meski dalam wujud sederhana seorang pelayan. Ia menarik napas panjang, lalu mulai berganti pakaian dengan tangan yang sedikit bergetar.
Beberapa menit kemudian, Gianna keluar dari kamar mandi dengan seragam pelayan yang kini melekat di tubuhnya. Rambut panjangnya ia kepang sederhana ke satu sisi, memberi kesan lembut namun tegar.
Grace menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Anda terlihat lebih tenang sekarang, Signorina.”
Gianna mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Namun di balik ketenangan wajahnya, pikirannya masih berputar, apa yang akan terjadi selanjutnya?