Eps. 4 Lolos Sementara

1157 Kata
“Signor, bagaimana ini?” tanya Gianna dengan suara bergetar, matanya panik menatap ke arah jendela. “Ssst!” desis Jason cepat, matanya tajam seperti pisau. Dalam satu gerakan cekatan, dia melepas jas hitam yang menempel di tubuhnya lalu menyampirkannya di bahu Gianna, menutupi gaun putih yang mencolok. Aroma maskulin jas itu segera memenuhi hidung Gianna, bercampur dengan detak jantungnya yang semakin cepat. “Turunkan kepalamu,” ucap Jason pelan tapi tegas. Tangan kuatnya menarik Gianna ke arahnya, memeluknya erat hingga wajah gadis itu tersembunyi di dadanya. Dari luar, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang sedang berpelukan mesra di mobil. Ketukan di kaca terdengar lagi. “Signor, apakah Anda melihat seorang wanita mengenakan gaun pengantin lewat?” tanya pengawal dengan nada curiga. Jason menoleh, menatapnya dingin dari balik kaca. “Wanita dengan gaun pengantin? Di mobilku?” tanyanya balik dengan nada datar, senyum tipis menyelip di bibirnya. Gianna menahan napas di pelukannya, tubuhnya bergetar. Jason mengusap punggungnya perlahan, seolah menenangkan, padahal di matanya terselip kesadaran penuh bila permainan berbahaya baru saja dimulai. “Kamu nggak lihat aku sedang apa? Aku sedang bersama kekasihku. Kamu mengganggu saja!” Suara Jason meninggi, nada tajam dan mengandung amarah yang dibuat sangat meyakinkan. “Ma-maaf, Signor,” jawab pengawal itu terbata, menunduk gugup. Jason menatapnya sekilas dengan sorot dingin, lalu menutup kembali kaca mobilnya. Dari luar, terdengar langkah-langkah tergesa menjauh, disusul suara komunikasi lewat radio yang mulai memudar. Gianna masih meringkuk di dadanya, tubuhnya gemetar. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tak beraturan. Baru kali ini ia merasakan ketakutan sekaligus kelegaan dalam waktu bersamaan. Ia masih bisa mencium aroma cologne Jason yang kuat, maskulin dan sedikit menusuk, membuatnya sadar bahwa ia berada di wilayah pria asing yang bahkan mungkin berbahaya. Ketika lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, Jason perlahan menjauhkan tubuh Gianna dari dirinya. Tangannya masih menahan bahunya agar tetap rendah. “Tetaplah menunduk,” ucapnya datar tanpa menoleh. Gianna menurut. Ia bisa melihat dari bawah kaca mobil, jalan mulai bergerak. Mobil melaju perlahan, meninggalkan keramaian Piazza Spagna yang dipenuhi cahaya dan kebisingan. “Jangan angkat wajahmu sampai aku bilang aman,” lanjut Jason tenang, tapi setiap katanya seperti perintah yang tak bisa dibantah. Gianna menahan napas, menunduk semakin dalam. Hatinya berdesir tak karuan antara takut, bingung, dan rasa ingin tahu yang tumbuh terhadap pria dingin yang baru saja menyelamatkannya itu. Setelah beberapa meter melaju di jalan yang mulai lengang, Jason melirik kaca spion untuk memastikan keadaan sekitar. Sorot matanya tajam dan penuh perhitungan, memindai setiap kendaraan yang lewat. Tak ada lagi bayangan hitam yang membuntuti mereka. Hening sejenak, hanya suara mesin mobil yang terdengar stabil di antara detak jantung Gianna yang masih berpacu cepat. “Tegakkan tubuhmu sekarang,” ucap Jason akhirnya, nada suaranya tenang tapi tetap mengandung otoritas yang sulit dibantah. Gianna mengangkat kepalanya perlahan. Napasnya masih tersengal, namun ada sedikit kelegaan yang mulai menyelinap ke dalam dadanya. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba menata napas dan menyapu rambut yang berantakan dari wajahnya. Da-da yang tadi sesak mulai sedikit longgar, menyadari bahwa ia berhasil lolos dari kejaran pengawal Sergio, setidaknya untuk sementara. Namun, rasa tenang itu cepat menguap ketika matanya menangkap sekilas sosok pria di sebelahnya. Dari sudut mata, Gianna memperhatikan garis rahang Jason yang tegas, tatapan matanya fokus ke jalan, dan ekspresi dinginnya yang sulit diterka. 'Pria macam apa dia sebenarnya?' batinnya bergetar. 'Apakah aku barusan membuat kesalahan besar?' Tapi ia segera menggeleng pelan, berusaha menenangkan pikirannya. Ia tidak punya pilihan lain. Saat ini hanya pria asing itu yang menjadi pelindung sekaligus entah sadar atau tidak, tali takdir barunya. Matanya menatap lurus ke jalan yang membentang di depan. Gelap, panjang, dan tak tahu ke mana akan membawanya. * Di Basilica di Santa Maria Maggiore, tempat pernikahan megah itu berlangsung, suasana berubah mencekam. Lampu kristal yang bergantung di langit-langit tinggi memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan, tapi kilau itu tak mampu menutupi hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti udara. Sergio berdiri tegap di depan altar, jas pengantin putih gadingnya kini terlihat mencolok di tengah kemarahan yang mulai membakar wajahnya. Rahangnya mengeras, urat di pelipisnya menegang. Beberapa tamu undangan mulai berbisik-bisik melihat pengawal-pengawal berpakaian hitam masuk kembali dengan wajah panik. “Bagaimana?” Suaranya terdengar berat, rendah, namun mengandung ancaman yang nyata. “Sudah kalian temukan Gianna?” Salah satu pengawal, pria tinggi dengan rambut yang sedikit basah oleh keringat, melangkah maju sambil menunduk. “S–Signor, kami sudah berusaha keras menyusuri seluruh area. Kami memeriksa setiap lorong, setiap jalan keluar di sekitar gereja ini. Bahkan kami mengejar hingga ke jalan utama Piazza Spagna. Tapi…” Suaranya mengecil, “Kami tidak menemukan Signora Gianna.” Sergio membalik tubuhnya perlahan, menatap pengawal itu tajam. “Apa katamu?” Suaranya meninggi tiba-tiba, membuat beberapa orang terlonjak. “Kalian hanya disuruh mencari satu wanita, satu wanita yang bahkan memakai gaun pengantin mencolok dan kalian nggak bisa menemukannya?” Pengawal itu menegang. “M-maaf, Signor…” Sergio mendekat, langkahnya berat, menghantam lantai marmer dengan suara bergema. “Kalian tidak tahu dengan siapa kalian berurusan, hah? Aku tidak ingin mendengar alasan. Aku ingin hasil!” Tangan besar Sergio mengepal kuat di sisi tubuhnya. “Temukan dia,” katanya dingin, tapi penuh racun. “Meskipun kalian harus membalikkan setiap batu di kota Roma ini. Temukan Gianna malam ini juga. Kalau tidak…” Ia berhenti sejenak, menatap mereka satu per satu, “Aku akan memastikan kalian menyesal dilahirkan.” Semua pengawal itu menunduk dalam-dalam. Suara langkah Sergio menjauh terdengar seperti dentang lonceng maut di dalam gereja yang masih dipenuhi aroma bunga pengantin yang kini terasa getir. Ruangan megah Basilica de Santa Maria Maggiore masih dipenuhi para tamu undangan yang kebingungan dan berbisik satu sama lain. Musik lembut dari orkestra yang sebelumnya mengiringi prosesi pernikahan kini berhenti total, meninggalkan suasana canggung yang menggantung di udara. Para sosialita, politisi, dan pebisnis yang hadir saling bertukar pandang, beberapa menutupi mulut sambil berbisik, “Pengantinnya kabur?” atau “Apa ini tidak mempermalukan keluarga Diego?” Setelah Sergio keluar dengan langkah berat dan pengawal-pengawalnya menyusul di belakang, suasana menjadi riuh. Kilatan kamera wartawan mulai terlihat dari luar, mencoba mengabadikan momen memalukan itu. Di salah satu sudut gereja, Diego duduk di kursi panjang berukir emas dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya menggenggam rambutnya sendiri, matanya merah, dan napasnya terdengar berat. Frustrasi dan penyesalan bercampur jadi satu di dalam dirinya. “Bagaimana bisa aku kehilangan dia?” gumamnya nyaris tak terdengar. Beberapa kerabat mencoba mendekat, memberi penghiburan, tapi Diego hanya menggeleng pelan. Ia menatap altar yang kini kosong, tempat seharusnya putrinya berdiri bersanding dengan Sergio. Semua yang ia rencanakan hancur dalam sekejap, meninggalkan hanya rasa malu dan kekalahan yang menyesakkan da-da. Diego menatap kosong ke arah pintu besar gereja, tempat terakhir kali ia melihat bayangan Gianna sebelum mengizinkannya pergi ke toilet. Kenangan singkat itu berputar kembali, menusuk dadanya. “Kenapa aku begitu mudah percaya?” desisnya pelan, suaranya bergetar. “Harusnya aku mengantarnya… harusnya aku nggak membiarkannya pergi sendiri.” Ia mengepalkan tangan kuat-kuat, menahan perasaan bersalah yang kian menyesakkan. Semua ini terjadi karena kebodohannya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN