05 - MY HOT BILLIONAIRESS

2051 Kata
MHB.05 SEPERTI SEORANG SUPER HERO Cahaya matahari di Cambridge pagi ini bersinar dengan terang. Meski jendela kamarku yang terbuat dari kaca ditutupi gordyn yang berwarna gelap, namun cahayanya masih saja memasuki kamarku melalui sela-sela gordyn yang sedikit terbuka. Sangat kebetulan sekali sela gordyn yang terbuka itu sejajar dengan posisi kepalaku yang saat ini sedang tidur. Membuat tidurku di akhir pekan ini terasa sedikit terganggu karena cahaya itu mengenai wajahku. Berulang kali aku mencoba tidak peduli dengan cahaya matahari yang mengenai wajahku, berulang kali juga cahaya itu membuatku terbangun. Sehingga dengan perasaan kesal aku bangun dari tidurku dan membuka mataku yang masih terasa berat. Meski sudah terlalu lama tidur, dari kemarin sore sepulang kuliah hingga pagi ini, aku masih saja belum puas berbaring di atas tempat tidurku. Aku yang sudah membuka mata, berbaring dengan perasaan malas. Bergerak ke sisi kiri dan kanan tempat tidur, mencari posisi nyaman yang tidak terkena cahaya matahari agar bisa kembali tidur. Namun setelah mendapatkan posisi yang pas untuk kembali memejamkan mata, rasa kantukku malah hilang. Membuatku membatalkan tidurku dan segera bangkit untuk membersihkan diri ke kamar mandi. "Hoaaaam..." Aku menguap dan menggeliat sambil bangkit dari tempat tidurku. Setelah bangkit dari tempat tidur, aku melangkah keluar kamarku untuk menemui salah seorang asisten rumah tanggaku. Karena biasanya, aku akan meminta mereka untuk menyiapkan sarapan yang aku inginkan sebelum aku pergi ke kamar mandi. Aku berjalan dengan langkah gontai di koridor menuju ruang tengah sambil menoleh ke sekitar. Suasana dalam rumahku kini terasa begitu sepi seolah tak berpenghuni. Biasanya setiap aku bangun pagi, semua gordyn rumah telah terbuka. Para asisten rumah tangga juga sudah sibuk di dapur dan membersihkan rumah. Namun sekarang semua lampu masih menyala dan gordyn pun belum dibuka. Serta salah seorang dari ketiga asisten rumah tanggaku juga tidak terlihat keberadaanya. Rumah yang begitu besar ini seperti dihuni hanya oleh diriku saja. Aku yang tidak melihat satu orang pun dari mereka, memeriksa setiap sudut ruangan yang ada di dalam rumah ini. Aku berjalan dengan langkah tergesa-gesa sambil berteriak memanggil satu-persatu nama mereka, "Bibi Lusy... Mira... Teressa... Dimana kalian?" Beberapa kali aku mengulangi kata yang sama saat berjalan menyusuri setiap sudut ruangan. Namun tak satupun dari mereka yang menjawab panggilanku. Hingga akhirnya aku berhenti di area dapur dan melihat sebuah cacatan kecil menempel pada dinding luar lemari pendingai. Aku mengambil selembar kertas kecil yang menempel itu, lalu membaca pesan yang sepertinya di tulis oleh Bibi Lusy. Selamat pagi, Nona Victoria... Mungkin saat Nona membaca pesan ini, kami sudah tidak ada lagi di rumah ini. Kami mohon maaf atas ketidak nyamanan Nona selama kami berada di rumah ini. Kami juga mohon maaf jika selama bekerja di rumah ini, kami belum bisa menjadi asisten rumah tangga seperti yang Nona inginkan. Tapi selama dua bulan terakhir ini kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi asisten rumah tangga yang baik untuk Nona. Namun sayangnya kami masih tidak bisa seperti yang Nona inginkan. Jadi pagi ini kami bertiga mohon izin kepada Nona untuk pergi dari rumah ini. Sebelum pergi, aku sudah menyiapkan seporsi pancake dan segelas s**u di dalam lemari pendigin untuk sarapan Nona. Terima kasih sudah menjadi majikan yang baik kepada kami. Sekali lagi maaf, jika selama ini ada yang tidak berkenan di hati Nona. - Lusy, Mira & Teressa - Membaca kata 'majikan yang baik' pada selembar kertas yang ada di tanganku kini, membuatku merasa tertampar. Apa yang di tulis oleh Bibi Lusy pada kertas kecil tersebut adalah kebalikan yang selama ini terjadi. Selama mereka bekerja di rumahku ini, aku menyadari telah menjadi majikan yang tidak baik untuk mereka. Di saat suasana hatiku sedang baik, aku tidak akan banyak menuntut meski aku adalah orang yang terbiasa dilayani. Namun jika suasana hatiku sedang tidak baik dan teringat pada Bibi Xia Shen, aku akan bertingkah seperti kemarin yang mengamuk tanpa sebab. Bukannya aku adalah seorang gadis yang benar-benar memiliki sifat buruk, tapi semua itu aku lakukan agar kedua orang tuaku mengirim Bibi Xia Shen ke Cambridge ini untuk menemaniku. Meski semua asisten rumah tangga yang pernah bekerja di rumah ini selalu bersikap baik, namun menurutku tetap saja Bibi Xia Shen yang sangat memahamiku. Sehingga aku yang ikut dibesarkan oleh beliau sangat bergantung padanya. Dalam waktu bersamaan muncul rasa sedih di hatiku. Aku merasa sedih karena akhirnya aku benar-benar tinggal sendirian di rumah yang sangat besar ini. Meski sebenarnya aku juga jarang berinteraksi dengan asisten rumah tanggaku, namun biasanya mereka selalu ada di rumah ini untuk menemani dan melayaniku. Awalnya aku berpikir akan merasa bebas tanpa adanya mereka yang tidak aku inginkan di rumah ini. Namun setelah mereka pergi aku malah merasa begitu kesepian tanpa ada yang menemianiku. Kini mereka semua sudah pergi meninggalkan aku sendiri. Membuatku merasa asing di rumahku sendiri. Setelah membaca pesan dari mantan asisten rumah tanggaku itu, aku membuang kertas tersebut ke dalam tong sampah yang tidak jauh dari posisiku berdiri saat ini. Kemudian aku membuka lemari pendingin yang ada di hadapanku, mengeluarkan sepiring pancake dan segelas s**u yang telah di siapkan Bibi Lusy untukku. Sebenarnya aku tidak menyukai s**u dan pancake yang dingin. Namun suasana hati yang kini terasa buruk, membuatku yang sudah duduk di meja makan tidak bersemangat melakukan apa pun. Bahkan saat ini aku merasa sangat malas untuk beranjak dari meja makan hanya untuk memanaskan makanan dan minuman atau pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mood ku saat ini terasa lebih buruk dari hari-hari sebelumnya saat berhadapan dengan orang-orang yang tidak aku inginkan. **** TRISTAN RAINER "Uhuk... Uhuk... Uhuk..." Aku yang sedang duduk di depan televisi yang ada di ruang tengah rumahku, mendengar suara batuk dari dalam kamar ayahku Jack Fan. Tadinya aku mendengar suara beliau sedang menelepon dari dalam kamar dengan samar. Aku tidak tahu dengan siapa beliau sedang bicara via telepon. Aku juga tidak ingin tahu apa yang sedang beliau bicarakan bersama orang tersebut. Namun mendengar suara batuk beliau yang kini terdengar tanpa henti, membuatku merasa khawatir. Tanpa berpikir panjang, aku yang sedang menonton televisi dengan segera bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar ayahku. Baru saja aku sampai di depan pintu kamar, suara batuk Ayah Jack Fan berhenti sejenak. Membuat langkahku yang ingin memasuki kamar beliau juga terhenti. Aku berdiam diri di depan pintu beberapa saat, lalu kembali mendengar suara batuk yang membuatku kembali khawatir. Sehingga aku membuka pintu kamar beliau tanpa berpikir panjang dan memasukinya sembari berkata, "Ayah..." Spontan Ayah Jack Fan yang kini sedang duduk di atas tempat tidur menoleh ke arahku. Beliau tidak menyahutku, membuatku yang sedang berjalan ke arahnya kembali bertanya, "Ayah, apa Ayah baik-baik saja?" "Uhuk... Uhuk... Ya, aku baik-baik saja. Ada apa kamu memasuki kamarku, Tristan?" "Aku hanya mengkhawatirkan Ayah. Jadi aku datang untuk menanyakan kondisi Ayah." Aku yang telah berdiri di samping tempat tidur beliau menjawab dengan wajah khawatir. "Aku tidak apa-apa, Nak. Uhuk... Uhuk... Tristan, tolong ambilkan obat dan segelas air putih untukku yang ada di atas meja. Dengan segera aku melangkah ke arah meja yang ada di sudut ruangan. Aku mengambil kotak obat dan segelas air putih dari meja tersebut, lalu kembali ke hadapan Ayah Jack Fan. Sambil mengulurkan tangan aku berkata, "Ayah, ini obat dan minumnya." "Terima kasih, Nak." Ayah Jack Fan menerima gelas dan kotak obat yang aku berikan. Setelah meminum obatnya, beliau yang sedang meletakan gelas ke atas meja samping tempat tidur kembali bersuara, "Apa kamu baru saj pulang, Tristan?" "Ya, Ayah. Aku baru saja pulang sejam yang lalu." Aku menjawab sambil bergerak duduk di atas tempat tidur di samping Ayah Jack Fan. "Tapi kenapa aku tidak mengetahuinya?" "Tadi saat aku pulang, Ayah sedang menelepon di kamar. Jadi aku tidak ingin mengganggu." Ayah Jack Fan tersenyum padaku dan kembali bertanya, "Bagaimana pekerjaanmu akhir-akhir ini? Apa semua berjalan dengan lancar?" "Ya. Berjalan dengan lancar, Ayah. Meski ada sedikit memar pada bagian lenganku saat menghadapi ." "Bagaimana itu bisa terjadi, Tristan?" "Beberapa hari ini aku mengawal Hakim Yongsheng. Kemarin setelah persidangan kasus korupsi anggaran dana pembangunan pelabuhan yang dilakukan oleh Tuan Yulong selesai, ada beberapa orang yang tidak di kenal menghadang kami yang saat itu tengah berjalan menuju parkiran mobil. Mereka hendak memukul sang hakim saat kami berjalan menuju area parkir. Untungnya aku serta beberapa orang temanku langsung mengetahuinya dan menghadapi mereka yang hendak mencelakai Hakim Yongsheng. Sedangkan dua orang di antara kami mengamankan hakim hingga sampai ke dalam mobil." "Syukurlah kalau hanya luka memar. Luka memar adalah hal yang biasa. Sudah menjadi resiko bagi kita dalam bertugas mendapatkan berbagai serangan disaat kita bertemu dengan pihak lawan." "Ya. Benar, Ayah. Ini adalah resiko yang harus kita terima dalam bertugas." Aku menganggukan kepala sambil tersenyum tipis pada Ayah Jack Fan. Apa yang dikatakan oleh Ayah Jack Fan tentang pekerjaan yang sama-sama kami geluti adalah benar. Kami yang berprofesi sebagai agen perlindungan eksekutif atau lebih dikenal sebagai bodyguard, mendapatkan luka memar akibat perkelahian dengan pihak lawan klien yang sedang kami lindungi adalah hal yang sudah biasa. Karena kami harus sangat memperhatikan keamanan bagi pribadi individu yang menjadi klien kami dari semua jenis insiden fatal, tidak terkecuali pada penculikan, penguntitan, dan berbagai hal lain yang dapat membahayakan klien. Meski pekerjaan ini sangat beresiko, namun aku sangat menyukai profesi yang memacu adrenalin dengan berbagai resiko ini. Saat masih kecil aku selalu berpikir, memakai seragam jas hitam dengan berbagai atribut lainnya seperti yang dipakai ayahku saat pergi bekerja adalah sesuatu hal yang menakjubkan. Beliau yang bekerja sebagai agen perlindungan eksekutif yang selalu mengawal dan melindungi berbagai orang penting dari kejahatan atau marabahaya lainnya, membuat beliau terlihat seperti seorang super hero di mataku. Sehingga setelah menyelesaikan pendidikanku, aku mengikuti Bodyguard School dalam kurun waktu yang cukup lama untuk mendapatkan berbagai keahlian, hingga akhirnya mengikuti jejak ayahku. Dari lahir hingga dewasa ini, aku tinggal di Coloane Village yang bernuansa santai dikelilingi oleh jalur pantai yang mengarah ke pantai Cheoc Van dan Hac Sa yang ada di Pulau Coloane, Macau. Terlahir dari kedua orang tuaku yang merupakan keturunan campuran Tionghoa - Portugis, ayahku yang bernama Jack Fan dari marga Fan, memberiku nama Tristan Rainer Fan. Karena namaku yang cukup panjang, orang-orang lebih banyak mengenalku dengan nama Tristan Rainer daripada Tristan Rainer Fan. Tumbuh di keluarga yang sangat sederhana dan tidak lengkap, membuatku hidup mandiri sejak kecil. Aku dibesarkan oleh nenekku dan seorang single father yang luar biasa. Meski ayahku sibuk bekerja sebagai seroang bodyguard, namun beliau sangat menyayangiku dan mengajarkanku berbagai hal dalam hidup. Sedangkan ibuku yang telah bercerai dengan ayahku Jack Fan sejak aku berumur 10 tahun, telah pergi meninggalkanku dan tidak pernah kembali selama belasan tahun. Dan mungkin saja saat ini beliau telah memiliki kehidupan baru hingga melupakanku. Hal ini membuatku juga melupakan sosok beliau dan melanjutkan hidup bersama ayahku serta nenekku yang telah meninggal dunia 5 tahun lalu. Selama 3 tahun terakhir, aku telah bekerja sebagai seorang bodyguard yang tergabung dalam sebuah perusahaan swasta yang menyediakan jasa perlindungan eksekutif. Berbekal ilmu yang telah diajarkan saat aku mengikuti Bodyguard School, aku telah memiliki banyak kemampuan dalam hal perlindungan klien. Ditambah lagi telah banyaknya klien yang aku temui dan aku lindugi dengan berbagai permasalahan, membuat diriku semakin terlatih dan menjadi salah seorang bodyguard yang patut di perhitungkan di Macau ini. Tidak hanya pernah bekerja sebagai pengawal pribadi individu biasa yang membutuhkan jasa perlindungan, tapi aku juga sudah pernah bekerja untuk pribadi individu seperti tokoh politik, selebritas terkenal, eksekutif bisnis, atau individu lainnya. Dan malam ini aku baru saja pulang dari Mainland atau Tiongkok Daratan, mengawal seorang hakim yang sangat berpengaruh. Saat aku yang diam cukup lama karena merasa lelah sepulang dari bekerja beberapa hari di Mainland, ayah Jack Fan yang dari tadi menatapku kembali bersuara, "Setelah ini, apa kamu sudah ada jadwal kerja?" "Belum, Ayah. Sepertinya aku akan beristirahat beberapa hari di rumah sambil menunggu panggilan kerja untukku dari perusahaan." "Tristan, bagaimana kalau kamu berhenti saja bekerja dari perusahaan itu?" Dengan wajah kaget aku berbalik bertanya, "Maksud Ayah? Apa Ayah ingin aku mengganti profesi?" "Bukan, bukan itu maksudku. Sudah satu bulan lebih aku pensiun dari pekerjaanku yang telah aku lakoni selama puluhan tahun. Kondisiku yang sudah tua dan semakin lemah serta sakit-sakitan, tidak memungkinkan lagi untuk melakukan pekerjaan yang sangat beresiko itu. Tadi atasanku selama puluhan tahun, yaitu Tuan Besar Drex Chen memintaku untuk kembali ke mansion keluarga Chen. Namun itu tidak akan mungkin, jika beliau memintaku untuk menjaga dan mengawal beliau seperti dulu. Sehingga aku berpikir untuk merekomendasikanmu sebagai salah seorang bodyguard di keluarga beliau. Bagaimana menurutmu? Apa kamu merasa tertarik?" Aku terdiam sejenak lalu menjawab, "Akan aku pertimbangkan. Ayah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN