Diego berdiri sejenak di ambang pintu rumahnya, napasnya berat dan pikirannya kacau. Ia tidak menutup pintu, seolah takut ada kabar yang datang lagi. Dengan gerakan cepat, ia meraih jaket lusuh yang tergantung di dekat gantungan, lalu melangkah keluar. Udara dini hari Roma terasa menggigit, tapi rasa cemasnya jauh lebih menusuk dari dingin mana pun.
Ia masuk ke dalam mobil tuanya, menyalakan mesin yang sedikit tersendat, lalu melajukannya menembus jalanan yang masih sepi. Lampu jalan berkelebat di kaca depannya, sementara pikirannya hanya tertuju pada satu hal, Gianna. “Mungkin dia ke rumah kakak. Kakakku pasti tahu sesuatu, batinnya dengan secercah harapan.
Setelah menempuh beberapa kilometer, ia akhirnya tiba di rumah bergaya klasik di pinggiran kota, milik kakaknya, Lucia Moretti. Rumah itu tampak gelap kecuali cahaya samar dari jendela lantai atas. Diego segera turun dari mobil dan bergegas menuju pintu, langkahnya cepat dan tergesa.
Tok! Tok! Tok!
“Lucia! Lucia, buka pintunya!” suaranya berat, nyaris putus napasnya.
Beberapa detik kemudian, terdengar langkah kaki dari dalam. Pintu terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya dengan wajah lelah namun lembut.
“Diego? Kenapa pagi buta begini datang? Ada apa?”
Diego menatapnya dengan mata penuh kegelisahan. “Lucia… Gianna kabur dari pernikahannya. Aku harus menemukannya sebelum Signor Sergio marah. Tolong, katakan padaku… apakah dia ada di sini?”
Lucia menatap Diego dengan mata melebar tak percaya. “Gianna… nggak ke sini,” katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Astaga, Diego… bagaimana anak itu bisa kabur dari pernikahan penting seperti ini?”
Diego memejamkan mata sejenak, lalu menatap kakaknya dengan wajah pucat dan mata merah karena kurang tidur. “Aku sendiri nggak tahu, Lucia,” jawabnya lirih, tapi suaranya bergetar menahan panik. “Dia sempat minta izin ke toilet. Aku… aku percaya padanya, aku pikir dia cuma gugup.” Ia menunduk, mengepalkan tangan gemetar. “Tapi ternyata… dia kabur. Kabur dari Signor Sergio.”
Lucia terdiam, wajahnya berubah tegang. Ia tahu siapa Sergio, nama itu saja sudah cukup untuk membuat siapa pun merasa gentar. “Diego…” katanya hati-hati, “Kamu sadar, apa yang akan terjadi kalau Signor Sergio tahu kamu kehilangan dia?”
Diego menatap kosong ke lantai. “Aku tahu,” suaranya parau. “Signor Sergio pasti sudah marah besar. Aku sudah berjanji… sudah berjanji akan menikahkan Gianna dengannya. Dan sekarang… dia kabur, mempermalukan semuanya.”
Ruangan itu terasa makin sesak. Jam di dinding berdetak pelan, setiap detiknya seperti menghitung waktu menuju bencana.
Lucia menggenggam tangan adiknya dengan kuat. “Kamu harus temukan Gianna, Diego. Sebelum Signor Sergio melampiaskan kemarahannya padamu.”
Diego menatap kakaknya, napasnya berat. “Kalau aku gagal menemukannya, Lucia…” Ia berhenti, suaranya tercekat, “Aku mungkin nggak akan hidup cukup lama untuk menyesalinya.”
*
*
Sisilia, jam 24.00 malam waktu setempat.
Mobil sport merah milik Jason meluncur perlahan melewati gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis, menembus jalanan berbatu menuju mansion megah di Sisilia. Udara dini hari masih dingin, kabut tipis melayang di antara pepohonan pinus yang berbaris rapi di sisi jalan. Di kejauhan, suara ombak Laut Mediterania samar terdengar, membentur tebing di belakang rumah besar itu.
Mansion itu berdiri megah dengan arsitektur khas Italia, dinding batu kapur putih, jendela-jendela tinggi berukir, dan balkon berhiaskan tanaman anggur yang merambat indah. Lampu-lampu taman menyala temaram, memantulkan cahaya ke permukaan marmer halaman depan. Aroma lembap dari laut bercampur dengan wangi lavender yang ditanam di sepanjang jalan masuk.
Jason memarkirkan mobil di depan tangga utama. Ia mematikan mesin dan menatap sejenak ke arah penumpang di sebelahnya. Gianna tertidur, wajahnya tenang meski masih tampak jejak kelelahan dan ketakutan yang belum benar-benar hilang. Rambutnya yang tergerai menutupi sebagian pipi, membuatnya tampak rapuh.
Jason bersandar di kursinya, menghela napas panjang sambil menatap mansion yang kini tampak seperti benteng rahasia, tempat ia menyembunyikan sesuatu dari dunia luar. “Selamat datang di Sisilia, Signora pengantin,” gumamnya pelan, nyaris seperti ejekan lembut.
Ia kemudian keluar, melangkah ke sisi lain mobil, membuka pintu, dan membungkuk sedikit. “Bangun,” suaranya tenang tapi tegas. “Kita sudah sampai.”
Gianna bergeming sejenak, sebelum perlahan membuka mata. Pandangannya buram, tapi segera melebar saat melihat bangunan megah di depannya. Ia tersentak gugup.
“Di mana ini, Signor?” Suaranya serak.
Jason menatapnya datar, senyum tipis terulas di sudut bibirnya. “Rumahmu sekarang.”
“Rumahku?” ulang Gianna dengan suara nyaris tak terdengar. Matanya membulat, terpaku pada pemandangan di hadapannya. Mansion itu terlalu besar, terlalu megah dengan ukiran klasik di setiap pilar dan kaca patri yang berkilau memantulkan cahaya bulan. Seolah-olah tempat itu milik bangsawan kuno, bukan pria asing yang baru saja menolongnya melarikan diri dari pernikahan yang gagal.
Angin laut berembus lembut membawa aroma garam dan bunga lavender. Gaun pengantinnya yang kusut berkibar pelan di sekitar kaki. Jantung Gianna berdetak keras. Siapa sebenarnya pria ini? Dari mobil sport yang dikendarainya, cara bicaranya yang tenang tapi berwibawa, dan rumah sebesar ini, jelas Jason bukan orang biasa.
Jason sudah keluar lebih dulu, menutup pintu mobil dengan satu gerakan cepat dan berbalik menatapnya. Tatapannya tajam, dalam, dan sulit ditebak. “Apa kamu masih ingin menatap mansion ini lebih lama lagi?” Suaranya datar namun terdengar sedikit sarkastik. “Aku mau masuk.”
Gianna tersentak dari lamunannya. “I-ya, Signor.” Ia segera turun, mengangkat sedikit gaun putihnya agar tidak terseret di jalan berbatu. Tumitnya yang tinggi membuat langkahnya goyah, namun ia tetap berusaha mengikuti Jason yang sudah menaiki beberapa anak tangga dengan langkah mantap.
“Signor, ini… di mana?” tanyanya ragu, suaranya hampir tenggelam oleh deburan ombak dari kejauhan.
Jason berhenti sejenak di puncak tangga, lalu menoleh setengah, pandangannya gelap namun tenang. “Sisilia,” jawabnya singkat.
“Sisilia?” Gianna tersentak. “Berarti kita… sangat jauh dari Roma?”
Jason mengangguk sekali. “Cukup jauh sampai pengawal-pengawal itu tak akan menemukanku. Atau kamu.”
Kata-kata itu membuat Gianna menggigil. Ada rasa aman, tapi juga rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Ia baru sadar dirinya kini benar-benar berada di wilayah kekuasaan Jason.
Saat pintu besar mansion terbuka otomatis, suara engselnya bergema di udara. Gianna menatap ke dalam, dan entah kenapa, perasaannya seperti melangkah ke dunia lain, gelap, misterius, tapi tak bisa dihindari.
Tanpa perlu memanggil, seorang wanita berpenampilan anggun datang menghampiri Jason begitu ia melangkah masuk ke dalam mansion. Usianya sekitar tiga puluhan, mengenakan seragam hitam dengan apron putih yang rapi, jelas seorang pelayan pribadi yang sudah terbiasa melayani tuannya.
“Signor Jason,” sapanya dengan suara lembut namun penuh hormat. “Apa yang perlu disiapkan malam ini?”
Jason berjalan perlahan melewati ruang tamu yang luas, lantainya terbuat dari marmer putih, sementara lampu gantung kristal di atas kepala memantulkan cahaya hangat. Ia menanggalkan jas dan meletakkannya di sandaran kursi kulit. “Mungkin aku ingin teh hitam panas,” katanya singkat.
“Baik, Signor.” Pelayan itu membungkuk sedikit, hendak berbalik, namun langkahnya terhenti ketika Jason menoleh ke arah Gianna yang masih berdiri canggung di ambang pintu.
“Dan dia,” ucap Jason pelan, pandangannya mengarah pada Gianna, “Berikan dia cokelat panas. Tambahkan sedikit kayu manis di atasnya.”
Gianna menatap Jason dengan mata lebar, sedikit terkejut. “A-aku nggak ingin merepotkan—”
Jason mengangkat alis, memotong kata-katanya tanpa bicara. Hanya dengan tatapan itu, Gianna tahu tak ada gunanya menolak.
Pelayan itu mengangguk sopan. “Segera saya siapkan, Signor,” katanya, lalu bergegas pergi meninggalkan mereka berdua.
Jason berjalan menuju kursi besar di dekat perapian, menyalakan nyala api dengan satu sentuhan pada panel kecil di dinding. Ruangan itu langsung terasa hangat. Ia menatap bara api beberapa saat sebelum berkata tanpa menoleh, “Duduklah, kamu. Kamu terlihat seperti mau pingsan.”
Gianna menurut dengan langkah pelan, duduk di sofa empuk itu, jantungnya berdebar keras. Suasana di mansion itu terasa terlalu tenang, terlalu asing dan Jason, pria yang menyelamatkannya, semakin sulit ditebak.
Sejenak Gianna menatap Jason tanpa sadar, mencoba memahami sosok pria yang kini duduk santai di depannya. 'Jadi… namanya Jason.' Nama itu terasa asing namun kuat, seperti pemiliknya. Tatapannya turun pada jemari pria itu yang memegang gelas kristal dengan tenang, seolah dunia di sekitarnya bisa dia kendalikan sesuka hati.
Namun ketika mata mereka bertemu, Jason mengangkat alis dan berkata datar, “Apa kamu belum puas menatapku?”
Gianna langsung menunduk, wajahnya memanas, jantungnya berdegup lebih cepat. “M-maaf, Signor… saya tidak bermaksud—”
Jason menyandarkan punggungnya ke kursi, sudut bibirnya terangkat samar. “Kamu terlalu mudah panik,” ujarnya dingin, sebelum kembali menyesap minumannya.
Gianna hanya diam, semakin bingung dengan siapa sebenarnya pria ini. Dia hanya berharap Jason tidak lebih untuk daripada Sergio.