Alaina ikut berdiri lalu dia menepis telunjuk Angela dari wajah putranya,"Berhenti menjelek-jelekkan keluarga ku, Mrs. Walker! Anda sangat tidak mengetahui adab!"
Maxime awalnya melirik Jared yang tersenyum penuh kemenangan sebelum tangannya meletakkan ponselnya di atas meja.
"Mr. Brown... Anda bisa dengar sendiri Jared mengatakan apa soal Eleanor. Aku merekam semuanya."
Harvey Brown meraih ponsel Maxime lalu memutar hasil rekaman yang berhasil didapat ketika kejadian tadi berlangsung. Awalnya terdengar kegaduhan sampai akhirnya suara Jared terdengar.
"Kenapa? Bukankah adikku memang benar? Elea bukan siapa-siapa, Anderson. Dia tidak patut untuk kau lindungi. Well, mungkin setelah lulus sekolah nanti dia akan bekerja di kelab malam. Sebagai pemuas nafsu pria, mungkin? Dengan tubuhnya yang seksi, dia bisa mengumpulkan pundi-pundi uang dengan mudah. Bukankah begitu, Max?"
Jared tidak menduga kalau ucapannya telah direkam sejak awal. Lelaki itu mengepalkan tangan karena rasa marah dan kesal. Kepala sekolah mereka kini telah tahu siapa yang salah. Angela Walker tak mampu mengatakan apapun lagi.
"Aku akan meminta maaf apabila Jared dan Stacy meminta maaf terlebih dahulu kepada Eleanor. Pa, Ma, ayo kita pergi dari sini."
Stefan berdiri, dia berjabat tangan dengan Harvey Brown dan meminta kepala sekolah itu untuk bersikap seadil-adilnya.
"Aku terkesan dengan martabat yang keluargamu miliki, Mrs. Walker yang terhormat. Ayo kita keluar dari sini, Maxie."
Alaina menggandeng lengan kiri Maxime lalu berjalan bersamanya keluar dari ruang kepala sekolah— diikuti oleh Stefan di belakangnya.
...
Sudah dua bulan terlewatkan sejak peristiwa itu. Stacy akhirnya meminta maaf di depan semua orang dan berjanji untuk tak mengulangi perbuatannya lagi. Sejak hari itu, hubungan antara dia dan Maxime pun berakhir.
Eleanor tidak pernah berhenti tersenyum. Dia bahagia sekali karena Maxime nya kembali seperti dulu. Dia tidak menjauhinya lagi.
"Kau yakin kita akan bolos hari ini, Kak?" Tanya Eleanor sembari melirik ke luar jendela di mana mereka sedang menuju sebuah tempat yang ramai. Maxime mengangguk cepat,"Sesekali jangan di sekolah terus. Nanti aku yang akan tanggung jawab kalau sampai Papa dan Mama marah."
Eleanor tertawa kecil. Kebiasaan sekali memang, Maxime tidak pernah jera dimarahi orangtuanya.
Mereka sampai di sebuah tempat bermain yang sangat ramai. Eleanor melihat ada banyak para remaja yang juga ikut bolos sekolah seperti mereka. Ah, sepertinya hari ini sekolah sangat membosankan sehingga banyak yang membolos.
"Kau mau main apa? Rollercoaster?"
Eleanor mengetuk dagunya sebelum mengangguk,"Boleh!"
Maxime menggenggam telapak tangan gadis itu lalu mengajaknya berlari menuju antrian Rollercoaster yang mulai dipadati oleh orang-orang. Jika terlambat, mereka bisa mengantri lama hanya untuk satu kali putaran.
Eleanor duduk di samping Maxime. Dia mengencangkan sabuk pengamannya dan mulai bersiap-siap untuk teriak karena sejujurnya dia tidak terlalu berani naik wahana ini.
Petugas mulai menjalankan mesin, keretanya mulai bergerak naik ke atas. Eleanor menyiapkan hatinya, ia melirik ke bawah dan mendelik karena jarak antara lintasan dan permukaan bumi sangatlah jauh.
Grep!
Ia menoleh ke kanan— melirik telapak tangan kanannya yang digenggam oleh Maxime.
"Jangan takut, aku ada di sini untuk melindungi mu."
Gadis itu tak bisa berhenti menatap wajah tampan Maxime dan sejenak dia merasa kalau lelaki itu sedang menunjukkan cinta kepadanya.
Apa aku berhalusinasi?
Tidak sempat berpikir lagi, Eleanor tiba-tiba teriak karena kereta itu mulai bergerak turun ke bawah dengan kecepatan yang nyaris membuat ia jantungan. Tangan kirinya memegang erat pengaman tubuh yang melilitnya, sedangkan tangan kanannya tanpa sadar terus menggenggam erat jemari Maxime.
Hanya saat-saat seperti inilah dia bisa teriak dan tertawa lepas bersama sahabatnya.
...
"Ini, Es krim vanila dengan taburan kacang kesukaan mu," Maxime menyerahkan semangkuk kecil es krim ke hadapan Eleanor.
Elea meraihnya dan berterima kasih kepada Maxime. Saat ini mereka berdua sedang duduk di atas batu besar sambil menikmati pemandangan taman rekreasi yang sedang ramai-ramainya. Maxime duduk di sebelah Eleanor lalu menjilat es krim coklat miliknya sendiri sambil menunjuk beberapa anak kecil yang mencoba menaiki wahana berbahaya.
"Ingat tidak? Dulu kita pernah kabur dari Papa dan Mamaku hanya untuk mengambil balon merah yang tersangkut di bianglala. Mama sampai menangis karena kehilangan ku saat itu," Celetuk Maxime. Melihat anak-anak kecil itu, ia jadi mengingat masa lalunya.
"Iya, tapi Kak Maxie berhasil mengambil balonnya lalu memberinya padaku," Balas Eleanor.
"Yap, aku jadi teringat semuanya jika berada di sini."
"Kak? Kenapa Kakak tidak malu berdekatan denganku?"
Maxime menoleh ke kiri dengan satu alis yang terangkat,"Maksudmu?"
"Maksudku... Aku bukan gadis yang populer. Orang-orang bisa salah menduga apabila melihat kita bersama-sama," Jawabnya. Maxime hanya mengendikkan bahunya sembari memakan es krim miliknya.
"Kenapa begitu? Aku akan pukul semua orang yang berani mengatakan itu padamu. Kau sebut saja siapa, biar aku yang pukul."
Eleanor memainkan sendok es krimnya sembari tersenyum kecil. Tinggal dua bulan sebelum hari kelulusan mereka, apakah Maxime tetap akan bersikap sama kepadanya?
"Terima kasih, Kak Maxie. Aku senang menjadi sahabat mu."
Maxime menatap Eleanor. Dia tidak tahu apa yang sedang dalam pikiran Elea saat ini, tapi apakah gadis itu tidak ingin memiliki hubungan yang lebih daripada sahabat? Pacar mungkin?
"Apa kau menyukai seseorang, Elea?"
Eleanor sedikit terkejut mendengar pertanyaan Maxime, tapi buru-buru ia mengendalikan ekspresinya lagi. Dia tidak mau ketahuan sekarang.
"Uhm... Tentu saja ada. Aku menyukai seseorang."
Maxime sedikit mengepalkan tangan. Siapa pria sialan yang berhasil merebut hati Eleanor? Apakah itu Ethan?
"Siapa dia?"
"Eh? A-Aku tidak bisa bilang... Uhm..."
"Ciri-ciri saja. Beritahu aku!" Paksanya.
Eleanor menelan ludah lalu menundukkan kepalanya sedikit.
"Dia memiliki bulu mata yang tebal, matanya coklat cerah... Dan dia selalu ada jika aku membutuhkannya."
Maxime masih mencerna kata-kata itu. Entah kenapa dirinya malah menyangkutkan ciri-ciri tersebut dengan Kakaknya sendiri, Ethan. Pria itu punya mata coklat yang paling cerah daripada Maxime dan Elliot. Dia selalu terlihat apabila Eleanor bersedih. Jadi maksudnya, Ethan adalah pria yang dicintai oleh Eleanor?
"Apa aku mengenalnya?"
"Iya, Kak Maxie sangat mengenalnya."
"Boleh aku menebak?" Tanyanya dengan suara lesu. Eleanor terperanjat, punggungnya tiba-tiba menegang karena Maxime pasti sudah tahu siapa yang dia maksud.
"Apa itu Kak Ethan? Kau menyukainya?"
Bahunya kembali melemas. Elea kira Maxime telah menyadarinya, tapi pria itu bahkan tidak berpikir kalau Eleanor menyukainya.
"Aku tidak akan bilang, Kak. Suatu saat nanti kau tahu."
Angin berhembus kencang ke arah mereka. Maxime dan Eleanor saling berpandangan tanpa ada satu pun dari mereka yang hendak memulai obrolan lagi.
Maxime tidak mengerti kenapa Elea tidak menyukainya? Apa yang salah? Apakah selama ini perhatiannya kurang, sampai Elea pun tidak mau menyukainya?
"Elea... Apa kau masih ingat janji kita saat masih kecil?"
"Janji?" Ulangnya. Maxime meraih telapak tangan gadis itu lalu menaruhnya ke depan d**a.
"Janji kalau kau dan aku akan menikah saat kita sudah dewasa."
Eleanor terdiam seribu bahasa. Janji itu? Bagaimana dia bisa melupakannya di saat Eleanor selalu memimpikannya setiap malam. Dia akan menikah dengan Maxime lalu hidup bahagia.
"Tentu saja..."
"Kau akan menikah denganku? Apa kau mencintaiku?"
"Ke-Kenapa Kakak menanyakan itu?"
"Karena aku tidak akan tinggal diam apabila kau mengkhianati janji kita, Elea. Kalau sampai kau menikah dengan Ethan atau pria lain, aku benar-benar akan pergi jauh darimu."
TBC