Eps. 2 Alasan Kabur

1158 Kata
Sekilas, tatapan Gianna bertemu dengan mata Diego lewat pantulan cermin. Hanya beberapa detik, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sesak. Segera ia menunduk, mengalihkan pandangan pada rangkaian bunga di meja rias. 'Ayah masih di sana… berdiri mengawasiku, takut aku kabur.' 'Apakah ini akhir dari hidupku? pikirnya pilu. Apa aku benar-benar akan menjadi istri Signor Sergio?' Bayangan pria itu muncul di pikirannya, dingin, berkuasa, dan jauh dari segala yang ia impikan. Pedih dan putus asa bercampur jadi satu, namun di dasar hatinya masih ada bara kecil, keinginan untuk bebas, meski ia tak tahu bagaimana bisa bebas. Gianna menarik napas panjang, menegakkan bahu, lalu memaksakan senyum tipis di depan cermin. “Lucia, boleh tolong rapikan sedikit bagian bawah mataku? Aku ingin terlihat sempurna hari ini,” katanya lembut. Lucia mengangguk, sementara Diego yang mengawasi dari pintu menghela napas lega, mengira putrinya telah pasrah menerima takdir. Padahal di balik senyum pura-pura itu, Gianna sedang menyembunyikan tekad bila hari ini, jika kesempatan datang, ia akan menemukan jalannya sendiri untuk melarikan diri dari pernikahan yang bukan pilihannya. Lucia membungkuk sedikit, menatap wajah Gianna dengan penuh konsentrasi. Dengan kuas kecil, ia membetulkan riasan di bawah mata sang pengantin, menambahkan sedikit kilau agar tampak segar. Tangannya bergerak tenang, lembut, seperti sudah terbiasa menghadapi pengantin yang gugup. Setelah beberapa menit, ia menaruh kuasnya dan tersenyum puas. “Selesai, Signorina,” ucap Lucia sambil melangkah sedikit ke samping agar Gianna bisa melihat hasilnya sepenuhnya di cermin besar. “Riasan ini benar-benar pas untuk Anda. Anda terlihat cantik sekali… begitu lembut dan anggun. Gaun ini seolah memang dibuat hanya untuk Anda,” pujinya tulus. Gianna memandangi bayangan dirinya, wajah yang tampak sempurna, mata yang berkilau karena kosmetik, bukan karena kebahagiaan. Gaun putih bertabur renda itu menutupi tubuhnya seperti penjara yang berlapis indah. “Terima kasih, Lucia,” jawabnya pelan, membentuk senyum tipis di bibir. Tapi di balik senyum itu, jiwanya terasa hampa. Lucia mengangguk sopan, lalu mulai merapikan peralatan make-up di meja, tak menyadari bahwa pengantin muda di depannya sedang menelan air matanya sendiri. Di ambang pintu, Diego masih berdiri waspada, sementara Gianna hanya bisa menatap dirinya di cermin, seorang gadis yang tampak sempurna, tapi sedang berjuang melawan takdir yang bukan pilihannya. Begitu melihat riasan Gianna telah selesai, Diego segera melangkah cepat masuk ke ruangan. Sepatunya berderap tegas di lantai marmer, menyuarakan ketegangan yang menggantung di udara. Dengan senyum yang dipaksakan agar tampak tenang di hadapan orang lain, ia mendekati putrinya dan menggenggam tangan Gianna yang dingin. “Gianna, ayo,” katanya pelan namun penuh tekanan. “Signor Sergio sudah menunggu di altar.” Gianna menatap tangan ayahnya yang menggenggam tangannya erat—erat seolah tak ingin memberinya ruang untuk melarikan diri. Napasnya tertahan. Ia mencoba menenangkan diri, menahan badai yang bergolak di dalam da-da. 'Tenang, Gianna… hanya sebentar lagi. Kamu bisa berpura-pura sampai waktu yang tepat datang.' Dengan langkah perlahan, ia berdiri. Gaun pengantinnya bergemerisik lembut mengikuti setiap gerakan. Tanpa sepatah kata pun, Gianna melingkarkan lengannya di lengan Diego. Mereka berjalan keluar dari ruang rias menuju lorong panjang yang diterangi lampu gantung kristal. Di ujung lorong itu, musik pernikahan mulai terdengar samar, indah bagi orang lain, tapi terdengar seperti lagu perpisahan bagi Gianna. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah menuntunnya bukan menuju altar kebahagiaan, melainkan ke takdir yang hendak merenggut kebebasannya. Di ujung ruangan yang megah itu, di bawah lengkungan altar berhias bunga putih dan emas, berdiri Signor Sergio, pria berusia hampir sama dengan Diego. Jas pengantin hitamnya rapi, dasi peraknya berkilau di bawah cahaya lampu kristal. Saat Gianna melangkah mendekat, pria itu tersenyum, senyum yang bagi orang lain mungkin tampak ramah, namun bagi Gianna terasa menakutkan, seperti bayangan dingin yang menelan napasnya perlahan. Ia mencoba membalas dengan senyum tipis, sekadar menjaga kesopanan, meski di balik senyum itu hatinya bergetar hebat. Tangannya yang digenggam Diego terasa semakin dingin, seolah darahnya berhenti mengalir. Setiap langkah menuju altar terasa seperti menapaki jurang yang tak ada ujungnya. Ketika akhirnya berdiri berhadapan dengan Sergio, pandangan mereka bertemu. Tatapan pria itu tajam, menelusuri setiap detail dirinya, membuat Gianna ingin menunduk, ingin berlari. Tapi tubuhnya kaku, terikat oleh tatapan orang-orang dan musik lembut yang terus mengalun. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba bernapas. 'Bagaimana aku bisa pergi dari sini? Apakah masih ada jalan keluar sebelum semuanya terlambat?' Namun ketika ia membuka mata kembali, dunia sudah terlanjur menunggu sumpah yang tidak pernah ia inginkan dan waktu terus berjalan, tanpa memberi kesempatan untuk mundur. Gianna berdiri kaku di depan altar, detak jantungnya berpacu cepat. Dalam kepanikan yang nyaris tak tertahankan, tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya, berisiko, tapi mungkin satu-satunya kesempatan. Ia menoleh perlahan ke arah Diego dan menariknya sedikit mendekat. “Ayah…,” bisiknya lirih, seolah malu. “Aku gugup. Aku ingin ke toilet sebentar. Aku janji nggak akan lama, dan aku nggak akan kabur. Jadi… nggak perlu temani aku ke sana, ya?” Diego menatapnya tajam, mencoba membaca niat di balik mata putrinya. Hening beberapa detik terasa panjang dan menegangkan. Namun pandangan Gianna begitu meyakinkan, begitu tulus tidak terlihat berpura-pura. Akhirnya Diego mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cepat kembali, Gianna.” Gianna menatap Sergio sejenak, berusaha menampilkan senyum tenang yang nyaris tak bisa bertahan. Lalu, dengan langkah hati-hati, ia berbalik dan berjalan menjauh dari altar. Setiap langkah membuat detak jantungnya makin keras terdengar di telinganya sendiri. Para tamu sibuk berbicara dan orkestra memainkan musik lembut, tak banyak yang memperhatikan kepergiannya. Ia melangkah cepat menuju pintu samping aula pernikahan, lalu menelusuri lorong panjang berhias lukisan dan karpet merah tua. Begitu tiba di depan toilet wanita, Gianna berhenti, berpura-pura hendak masuk. Namun matanya segera mencari ke sekeliling, menelusuri setiap detail ruangan dengan gelisah. Di ujung koridor, di balik tirai beludru besar berwarna marun, ia melihat sebuah pintu kecil bertanda “Servizio Personale” jalur khusus untuk staf kebersihan dan pelayan. “Di sana… mungkin itu jalan keluar,” pikirnya dengan napas tercekat. Ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang memperhatikan. Ruangan tampak sepi, hanya suara musik samar dari aula yang masih bergema. “Aku sepertinya bisa keluar aman dari sini tanpa ada yang melihat,” lirihnya hampir tanpa suara. Dengan cepat, ia mengangkat bagian bawah gaun pengantinnya agar tidak terseret, lalu melepas sepatu haknya yang menghalangi langkah. Ujung kakinya menyentuh dinginnya lantai marmer saat ia mulai berlari pelan menyusuri lorong sempit itu. Napasnya memburu, gaunnya bergemerisik lembut. Ketika pintu kecil itu terbuka, udara luar menyambutnya, dingin, bebas, dan penuh harapan yang ia rasakan hari itu. Gianna berlari menuruni tangga Piazza di Spagna, gaun pengantinnya berkibar ditiup angin malam Roma. Jalanan ramai, suara klakson dan teriakan pengendara berpadu dengan cahaya lampu kota. Lampu lalu lintas menyala merah, deretan mobil berhenti berbaris di sepanjang jalan. Napasnya terengah, jantungnya berdebar hebat, namun matanya jatuh pada sebuah mobil sport merah yang berhenti random di tepi jalan. Pengemudinya tampak tenang. Tanpa pikir panjang, Gianna mengangkat sedikit gaunnya dan berlari ke arah mobil itu, berharap pada keajaiban, atau setidaknya, jalan untuk benar-benar melarikan diri malam itu. Sambil mengetuk kaca mobil itu ia berkata. “Signor, tolong buka pintunya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN