“Kurang ajar! Jalang sialan!!” Hilda memukuli kemudi dengan keras. Dia begitu marah pada Rosie. Hanya meminta lima puluh juga saja tidak boleh. “Dasar pelit! Mati sana! Biar semua uangmu jadi milikku. Aaghh…!!!” Hilda terus melampiaskan amarahnya. Setelah puas berteriak, emosinya mulai stabil. Dia mengambil nafas panjang, lalu merapikan rambutnya yang acak-acakan, menempel di dahinya yang basah. Wajahnya yang biasanya terlihat mulus dan bersinar, kini tampak kusam. “Sudah satu tahun lebih aku memberinya tonik itu. Kenapa dia tidak juga mati? Mary sudah pergi. Hanya si koki bodoh itu yang ada. Tapi dia sangat bodoh dan tidak mau menaburkan racun itu di makanan Rosie. Sialan! Apa yang dia pikirkan? Seharusnya aku memukulnya agar dia kembali patuh padaku.” Hilda bergumam. Matanya tajam pen