“Kamu terlalu gegabah, Kaila! Kenapa kamu harus mendatangi rumah Rosie?? Tidak ada salahnya bersabar untuk mendapatkan hal yang lebih besar.”
Hilda mendengkus keras. Ditatapnya Kaila dengan ekspresi kesal yang kentara. Dia langsung menghubungi kaila dan meminta perempuan itu untuk bertemu dengannya di sebuah restoran begitu dia mendapatkan kabar dari koki yang dia pekerjakan di rumah Rosie.
Kaila melipat kedua tangannya di depan. Sambil bersandar di punggung sofa, dia berkata, “Aku hanya merasa suntuk di rumah. Jadi aku memutuskan untuk menyambangi Rosie. Tante tidak perlu risau. Lagi pula dia sendiri sudah merestui hubunganku dengan Alan. Tidak ada yang perlu ditakutkan.”
Selain itu, sebenarnya Kaila penasaran dengan rumah yang akan dia tempati setelah menikah dengan Alan. Setelah melihatnya langsung, rasanya dia sudah tidak sabar untuk bisa pindah ke rumah besar itu.
Bayangkan saja! Rumah Alan itu memiliki lima kamar sangat luas dengan kamar mandi di setiap kamar. Belum lagi dapur yang luas dan pelayan yang akan melayaninya. Ke depannya, Mita yang akan jadi pelayannya. Ya Tuhan, hidupnya akan menjadi semakin mudah.
Tanpa sadar, bibir Kaila tersenyum lebar.
“Suntuk?? Hanya suntuk kamu bilang?? Rosie baru saja memecat pelayan yang aku tugaskan di dekatnya. Lalu kamu tiba-tiba datang untuk melihat rumah? Kamu gila! Apalagi saat itu juga ada Dylan. Apa kamu tahu siapa dia?”
Senyum di wajah Kaila sontak menghilang. “Dia hanya kakak wanita bodoh itu.”
“Dan dia juga pemilik dan pemimpin perusahaan tempat Alan bekerja. Jadi, jika kamu ingin menjadi menantuku dan hidup nyaman suatu hari nanti, jangan membuat ulah di depan Dylan atau semuanya akan kacau!!”
“Tenanglah Tante.”
“Aku tidak ingin mereka menjadi waspada!!” Hilda meraung kesal karena Kaila terus membantah ucapannya.
“Ck, Tante berisik!” Kaila menutup telinganya. Namun dalam hati, dia cukup terkejut mengetahui siapa Dylan. Sebagai pemimpin perusahaan, Dylan pasti sangat cerdas dan memiliki kemampuan. Apakah dia akan mencurigai sesuatu? Sial! Kenapa dia tidak tahu?
Ya, Kaila sudah tahu jika Rosie adalah putri konglomerat, memiliki kekayaan berlimpah -jika tidak, buat apa dia ikut rencana Hilda untuk menyingkirkan Rosie dan mengambil warisannya? Namun, dia sama sekali tidak menyangka jika perusahaan tempat Alan bekerja miliki keluarga Rosie.
Dobel sial! Jika tahu seperti ini, dia akan lebih berhati-hati pada Rosie.
Hilda mendelik mendengar kalimat kasar itu. Dia mengambil nafas panjang, berusaha menekan emosinya, mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu berkata, “Kaila, kita sudah lama merencanakan semua ini. Semua pertemuan mu dengan Rosie di rumah sakit adalah pengaturan ku. Kedekatanmu dengan Alan juga karena dukunganku. Apa menurutmu Alan bisa dengan mudah tertarik padamu tanpa campur tangan ku? Jangan menganggap dirimu terlalu tinggi.”
Pandangan Kaila menggelap. Tubuhnya yang bersender sontak menegak. “Apa maksud Tante?” Suaranya penuh penekanan.
“Sederhana saja.” Hilda tersenyum tipis, lalu menarik tubuhnya ke belakang. “Kita memiliki tujuan yang sama, asuransi kematian Rosie yang bernilai dua puluh lima milyar. Sesuai kesepakatan, kita akan membaginya secara adil. Kehamilanmu dengan Alan adalah bonus untukmu. Jadi, jangan bertindak sembarangan. Ingat, jika Rosie dan Dylan sampai curiga, aku yakin masa lalumu juga akan terkuak.”
Hilda berdiri, merapikan bajunya, lalu berjalan keluar. “Aku sudah membayar tagihannya. Anggap saja itu juga bonus untukmu,” ucapnya sebelum menutup pintu dan keluar dari restoran.
Tangan Kaila mengepal. Dia akui cukup berani mendatangi tempat tinggal Alan. Itu semua karena Alan yang gagal memaksa Rosie untuk memajukan tanggal pernikahan mereka.
Menunggu enam bulan lagi sama dengan mengumumkan kepada semua orang bila dirinya telah hamil terlebih dulu dengan Alan. Kaila tidak bisa menanggungnya!
Sementara itu, Rosie yang menjadi target sedang duduk manis di sebuah rumah sederhana bergaya Eropa lama. Tepatnya, rumah itu adalah rumah lawas peninggalan jaman penjajahan Belanda.
Halamannya luas, dipenuhi tumbuhan dan bunga-bunga yang indah. Angin yang bertiup membawa keharuman itu hingga teras. Lampu-lampu taman dipasang di beberapa tempat. Ada juga ayunan di dekat kolam ikan. Sebuah gambaran taman yang indah dan menyenangkan.
Sebuah pintu kayu jati dengan ukiran sederhana menggunakan teras dan ruang tamu. Cat putih polos di seluruh tembok menjadikan ruangan yang luas itu menjadi semakin luas.
Atap super tinggi dengan pilar-pilar bundar yang besar dan berwarna putih, memberikan kesan kokoh dan bersih. Jendela kayu yang ukurannya sebesar lemari dua pintu berjejer, membawa sinar matahari masuk dan menerangi isi rumah. Meja kursi dari kayu jati tertata indah dengan marmer mengkilap ditutupi taplak berenda putih menghiasinya. Sebuah piano diletakkan di sudut dekat jendela.
Rosie duduk di depan seorang pria tua -pemilik rumah. Wajahnya tampak sedikit gugup namun hatinya dipenuhi dengan harapan.
“Kenapa baru datang sekarang? Harusnya kamu datang lebih awal agar aku bisa mengobatimu lebih cepat. Selain itu, penanganannya juga lebih mudah. Kalau sudah seperti ini, kamu butuh waktu lebih lama. Hais!”
Pria tua yang bernama Suryo itu menarik tangannya setelah beberapa kali mengecek nadi Rosie.
“Maaf, saya baru mendapatkan informasi tentang Anda.” Rosie tersenyum kaku. “Tapi, apakah saya masih bisa sembuh?”
“Sembuh, bisa saja. Tapi waktunya agak lama. Ini juga sepertinya ada banyak ketidakseimbangan dalam tubuhmu. Apa saja yang kamu makan? Kamu ini niat mau sembuh atau tidak?”
“Mau, Prof. Saya mau sembuh.”
“Terus kenapa tubuhmu seperti,,,,,,,, ini?” Suryo menunjuk Rosie dari atas ke bawah seolah-olah dalam dirinya ada banyak hal negatif.
Suryo menghela nafasnya kasar. “Baru kali ini ada orang yang tubuhnya terasa aneh. Denyut nadimu sangat tidak beraturan. Sungguh! Kalau bukan karena Anna yang merekomendasikan, sejujurnya saya tidak percaya kamu ingin sembuh. Ini seperti kamu sedang meminum racun dan perlahan ingin bunuh diri.”
“Tapi saya sungguh ingin sembuh, Prof.” Rosie menatap Suryo dalam. Ada kesungguhan dan ketegasan dalam matanya.
“Ya, ya. Baiklah, saya percaya. Anna juga tidak mungkin berbohong. Sekarang, ayo masuk ke kamar. Saya perlu memijat punggung dan lehermu.”
Suryo memanggil seorang pelayan wanita dan memintanya untuk mengantar Rosie berganti baju pasien.
Suryo adalah seorang profesor yang bergerak di pengobatan holistik. Pria enam puluh tahun itu sudah berkecimpung di dunia pengobatan alternatif selama lebih dari dua puluh tahun. Kiprahnya di dunia medis sudah tidak diragukan lagi. Ribuan orang telah merasakan manfaat berobat kepadanya. Kini, di usia senjanya, Suryo sengaja mengurangi aktivitasnya. Dia tidak menerima sembarang pasien. Hanya orang-orang yang dia kenal baik yang dia terima.
Karena meragukan kredibilitas dokter di rumah sakit -gara-gara Hilda- Rosie berusaha mencari opsi lain untuk kesembuhannya. Dia butuh tempat dan dokter lain yang tidak dikenal oleh Hilda. Saat itulah dia mendapat informasi tentang Suryo dari Anna, kakak iparnya.
Rosie tidak ragu untuk datang. Selain karena direkomendasikan langsung oleh kakak iparnya, Suryo sudah tidak bekerja atau membuka tempat praktek pengobatan di rumah sakit atau klinik.
Jadi, di sinilah Rosie sekarang, di kediaman Suryo. Dengan dibantu oleh seorang pelayan, Rosie dibawa ke sebuah kamar. Lagi-lagi, kamar itu memiliki nuansa vintage yang kental. Ranjang kayu besar dengan tiang-tiang di empat sisinya diletakkan di tengah kamar.
Lemari kayu dengan ukiran sederhana berada di salah satu sisi dinding. Meja bundar -yang lagi-lagi terbuat dari kayu, yang diyakini Rosie sebagai meja teh- diletakkan di dekat jendela. Di depan kasur, terdapat sebuah televisi layar datar. Rosie menghela nafas. Setidaknya, ada satu sentuhan modern di rumah ini.
Sebuah pintu menuju kamar mandi berada di pojok. Tepat seperti dugaannya, kamar mandi di sini juga memiliki gaya vintage yang kental mulai dari porselen dinding, bak mandi, hingga jendelanya.
Tidak lama setelah mengganti bajunya, Suryo datang. Dia segera meminta Rosie untuk duduk membelakanginya. Segera, dia memijat dan menekan beberapa titik di punggungnya. Sesekali, Rosie terengah. Meskipun hanya sedikit gerakan, tapi Suryo bisa menekan tepat di titik sarafnya. Lalu, pria itu juga menekan titik-titik di telapak tangan dan jari-jarinya. Setelah hampir satu jam, mereka selesai. Suryo keluar dan membiarkan Rosie yang terengah-engah sambil mengelap keringatnya.
“Mari, Nyonya.” Pelayan yang sedari tadi hanya berdiam di pojokan mendekat sambil membawa sebuah handuk. “Anda bisa membersihkan diri sebelum pulang.”
Rosie mengangguk. Tanpa ragu, Rosie mengambil handuk dan segera mandi. Keluar dari kamar mandi, Rosie merasa begitu segar dan ringan. Pernafasannya juga lebih lancar.
Saat melangkah keluar, dia melihat Suryo sedang duduk bersama seorang pria. Rosie mengernyit. Dia merasa pernah melihat pria itu sebelumnya, tapi dia tidak yakin.
Mendengar suara langkah, kedua pria itu menoleh. Tatapan mereka bertemu dan Rosie bersumpah dia sempat melihat pria itu tampak terkejut.