Drama dengan Mama

1157 Kata
“Mama dengar kamu sudah menemukan seseorang untuk Alan. Apa itu benar?” Hilda langsung menanyakan inti kedatangannya begitu dia bertemu Rosie. Wajahnya diliputi kebahagiaan yang tidak bisa dia tutupi. Rosie mendengkus dalam hati. Hah! Rosie memasang senyum selebar mungkin dan seikhlas mungkin. “Iya, Ma. Kebetulan aku mengenal seorang perempuan yang baik. Kami bertemu di rumah sakit. Setelah beberapa waktu, aku menyadari kalau kami cocok. Jadi, tidak ada salahnya jika aku menyatukannya dengan Alan.” Bibir Hilda bergetar dan matanya dipenuhi rasa haru. Dia menggenggam tangan Rosie, lalu berkata, “Kamu memang perempuan luar biasa. Kebaikanmu akan terus aku kenang. Kedua orang tuamu pasti bangga padamu.” Ingin sekali Rosie memuntahkan isi perutnya langsung ke wajah Hilda. Dia tidak habis pikir. Bagaimana bisa seseorang bisa terus mempertahankan kepura-puraan mereka begitu lama? Dan tolong jangan membawa-bawa nama orang tuanya. Kedua orang tuanya begitu suci untuk bisa disebut oleh lidahnya yang berbisa. Kedua orang tua Rosie memang sempat mengenal Hilda sebelum akhirnya meninggal karena kecelakaan di jalan tol. Kehilangan kedua orang tuanya dalam satu waktu membuat Rosie terpuruk. Kondisinya saat itu menjadi semakin buruk dan buruk. Dulu, dia berpikir jika kesehatannya yang tidak kunjung membaik sampai saat ini dipengaruhi oleh emosinya yang tidak stabil saat itu. Namun tidak disangka, mama mertua idaman yang telah memperburuk keadaannya. Beruntung, dia sudah menyadarinya sekarang. “Siapa namanya?” Pertanyaan Hilda membuat Rosie tersadar dari pemikirannya. “Kaila. Namanya Kaila.” “Nama yang bagus. Aku yakin penilaianmu tidak akan salah. Putraku sungguh beruntung memiliki istri pengertian seperti dirimu.” Hilda benar-benar memainkan perannya sebagai mama mertua dengan sangat baik. Di mata orang awam, mereka pasti menganggap hubungan mereka harmonis. Hanya saja, Rosie sudah melihat pisau yang disembunyikan oleh Hilda di balik punggungnya. Tidak apa-apa, dia juga sudah menyiapkan kapak untuk menghancurkan topeng Hilda. “Alan sudah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak akan rela membiarkannya menderita.” “Ya, itu benar. Oh iya, mama tadi membawakan kamu tonik. Mary, siapkan toniknya!” Mata Rosie berkilat sekilas, tapi segera dia sembunyikan. Seorang pelayan datang dengan cepat. “Maaf, Nyonya besar. Mar-Mary sudah tidak di sini lagi,” ucapnya dengan kepala tertunduk dalam. Tidak berani mendongak barang sedikitpun. “Apa maksudmu sudah tidak di sini lagi??” Hilda berteriak dengan kencang. Otot-otot lehernya tampak keluar. Pelayan itu melirik Rosie yang masih tenang. “Itu, Nyonya besar. Tuan Alan sudah memecat Mary.” “Kurang ajar! Atas dasar apa Alan memecat Mary? Dia adalah pelayan yang aku bawa. Tidak ada yang bisa memecatnya selain aku sendiri!” “Mama, tenang dulu.” Suara Rosie yang lembut mengendurkan saraf-saraf Hilda. Tiba-tiba, dia merasa tersadarkan. Hampir saja dia mengatakan sesuatu yang tidak perlu. Raut wajah Hilda melunak, begitu juga dengan suaranya. “Rosie, bagaimana Alan memecat pelayan yang bertugas membantumu? Tindakannya sungguh gegabah dan egois.” “Ma, Mary telah melakukan kesalahan. Dia menjatuhkan termos panas dan menumpahkan air jahe panas di tanganku. Lihat!” Mary membuka lengan bajunya yang panjang, memperlihatkan kulitnya yang merah mulai pergelangan tangan hingga ke atas. Tangan Rosie yang kurus, putih, dan pucat tampak mengerikan. Kening Hilda sontak berkerut. “Ya Tuhan! Ini…” “Karena inilah Alan murka dan memecat Mary begitu saja. Tapi mama tidak perlu khawatir, meskipun ini masih tengah bulan, tapi Alan tetap membayar penuh gajinya untuk bulan ini.” Rosie berkata dengan lembut dan pasti. Tidak meninggalkan jejak untuk bisa dibantah. Wajah Hilda berubah suram. Dengan bukti seperti ini dan kompensasi yang diterima Mary setelah melakukan kesalahan, Hilda tidak bisa berbuat banyak. Dia terpaksa menerima keputusan Alan. Dalam hati, dia begitu geram. Kenapa Mary bisa melakukan kesalahan para seperti ini? Bodoh! Kini, dia tidak memiliki seseorang untuk mengawasi Rosie dari dekat. “Kalau begitu, aku akan menunjuk seseorang untuk membantumu di rumah.” Akhirnya, Hilda yang bisa mengatakan itu. “Mama tidak perlu repot. Aku sudah memiliki pelayanku sendiri.” Rosie merasa Tuhan begitu baik dan sayang padanya. Tidak lama setelah kepergian Mary, dia melihat postingan seseorang yang sedang mencari pekerjaan. Setelah saling bertukar pesan, Rosie memintanya datang. Seorang gadis yatim piatu yang terlilit hutang dan membutuhkan uang untuk bertahan hidup bisa menjadi salah satu senjata yang berguna di tangannya. Rosie hanya perlu mengeluarkan beberapa puluh juta untuk menyelamatkannya dari para rentenir. Dengan beberapa kata penyemangat, Mita menyatakan kesetiaannya. Jika mama mertuanya bisa mendapatkan pelayan yang setia memihaknya, maka Rosie juga bisa melakukannya. Dan kini, dia memiliki tameng di tangannya. “Tolong panggilkan Mita!” ucapnya pada pelayan tadi. Tidak lama kemudian, seorang gadis mungil dengan kulit cokelat eksotis dan wajah manis menghadap. “Ma, namanya Mita. Dia pelayanku sekarang. Mita, ini mama mertuaku, ibu dari suamiku.” Mita menatap sekilas, lalu membungkuk hormat. “Salam, Nyonya besar. Nama saya Mita.” Hilda memindai perempuan di depannya, lalu berkata, “Menantuku ini kondisinya kurang baik. Kamu harus bekerja keras untuk merawatnya.” “Baik, Nyonya besar.” “Hmm, pergilah!” Hilda mengibaskan tangannya dan Mita pergi dengan cepat. Hilda tidak lagi tertarik berada di sini. Suasana hatinya menjadi buruk. Setelah beberapa kata lagi, dia pun pamit. Dia bahkan melupakan tonik yang hendak dia berikan kepada Rosie. Rosie tersenyum tipis, lalu berbalik menuju perpustakaan. Hari-harinya yang damai akan segera datang. Di dalam perpustakaan, Rosie merebahkan tubuhnya dengan tenang di sofa panjang. Tangannya yang kurus dengan tulang menonjol memegang buku. Pupilnya bergerak teratur seiring dengan baris-baris kalimat yang dia baca. Dia merasa hidupnya tenang, setidaknya hingga saat makan siang tiba dan sore saat suaminya pulang. Acara membacanya terpaksa terhenti karena kedatangan Mita yang membawa nampan. “Permisi, Nyonya. Saya membawakan tonik dari nyonya besar dan kue jahe.” Mita meletakkan nampan di atas meja di dekat Rosie. Rosie mengangkat wajahnya. Matanya sedikit berkilat melihat botol kaca berisi cairan yang biasa dia minum. Tanpa bersuara, Rosie bangkit, meraih botol kaca tersebut, lalu membuang isinya di dalam pot. Gerakannya tenang, namun matanya tampak gelap dan tidak berdasar. Mita tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Namun, dia hanya seorang pelayan. Tidak pantas menanyakan apapun kelakuan majikan. “Ambil tas yang berada di atas rak itu.” Rosie menunjuk sebuah tas berwarna gelap di atas rak, tampak tersembunyi dan tidak menonjol. Mita bergerak cepat dan menyerahkan tas tersebut kepada Rosie. Alih-alih menerimanya, Rosie justru merebahkan dirinya dengan tenang di atas sofa panjang dan membuka bukunya kembali. “Ambil termos itu dan isi dengan air panas. Ingat, harus kamu sendiri yang memasak airnya. Tunggu sampai mendidih dan jangan mengalihkan pandanganmu dari air itu sampai mendidih. Lakukan dengan tenang dan tanpa menimbulkan pertanyaan. Aku yakin kamu bisa melakukannya.” “Baik, Nyonya.” “Mulai sekarang, setiap kali mama membawa tonik, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” sambung Rosie sambil melirik tanaman dalam pot. Mita tersentak, tapi dia sadar dengan cepat. “Saya mengerti.” “Hmm, pergilah!” Mita mengambil kembali nampannya dan berjalan keluar. Rosie tenggelam dalam buku-buku yang dia baca dan tidak menyadari kedatangan seseorang. “Santai sekali hidupmu.” Rosie mendongak. “Kakak?” serunya kegirangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN