Bab 7. Pasangan Gila

1359 Kata
Ketika bangun tidur Rania disambut beberapa paket yang tertulis nama merek salah satu brand pakaian. Ada sekitar 15 paket yang belum berani ia buka karena merasa tidak memesan paket. Ia memilih menjalankan rutinitasnya seperti biasa, memasak dan membereskan rumah. Sebelum melanjutkan pekerjaannya mencuci, Rania menyiapkan makanan untuk Najwa terlebih dulu. Anak itu sudah lebih lebik meski terkadang masih merengek karena tangannya sakit. "Najwa habis makan nanti Mama temenin mandi, ya. Mama bangunin Mas Shaka dulu buat sarapan," ucap Rania. "Papa mana, Ma?" Najwa bertanya dengan suara yang khas anak kecil. Rania menipiskan bibir sebelum menjawab, cukup tergelitik juga mendengar panggilan Najwa yang sangat akrab. "Masih tidur kayaknya. Ini mau Mama bangunin, Najwa habisin makannya." "Mau Papa." Bukannya menuruti perintah dari Mamanya, Najwa beranjak melangkah ke arah kamar Shaka dengan kaki mungilnya. Rania kaget, berusaha menghentikan dengan mengejar. "Najwa sini sama Mama, jangan ganggu Mas Shaka." Rania menahan tangan anak kecil itu. "Papa!" Najwa terus menunjuk-nunjuk kamar Shaka, kini raut wajahnya tampak ingin menangis membuat Rania tak tega. "Nanti—" Tanpa menunggu ucapan Rania, anak kecil cantik itu langsung berlari ke kamar Shaka dan Rania pun terpaksa mengikuti dari belakang. Membuka sedikit pintu kamar memastikan jika keadaan kamar aman. "Papa!" Dengan penuh semangat Najwa masuk ke dalam kamar sambil berseru riang. Rania mencoba menahan langkah Najwa yang meminta masuk ke kamar Shaka. Tetapi langkah anak itu lebih cepat masuk ke dalam membuat Rania mau tak mau mengikuti dengan jantung berdegup sangat kencang. Pemandangan pertama adalah Shaka yang tertidur telungkup di ranjang tanpa menggunakan atasan. "Papa!" Najwa berteriak-teriak, memanggil Shaka dengan suara cukup nyaring. "Najwa Papa masih tidur. Ayo keluar." Rania mencoba membujuk tetapi kaget sendiri saat menyebutkan Papa untuk Shaka. Padahal Shaka bukan siapa-siapa, bukan Papa kandung Najwa maksudnya. "No, No. Mau Papa!" Najwa bergerak aktif, mencoba membangunkan Shaka. Tetapi cara yang digunakan anti-mainstream dengan menarik-narik bulu rambut di kaki Shaka. "Aduh! Aduh!" Shaka terjingkat kaget hingga terbangun. Kepalanya seperti pening seketika. "Sial! Siapa sih ganggu banget!" Bibirnya tak tahan untuk memaki, melirik anak kecil dengan mata bulat yang memandangnya penuh senyum itu. "Maaf Mas, tadi Najwa masuk pengen ketemu," beritahu Rania. "Papa naik." Anak kecil itu mengulurkan tangan ke arah Shaka. Shaka memijit kepalanya yang begitu pusing, sisa mabuk semalam lagi-lagi masih ada tapi dipaksa bangun dengan cara menyebalkan seperti itu. "Bawa sana anak kamu, Ran. Pusing kepalaku," kata Shaka dengan nada cukup kasar, menarik kembali selimut untuk membungkus tubuhnya. Najwa yang ditolak seperti itu sontak berwajah murung bahkan nyaris menangis. Rania langsung sigap meraih Najwa ke gendongannya karena paham Shaka pasti tidak ingin diganggu anak kecil, terlebih Najwa juga bukan anak kandungnya. Sebutan anak kamu sudah memperjelas jika Shaka memang tidak menganggap Najwa siapa-siapa dalam hidupnya. Apa yang aku pikirkan? Memangnya Mas Shaka menerima kami? "Najwa kita keluar yuk, habis ini temenin Mama belanja. Oke?" Rania membujuk dengan bahasa yang lembut, meraih anak itu untuk segera dibawa pergi. Ketika berada di ambang pintu, ada seorang wanita yang hendak masuk ke kamar. Wanita itu menggunakan pakaian super minim dengan penampilan paripurna. Rania mengingatnya, wanita itu wanita yang kemarin tidur dan menginap di Apartemen. "Nggak usah lihat-lihat gua, mau gua colok mata lu?" bentak Erika geram melihat tatapan Rania yang seolah mengintimidasi dirinya. "Punya mata 'kan emang dipakai buat lihat, masa saya buat nyapu." Rania membalas dengan sarkas. "Lu—" "Mau berbuat dosa lagi 'kan? Hati-hati deh, jangan sampai hamil. Yang rugi bukan situ aja, tapi anak yang bakalan kalian lahirkan nanti," sergah Rania memandang jijik kepada wanita itu. Erika hendak memaki tapi Rania langsung menyelonong pergi begitu saja. Erika geram pastinya, memilih mengabaikan dengan masuk ke dalam kamar Shaka. Shaka sendiri masih enggan beranjak dari kasurnya yang nyaman, semalam ia kembali mabuk dan pulang pada pagi menjelang. Selain itu ia kembali menghindari telepon Papanya yang terus meminta ia pulang dengan membawa Rania. Nggak penting banget. Shaka kembali melanjutkan tidurnya, tetapi beberapa saat kemudian terdengar suara wanita yang sangat familiar. "Shaka, aku datang." Erika mendekat, merendahkan tubuhnya di samping pria tampan itu. "Baru semalam nggak ketemu, kangen." Dengan gerakan nakal Erika menguasap perut Shaka lalu turun ke bawah. Shaka menggeliat, melirik ke arah Erika dengan sebal. "Ngapain lagi sih, Er. Gua lagi pusing." "Pusingnya butuh obat 'kan?" Erika tersenyum menggoda, kini tangannya begerak pelan mengusuap kebanggan pria itu. "Aku bantu obatin." Perlahan Erika menunduk mengecup bibir Shaka dengan mesra. Shaka yang masih berada di bawah kesadaran yang belum benar-benar pulih tak menolak, menekan kepala Erika agar semakin dalam mencium bibirnya. Saling meraba dan memeberikan sentuhan yang membuat hasrat meningkat pesat. Dalam beberapa saat Erika sudah duduk diatas Shaka dan bergerak berirama. Sesekali ia menjambak rambutnya sendiri karena frustasi akan rasa nikmat yang tercipta. Ia terus menekan dalam membuat desahan Shaka pun kian menjadi-jadi. Di luar Rania yang baru saja selesai menggiling baju dibuat kaget dengan suara-suara menjijikan dari arah kamar Shaka. Suara dari sang wanita lebih keras membuat bulu kuduk Rania merinding. Pandangan Rania lalu tertuju pada Najwa yang duduk diam sambil bermain di depan televisi. Rania geram pastinya, ia melangkah cepat menutup telinga Najwa agar tidak mendengar suara menjijikan itu. Tetapi bukannya berkurang, suara menjijikan itu justru semakin menjadi-jadi. "Najwa nggak usah denger, Najwa nggak usah denger," bisik Rania. "Pasangan gila itu." Dengan begitu kesal Rania mendekat ke arah kamar. Ia melihat pintu yang tidak tertutup rapat. Pantaslah suara menjijikan itu terdengar sampai luar. Rania memegang handle pintu bermaksud menutupnya, sialnya matanya menangkap bayangan yang tak begitu jelas karena posisi kasur yang berada di depan pintu. "Shaka ahhh ... " Erika mendesah nikmat, menunduk mencengkram tangan Shaka yang berada di pinggangnya. Rania menutup mulutnya saat melihat Erika wajah Erika yang berkeringat itu. Hanya terlihat bagain wajahnya yang terus bergerak tapi sudah menggambarkan apa yang terjadi di dalam sana. Dengan penuh kekuatan Rania menarik pintu dan menutupnya dengan keras. "Pasangan menjijikan! Mati aja sana!" maki Rania begitu marah hingga menendang pintu sebagai pelampiasan. Kedua manusia yang berada di dalam tak terganggu dengan suara itu. Shaka justru semakin menggila, dan anehnya dalam bayangannya saat ini ia sedang bersama wanita yang kemarin beru saja dinikahi. "Rania ... " Shaka mencabut miliknya begitu semua tertuntaskan, membuat Erika langsung ambruk begitu saja. Shaka sempat melumat bibir wanita itu sebelum pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "b******k! Kenapa jadi kayak gini sih." * Rania benar-benar ingin sekali marah. Ia mengajak Najwa ke luar Apartemen karena jijik dengan sikap pria yang telah menjadi suaminya itu. Sepertinya hidupnya ini benar-benar ketiban sial yang terus-menerus. Rania meninggalkan kamar bersama Najwa, ternyata bersamaan dengan pasangan gila yang juga keluar dari kamar dengan wajah yang sama-sama segar. Rania begitu jijik hingga enggan untuk menoleh. "Er, kamu keluar dulu. Aku mau bicara sama dia," titah Shaka. Erika melirik Rania sekilas lalu mencium bibir Shaka. "Aku tunggu di mobil, ya," kata Rania lembut mendayu, masih merasa membutuhkan Shaka untuk membiayai gaya hidupnya. Shaka menunggu sampai Erika pergi lalu mendekati Rania yang langsung menghindar. Jijik rasanya karena pria itu baru berbagi desahan dengan wanita binal yang batu saja keluar itu. "Apaan sih, Ran?" Shaka mengerutkan dahinya kesal. "Mas Shaka yang apa-apaan? Mas tahu nggak apa yang Mas lakuin ini menjijikan?" sentak Rania. "Aku nggak mau ngatur-ngatur sebenernya, tapi selagi masih ada aku sama Najwa jangan coba-coba ngelakuin hal menjijikan itu lagi," ucap Rania penuh penegaskan. "Lah ini Apartemen aku juga." Shaka menjawab acuh. Sengaja pastinya ingin tahu sampai mana Rania menahan diri. "Aku habis ini mau keluar, mau liburan sama Erika. Kalau Papa datang kamu bilang aja aku kerja ke luar kota." "Maaf Mas, aku kerja disini bukan buat dukung kebohongan Mas Shaka. Kalau emang Mas Shaka mau seenaknya aja, aku resign mau pindah kerja," tolak Rania langsung. Enak saja, dia mau berbuat dosa aku diajak nutupin dosa. Jijik! "Kamu itu istri aku sekarang." Rania tertawa kecil mendengarnya. "Ya memang, tapi suami aku juga nggak bisa diatur. Ngapain aku harus nurut," kilah Rania. Jangan harap ia akan patuh begitu saja. Shaka menyipitkan mata, tidak menyangka jika Rania semakin berani padanya sekarang. Ia tahu perbuatannya memang sangat salah, tapi ia juga tidak ingin tunduk kepada wanita. Sudah cukup dulu Berlin menganggap dirinya remeh, sekarang mana mungkin ia akan mudah takluk. Ia tersenyum jahil. "Kamu kayaknya sewot banget, kenapa Rania? Cemburu?" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN