Eps. 11 Maafkan Aku

1351 Kata
Beberapa jam setelah matahari meninggi di langit Sisilia, Gianna akhirnya memberanikan diri keluar dari kamarnya. Udara laut yang masuk lewat jendela koridor membawa aroma asin yang menenangkan, tapi hati Gianna masih diliputi tanda tanya tentang pria bernama Jason itu. Ia menuruni anak tangga perlahan, langkahnya ringan tapi matanya terus menelusuri setiap sisi rumah mewah itu. Begitu sampai di dapur, ia melihat Grace sedang menyiapkan sarapan untuk para pelayan lain. “Grace,” panggil Gianna pelan sambil mendekat. “Di mana aku bisa menemui Signor?” Grace menghentikan gerakannya, menoleh dan tersenyum sopan. “Signor keluar beberapa saat yang lalu, Signorina.” Gianna sedikit terkejut. “Keluar? Ke mana dia pergi?” tanyanya lagi, nada suaranya memuat sedikit rasa ingin tahu sekaligus cemas. Grace menunduk sedikit, menjawab dengan hati-hati, “Maaf, aku tidak tahu, Signorina. Signor jarang sekali memberitahukan ke mana beliau pergi. Tapi yang jelas, tadi beliau menyebutkan ada urusan penting di luar.” Gianna menatap lantai sejenak, merasa hampa. Entah kenapa, ia berharap bisa mengucapkan terima kasih langsung, mungkin sekadar menunjukkan rasa hormat pada pria yang telah menolongnya. “Ada yang mau disampaikan untuk Signor?” tanya Grace lembut. Gianna tersenyum tipis sambil menggeleng. “Nggak ada, Grace. Terima kasih.” Ia kemudian melangkah keluar dari dapur, membiarkan cahaya hangat pagi membasuh wajahnya. Tapi jauh di dalam dadanya, perasaan kecewa kecil tumbuh, bukan karena Jason pergi, tapi karena entah mengapa, ia mulai peduli pada ke mana pria itu sebenarnya pergi. ** Udara malam terasa lembap dan menusuk kulit ketika Diego akhirnya sampai di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota. Langkahnya goyah, tubuhnya penuh peluh, dan napasnya tersengal hebat setelah berlari sejauh itu. Di luar, suara anjing menggonggong dan deru mobil yang melintas membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada siapa pun yang mengikutinya. Sebelumnya, Diego dengan sengaja meninggalkan mobil tuanya di tengah jalan, tepat di area semak-semak gelap untuk mengecoh para pengawal Sergio. Ia tahu, bila terus mengemudi, mereka akan menemukannya dengan mudah. Jadi, ia memilih bertaruh pada langkah kakinya sendiri. Setelah menembus hutan kecil dan jalan setapak berbatu, akhirnya ia tiba di tempat ini, sebuah gudang tua berdebu dengan pintu karat dan jendela pecah di beberapa sisi. Pelan-pelan ia mendorong pintu kayu berat itu hingga berderit nyaring. Di dalamnya, hanya ada bayangan dan bau lembap yang menusuk. Diego bersandar di dinding dingin, tangannya menekan da-da yang naik turun cepat. “Aku... selamat dari kejaran mereka,” gumamnya pelan, antara lega dan ketakutan. Namun, di balik kesunyian itu, pikirannya masih diliputi kecemasan besar karena ia tahu, Sergio tidak akan berhenti hanya karena ia berhasil bersembunyi malam ini. Ini baru permulaan dari pelariannya yang sebenarnya. Dari kejauhan, debu jalanan beterbangan saat tiga mobil hitam berhenti mendadak di tepi jalan. Beberapa bodyguard keluar dengan cepat, membawa senjata di tangan, mata mereka tajam menyapu sekitar. Salah satu di antara mereka menunjuk ke arah mobil tua yang berhenti di pinggir jalan dengan pintu pengemudi terbuka setengah. “Itu mobil Diego!” seru salah satu dari mereka sambil menodongkan pistol ke arah kendaraan itu. Mereka mendekat perlahan, langkah-langkah berat menjejak tanah berkerikil. “Keluar kamu sekarang! Kamu sudah nggak bisa kabur lagi, Diego!” teriak salah seorang dengan nada menggelegar, membuat burung-burung di pepohonan terbang ketakutan. Namun, saat pintu mobil ditarik keras dan sorot lampu senter menyapu ke dalam, mobil itu kosong. Tak ada siapa pun di dalam, hanya jaket tua milik Diego yang tergantung di jok depan dan sisa percikan lumpur di pedal gas. “Si-al!” geram salah satu bodyguard, menendang pintu mobil hingga terbanting keras. “Kita tertipu lagi! Dia kabur sebelum kita sampai!” Pemimpin regu itu memutar pandangannya ke arah gelap di sekitar jalan. “Dia pasti belum jauh! Menyebar! Cari dia sampai dapat! Jangan biarkan dia lolos kali ini!” Mereka pun berpencar cepat, berlari ke arah semak-semak dan jalan setapak menuju hutan kecil di belakang sana, menyorotkan senter ke segala arah. Malam itu sunyi, tapi ketegangan terasa menebal di udara, seolah bayangan Diego masih mengintai mereka di antara kegelapan. Pencarian terus berlangsung hingga malam semakin larut. Langkah-langkah berat para bodyguard Sergio mulai melambat, diterpa angin dingin dan medan yang kian sulit dijangkau. Mereka kini berada di kawasan berbatu dengan semak liar yang menutup jalan. Lampu senter menyorot ke segala arah, namun tak satu pun tanda-tanda keberadaan Diego terlihat. “Kita benar-benar kehilangan jejaknya,” ucap salah satu dari mereka sambil menghela napas keras, menurunkan senjatanya ke bawah. “Jejak kakinya berhenti di sini. Dia pasti tahu jalan tikus untuk kabur. Kalau terus memaksa, kita malah bisa tersesat.” Pemimpin regu itu memandangi sekitar, rahangnya mengeras menahan amarah. Napasnya berat, tapi akhirnya dia mengangguk pelan. “Baiklah. Kita kembali sekarang. Kita harus melaporkannya langsung pada Signor Sergio sebelum dia makin murka.” Salah satu bodyguard lain menatap ke arah gelap pepohonan, matanya menyipit penuh ancaman. “Diego, dengar baik-baik,” gumamnya dengan nada rendah tapi tajam, seolah berbicara pada kegelapan. “Kalau selanjutnya kamu tertangkap, tak akan ada maaf untukmu. Tak peduli ke mana kamu sembunyi, kami akan memukanmu.” Tanpa menunggu jawaban, mereka mulai berjalan kembali menuju mobil hitam yang terparkir di jalan tanah. Mesin menyala, lampu depan menembus pekatnya malam. Dalam hitungan detik, kendaraan itu melaju cepat menjauh, meninggalkan tempat sunyi yang kembali ditelan oleh kegelapan dan suara desir angin. Diego menata tubuhnya di pojok gudang, mencoba membuat diri senyaman mungkin di atas tumpukan kardus lusuh, tempat itu jauh dari layak, tapi setidaknya memberinya waktu bernapas. Debu menempel di jaketnya, napasnya masih terengah setelah lari panjang yang hampir membuatnya roboh. Matanya memandang kosong ke arah pintu yang tertutup rapat, bayangan malam masih menempel di dinding. “Gianna… lihat ayahmu ini,” desahnya pelan, suaranya serak oleh kantuk dan emosi. Ia membayangkan wajah putrinya yang lincah, pemberani, tetapi kini membuat hidup mereka hancur. “Karena ulahmu, aku jadi pelarian. Dikejar-kejar oleh Signor Sergio. Aku harus sembunyi seperti pencuri.” Tangannya meremas kain di pangkuan, kuku menekan hingga perih. Rasa kecewa menggulungnya seperti ombak. “Aku yang membesarkanmu sampai dewasa, merawatmu, mengorbankan apa yang aku punya. Dan ini balasanmu? Lari dari masalah, mempermalukan keluarga…” Suaranya memecah sunyi, penuh perasaan yang sulit ditahan antara marah, malu, takut. Di balik kemarahan itu, ada ketakutan besar. “Kalau kamu ketangkap… apa yang akan Sergio lakukan padamu? Pada kita?” Ia menutup muka dengan kedua tangan, menahan air mata yang hampir jatuh. Namun di dasar hatinya, tekad lahir juga. “Aku akan menemukanmu. Aku akan menebus ini.” Diego menarik napas panjang, berdiri dengan susah payah, lalu melangkah ke arah pintu, siap kembali berusaha mencari, meski tubuh dan jiwanya hampir runtuh. * * Gianna duduk termenung di ambang jendela, tangan meremas tirai tipis yang ditiup angin laut. Dari balik kaca, pemandangan laut terbentang luas, ombak berkilau menabrak tebing, kapal kecil melintas seperti titik-titik jauh. Aroma asin air laut menyusup ke hidungnya, memberi rasa aneh, tenang di luar, kacau di dalam. Rumah ini mewah, sunyi, dan jauh sangat kontras dengan hingar-bingar Roma yang baru saja ditinggalkannya. Pikiran Gianna melayang pada ayahnya. “Ayah… bagaimana kabarmu?” bisiknya pelan, seolah menaruh pesan pada malam. Rasa bersalah mencekam. Semoga saja Signor Sergio nggak mengejarmu karena aku, desahnya, napasnya bergetar. “Maaf, Ayah. Untuk sementara aku lari. Tapi aku nggak akan membiarkanmu menanggung ini sendirian,” janji yang keluar pelan dari bibirnya, setengah doa, setengah sumpah. Di meja, ponsel kecil yang masih terselip di tas mengundang pandangannya. Jari-jarinya hampir meraih, lalu mengundur. Pikirannya risau bila dia menghidupkan ponsel berarti jejak, lokasi, panggilan, notifikasi semua itu bisa menjadi petunjuk bagi siapa pun yang berniat mencarinya. Di Roma, teknologi bisa jadi belenggu, di Sisilia, ia belum tahu siapa yang bisa dipercaya. Ia memejamkan mata, menimbang pilihan. Mengaktifkan ponsel berarti berpeluang mendapat berita atau meminta bantuan, tapi juga berisiko terlacak. Mematikannya memberi rasa aman sementara, namun membuatnya terisolasi. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Gianna menarik napas panjang dan menggeser ponsel ke laci meja, lalu menutup rapat. “Tunggu waktunya,” gumamnya pada diri sendiri. Di luar, angin mengibas tirai, di dalam, hatinya berusaha menenangkannya, merangkai strategi kecil untuk besok, cara aman berkomunikasi, dan bagaimana membantu ayahnya tanpa memberi petunjuk pada musuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN