Eps. 5 Hilang Tanpa Jejak

1070 Kata
Jalanan Roma yang biasanya dipenuhi tawa turis dan gemerincing musik jalanan kini berubah tegang. Di setiap sudut kota, terlihat barisan pengawal Sergio berpakaian hitam menyebar, menyisir tiap gang dan lorong sempit. Mobil-mobil mewah berhenti mendadak di pos pemeriksaan sementara yang didirikan di beberapa titik utama, termasuk di sepanjang Via del Corso dan Piazza Venezia. Lampu biru berkedip, membuat suasana malam tampak seperti perburuan besar. “Periksa semua mobil dari luar kota!” perintah salah satu kepala pengawal dengan nada tajam. “Jangan ada yang lewat tanpa izin!” Para pengawal memeriksa setiap jendela, membuka bagasi, menyorotkan senter ke dalam mobil. Wajah-wajah tegang sopir dan penumpang menjadi pemandangan biasa malam itu. Mereka tidak tahu bahwa semua ini hanya demi satu wanita, seorang pengantin yang berani kabur dari pernikahan dengan salah satu pria paling berkuasa di Italia. Waktu terus bergulir menuju dini hari, namun belum ada tanda-tanda keberadaan Gianna. Langit Roma perlahan memucat di ufuk timur, menyambut pagi dengan udara dingin yang menggigit. Di tengah hiruk-pikuk pencarian itu, satu hal menjadi jelas, malam ini, seluruh Roma seolah tak bisa tidur, karena murka Sergio kini menjelma menjadi bayangan yang menekan seluruh kota. Pencarian itu berlangsung sepanjang malam. Lampu-lampu mobil patroli dan kendaraan hitam milik Sergio masih tampak berkeliling hingga menjelang fajar. Udara dini hari Roma terasa dingin dan lembap, menambah berat kelelahan yang sudah menempel di wajah para pengawal. Mereka sudah menyisir gang sempit di Trastevere, menelusuri jembatan di atas Sungai Tiber, hingga ke pinggiran kota, tapi hasilnya nihil. Ketika langit mulai berubah abu-abu, salah satu pengawal menghentikan langkahnya di dekat mobil utama. Napasnya berat, keringat dingin menetes di pelipisnya. “Bagaimana ini… pencarian kita tak membuahkan hasil,” ucapnya lirih, menatap rekan-rekannya yang sama letihnya. Rekan di sebelahnya menghela napas panjang, menatap ke arah mentari yang mulai muncul di balik gedung-gedung tua Roma. “Kita harus bersiap-siap menghadapi Signor,” katanya dengan nada rendah tapi sarat kecemasan. Semua terdiam. Mereka tahu arti kalimat itu, kemarahan Sergio bukan sesuatu yang bisa dihadapi dengan tenang. Tak ada yang ingin berada di hadapannya membawa berita kegagalan. Suara mesin mobil dinyalakan pelan. Dalam diam, mereka kembali ke arah vila Sergio. Jalanan yang mulai terang terasa lebih dingin dari sebelumnya, seakan kota Roma sendiri ikut takut pada amarah sang penguasa bayangan. “Lapor, Signor,” suara seorang pengawal terdengar lirih namun tegas saat ia melangkah masuk ke ruang kerja Sergio yang besar dan gelap. Sergio duduk di kursi kulit hitam di balik meja panjang dari kayu mahoni, menatap dengan tajam dari balik kacamata tipisnya. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya menyala seperti bara yang siap membakar. Jemarinya mengetuk meja perlahan, bunyi ketukan itu membuat seluruh ruangan terasa sesak. “Ya.” Suaranya berat dan dingin. “Mana Gianna?” Tubuh pengawal itu menegang. Ia mencoba untuk tetap tenang, mencoba menyusun kalimat. “Signor, kami sudah menyisir seluruh jalan, dari pusat kota hingga ke perbatasan. Tapi…” suaranya mengecil, “Kami masih belum menemukan Signora Gianna. Kami mohon maaf.” Sergio diam beberapa detik. Lalu, dengan satu tarikan napas tajam, ia bangkit berdiri. “Kalian gagal lagi?” Suaranya meninggi, bergemuruh di seluruh ruangan. “Kalian hanya disuruh mencari satu wanita dengan gaun pengantin mencolok, dan kalian masih nggak bisa menemukannya?” Pengawal itu merunduk lebih dalam, tubuhnya bergetar menahan ketakutan. “Kami hanya perlu waktu lagi, Signor…” Sergio menatapnya tajam, lalu tertawa dingin, pendek, getir, dan berbahaya. “Kalian perlu waktu lagi?” Ia mengulang dengan nada mengejek. “Kalian hanya punya dua kesempatan… dan kamu baru saja menghabiskan kesempatan kedua.” Ia berbalik menuju sebuah pintu besi di sisi ruangan, lalu membukanya perlahan. Dari balik pintu terdengar suara geraman rendah, kemudian tiga ekor anjing besar keluar, anjing Cane Corso, bertubuh kekar dan bermata liar, rahangnya mengeras meneteskan liur. Sergio menatap pengawalnya dengan dingin. “Kamu ingin waktu lagi? Mungkin mereka bisa membantumu menghitungnya.” Dan seketika ruangan dipenuhi teriakan dan suara rintihan ngeri sebelum kembali sunyi, menyisakan aroma logam di udara dan tatapan puas di mata Sergio yang dingin seperti batu. Di rumah Diego. Malam itu terasa begitu panjang bagi Diego. Sejak kaburnya Gianna dari pernikahan, tak sedetik pun ia bisa memejamkan mata. Wajah putrinya terus muncul di benaknya, bergantian dengan bayangan Sergio yang marah, sangat marah. Ia tahu betul, pria itu bukan orang biasa. Sergio adalah sosok yang kejam, penguasa politik dan bisnis yang bisa menghancurkan siapa pun yang berani mempermalukannya. Dan kini, Diego telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya, calon istri Sergio hilang karena kelalailannya. Ia duduk di kursi ruang tamu rumahnya, menatap jam dinding yang berdetak lambat seolah mengejeknya. Tangannya gemetar ketika meraih segelas air, namun tak sempat diminum. Ia bangkit lagi, berjalan mondar-mandir seperti orang kebingungan. “Gianna, di mana kamu, anakku?” desisnya pelan, suaranya serak oleh cemas dan penyesalan. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menyingkirkan rasa takut yang terus menghantui. Tapi setiap kali bayangan Sergio muncul, tubuhnya kembali dingin. Ia tahu, saat matahari terbit nanti, kabar buruk akan datang. Dan jika Gianna belum ditemukan… maka bukan hanya hidup putrinya yang dalam bahaya, tapi juga hidupnya sendiri. Terdengar suara ketukan keras di pintu, cepat, berat, dan berulang, memecah keheningan dini hari. Diego yang sejak tadi duduk gelisah langsung tersentak. Napasnya tercekat. Dengan tangan bergetar, ia berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Di balik pintu, berdiri dua orang pengawal Sergio, berpakaian hitam dengan wajah serius tanpa ekspresi. Sorot mata mereka tajam, dan kehadirannya membuat bulu kuduk Diego berdiri. “Apakah Gianna ditemukan?” tanyanya cepat, bahkan sebelum salah satu pengawal sempat bicara. Suaranya terdengar serak dan nyaris putus asa. Pengawal yang berdiri di depan menghela napas pendek. “Kami sudah berusaha mencarinya di seluruh penjuru kota, Signor Diego. Namun pencarian kami belum membuahkan hasil,” jawabnya tegas tapi dingin. Diego menegang. Ia bisa merasakan keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Tubuhnya seolah kehilangan tenaga, tapi ia memaksa berdiri tegak. “Aku... aku akan bantu mencarinya,” katanya terbata. “Mungkin dia bersembunyi di rumah keluarga lain, atau... atau di tempat yang dia percaya aman. Tolong beri aku waktu. Aku janji, aku akan temukan Gianna untuk Signor Sergio.” Pengawal itu menatapnya dalam, seolah menilai apakah Diego benar-benar bisa dipercaya. Lalu ia sedikit mendekat, suaranya rendah tapi penuh ancaman. “Baik. Tapi ingat, Signor Sergio tak memberi banyak kesempatan. Aku harap kamu menepati janjimu itu karena jika tidak, konsekuensinya... akan sangat berat.” Diego hanya bisa mengangguk, menelan rasa takut yang menggumpal di tenggorokannya sementara kedua pengawal itu berlalu dalam diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN