Tertembak.

1146 Kata
"Jadi apa kamu serius minta menikah dengan saya?" tanya Bima penuh kesungguhan. Menjaga postur tubuh tetap tegap, yang dapat membuat terlihat lebih berwibawa. "M–menikah? Memangnya aku tadi bilang bersedia dinikahi?" Arafah berpura–pura lupa, enggan balik menatap Bima yang fokus memandangnya. Sedang yang ditanya tersenyum getir. "Allah Subhanawata'ala menjadi saksi apa yang baru kamu ucapkan pada saya sesaat lalu, Arafah." "Komandan sendiri berkenan menikah denganku?" tutur Arafah yang terdengar serius. "Kita bahkan belum mengenal satu sama lain." Pria berseragam itu diam sebentar, berpikir cukup lama sebelum menjawab. "Bila kamu adalah wanita yang baik agamanya—baik akhlaknya, dan bila pada akhirnya Allah takdirkan serta membawa saya pada keputusan itu, saya bersedia." Arafah merasa jantungnya berdegup kencang, jatuh ke perut kala Bima menerima permintaannya. "A–aku hanya bercanda tadi!" katanya beralasan. Sejujurnya perempuan berkerudung itu hanya ingin menguji keseriusan Bima dan janjinya kala mengatakan akan menjaga Arafah yang kini sebatang kara. Maka Arafah sama sekali tidak berharap Bima akan menanggapi serius ucapannya. Yakni berupa permintaan tak masuk akal terkait pernikahan. "Komandan!" seru seseorang menghentikan obrolan Arafah dan Bima. Sontak dua manusia yang mulanya tengah asik bercengkrama itu menoleh pada sumber suara. Dimana tergopoh–gopoh prajurit bersimbah darah menemui Bima dengan raut wajah takut dan paniknya. "Kopral Arga, kau—kenapa?" Bima bertanya dengan bibir bergetar. "Apa yang terjadi, kenapa kau berdarah–darah begini?" "Komandan, K–kopral Wisnu tertembak!" jerit yang dipanggil Arga. "D–dia, dia mencoba melindungi saya sampai akhirnya terkena peluru." Raut wajah Bima lantas berubah. Dari yang semula tenang dan lembut memandang Arafah, berubah tegang dan cemas bukan main. "Di mana Wisnu?" "Sedang bertemu dokter. Keadaannya tidak bagus." "Kau sendiri tidak apa–apa?" "Aku aman, t–tapi Kopral Wisnu, saya takut mereka tidak bisa menyelamatkannya." Bima tidak menunggu sampai bawahannya tersebut selesai bicara, buru–buru pergi meninggalkan Arafah yang sejak tadi ikut merasakan kepanikan dan kegentingan yang ada. Rupanya menjadi seorang Pemimpin merupakan hal yang sulit. Arafah menyesal membercandai Bima dengan lelucon pernikahan hanya demi memastikan keamanan masa depannya. Padahal yang menjadi tanggung–jawab Bima bukan cuma satu—dua orang saja. Puluhan bahkan ribuan nyawa berada di tangan keputusannya. Diantara banyaknya beban dan tugas prajurit tangguh itu, Arafah mustinya bersyukur dia mendapat kesempatan mengenal dan dibantu oleh Bima. Bukanya membangun keragu–raguan dan curiga pada niat asli yang dimiliki lelaki berparas tampan tersebut. Sejak hari di mana Arafah mengetahui kalau prajurit bawahan Bima tertembak, maka sejak hari itu pula Arafah tidak pernah bertemu lagi dengan Bima di rumah sakit. "Sudah hampir seminggu," gumam Arafah. "Dia tidak ada kabar sama sekali." "Apa?" tegur perawat yang tengah menyuapinya, tertarik sebab mendengar Arafah bicara seorang diri. "Tadi bilang apa, Fah?" Arafah kaget saat menyadari apa yang dia pikiran rupanya terucap juga oleh bibirnya. "E–enggak, Sus. Bukan apa–apa," bual perempuan berlesung pipi tersebut. Sonya hanya mengangkat bahu, menganggap gumaman Arafah angin lalu. Perawat yang diamanahkan Bima memantau dan menjaga Arafah untuk menggantikan pria itu mulai akrab dan menjadi teman baik Arafah di rumah sakit ini. "Kamu sedang memikirkan seseorang, ya?" tebak Sonya, si cantik yang senantiasa berseragam putih dan mengenakan nurse cap. Arafah buru–buru menggeleng, berusaha setenang mungkin agar tidak ketahuan tengah kedapatan melamuni tentang Bima. "Sepertinya saya tahu siapa," goda Sonya disertai senyum jahil. "Orang yang kamu tunggu–tunggu kehadirannya itu, saya rasa saya bisa menduganya." Sebelum Sonya menyebut nama Bima, Arafah segera menyanggah segala yang dipikirkan perawat itu tentangnya. "Aku gak lagi nunggu siapa–siapa, Sus. Lagipula buat apa aku menunggu orang yang memang kelihatannya tidak peduli padaku," sarkas Arafah dengan suara sedikit bergetar. Walau tidak mengakui secara langsung serta terus–menerus denial, Arafah sadar dia mulai merasa kehilangan sosok Bima padahal kehadiran pria itu juga tak terlalu berkesan untuknya. Bima seperti kenalan lama yang tiba–tiba lenyap—kemudian menimbulkan ruang kosong yang tidak mampu dia jelaskan. Kesepian, kesendirian. "Bukan dia tidak peduli, Arafah." Sonya mengutarakan pendapatnya, mengoreksi kesimpulan yang ditarik mentah–mentah oleh perempuan cantik itu. "Namun memang ada kondisi–kondisi tertentu yang memaksa seseorang untuk pergi. Entah sementara atau selamanya." "Benar juga, apalagi dia pasti lumayan sibuk." Arafah bermonolog sedih. "Sebetulnya tidak sibuk–sibuk amat, sih. Tapi tanggung–jawabnya saja yang banyak." Sonya mengoreksi. "Menjadi seorang Komandan memang bukan hal yang mudah," sepakat Arafah. Sonya tertawa. "Ya begitulah. Komandan Bima punya banyak yang harus dia jaga dan urusi. Aku yakin dia bukan tidak peduli, tetapi memang terpaksa tidak bisa kemari." "Eh? K–kenapa tiba–tiba menyebut nama Komandan Bima?" seru Arafah yang terkejut menyadari pembahasan mereka begitu terang–terangan. "Kamu yang pertama kali berceletuk ini tentang Komandan, Fah." Sonya mengejek dengan matanya yang menyipit jahil. "Lagipula semuanya sudah dijawab sama wajahmu. Mengaku saja!" Demi menyembunyikan salah tingkahnya, Arafah membuang muka dan abai pada Sonya yang asyik tertawa. "Padahal dia sudah berjanji akan selalu di sini," ucap Arafah setengah berbisik. "Sekarang aku bahkan tidak tahu kabarnya, dan dia juga tidak tahu kemajuan apa terkait kondisiku—orang yang sudah dia selamatkan dan bantu." Sonya tersenyum teduh. Dia ingat pertama kali Arafah dinyatakan tidak bisa berjalan usai tindakan operasi dislokasi yang dilewati, perempuan malang itu menyalahkan semua orang akan apa yang menimpanya ini. Namun segala perspektif itu berubah. Tidak tahu apa yang dikatakan Komandan Bima sampai menyentuh hati Arafah hingga perlahan–lahan dia bisa menerima dengan ikhlas dan optimis menjalani rehabilitasi. "Mau tau satu hal, Fah?" "Tentang apa, Sus?" "Komandan Bima adalah orang yang paling tahu sejauh mana perkembangan dan kemajuan kondisi kakimu. Bahkan tanpa perlu kamu ceritakan detailnya ketika nanti kalian bertemu." Arafah tertegun cukup lama mendengar pernyataan yang diutarakan oleh Sonya. "Tapi dia tidak ada di sini," sanggahnya tak percaya. "Bagaimana dia bisa tahu?" "Meskipun dia tidak ada di sini, dia selalu punya mata dan telinga yang bisa melapor padanya, Fah." Sonya mengedipkan sebelah mata. "Aku juga dengar kalau banyak kenalan yang sengaja dia pesankan untuk menjaga dan membantumu di rumah sakit ini. Kau sekarang terkenal, Fah." Bima sungguh tidak bisa ditebak. Ada saja kejutan yang didapati Arafah tiap kali nama pria itu disebut. Hati Arafah berdesir hangat ketika mengetahui fakta yang jujur membuatnya tersipu. Dia merasa diperlakukan spesial oleh Bima sejak insiden penyelamatannya hari itu. "Tidak adil! Dia tahu semua tentangku—tapi aku tidak bisa tahu apa yang terjadi padanya." Arafah membalas getir, sengaja mencucukan bibir bawahnya. "Pada siapa aku bisa tahu apakah dia baik–baik saja atau tidak?" Sonya ikut prihatin karena dia juga tak bisa memberi jawaban atas pertanyaan Arafah. Sebab yang tahu tentang Bima—amankah dan baik–baik sajakah dia—hanya rekan militernya saja. Obrolan Arafah dan Suster Sonya terjeda karena keduanya mendengar suara dari luar kamar. "Dokter Pram," teriak salah seorang suster memanggil Dokter Spesialis Bedah. "Ada apa, Sus?” "Anda dibutuhkan sekarang juga di ruang operasi, Komandan Bima tertembak, Dok!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN