Pendonor.

1098 Kata
Arafah merasa pendengarannya seketika peka saat panggilan urgent itu membawa nama Komandan Bima—sosok yang sedari tadi tinggal dan mengusik pikirannya. Bukan hanya Arafah, perawat Sonya juga sama terkejutnya. Respon sebagai seorang nakes membuat wanita itu tidak perlu pengulangan untuk tahu siapa yang jadi korban dan membutuhkan bantuan dokter bedah secepatnya. "Fah, aku tinggal dulu—" "Tadi itu Komandan Bima yang kita kenal, Sus?" Arafah buru–buru bertanya, memotong kalimat perempuan di sebelahnya yang lebih dulu bicara. Arafah tahu kalau dia tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk memastikan berita yang baru didengarnya. Karena Arafah yakin Sonya juga mendengar teriakan sang rekan sejawat di luar sana. Perawat Sonya terlihat was–was, mata dan bibirnya bergetar walau samar. "Biar aku pastikan dulu, ya, Fah. Bisa jadi salah dengar," ucap ragu si perawat cantik. Arafah menahan pergelangan tangan Sonya yang berniat meninggalkannya, memaksa untuk ikut dan memeriksa. "Fah, nanti saja, ya. Setelah aku pastikan apa dia benar Komandan Bima atau bukan, baru nanti aku temui kamu lagi," tolak halus Sonya. "Panggilan yang diserukan tadi itu darurat, aku harus ke sana secepatnya." Yang sebetulnya, Sonya sudah tahu kalau hal buruk—sesuatu yang tidak beres memang sudah terjadi. Tidak ada nama Bima yang lain di rumah sakit ini. Seperginya Sonya, yang bisa dilakukan Arafah hanya berdoa. Dia menunggu dengan gelisah di hati yang tak kunjung mereda. Arafah tidak bisa bertanya pada siapa–siapa, tidak pula bisa minta bantuan karena memang tak mengenal siapapun ditempat yang tergolong baru baginya. Hampir setengah jam Arafah cuma bisa diam di ruangan sembari menunggu kepastian. Makin lama pikirannya makin tak tenang. Untuk pada akhirnya Arafah memutuskan keluar, susah payah dia dorong sendiri kursi roda dengan gerakan terbatas. Suasana rumah sakit yang terlampau sibuk tidak pernah gagal membuat Arafah dilanda cemas. Dia tatap satu persatu orang yang sekiranya bisa dan punya waktu untuk diajak bicara—paling tidak yang bersedia ditanya letak ruangan operasi berada. Arafah yakin pasien darurat dengan nama mirip Bima itu pasti sudah dibawa ke ruang operasi, ditindak secepatnya di sana. Setelah berputar–putar, penuh peluh keringat sebab lelah luar biasa, Arafah akhirnya menemukan tempat tujuannya. Gerakan tangan Arafah yang tengah bersusah payah menjalankan kursi roda seketika terhenti dikala matanya beradu pandang dengan sejumlah prajurit TNI. "T–tidak mungkin," ucapnya serak lagi tercekat. "Itu tidak mungkin dia, tidak mungkin Komandan Bima!" tolak perempuan yang masih terus denial. Leher Arafah seperti tercekik—nafasnya sampai di ujung tenggorokan. Perempuan yang pandangannya mengabur karena air mata itu juga kesulitan mencerna apa yang terjadi di depannya. 'Benarkah lelaki yang tertembak itu—adalah sosok yang sama yang mengucap janji akan menjadi walinya?' 'Mengapa Tuhan lakukan ini pada orang sebaik Bima?' Melihat orang asing menatap ruang operasi dengan wajah basah—sembab sebab menangis membuat salah seorang bawahan yang ikut duduk di kursi tunggu menghampiri Arafah. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemuda berbadan tegap, memerhatikan Arafah begitu lekat. Pandangan Arafah yang kosong sukses menjelaskan betapa terpukul dan shocknya perempuan berparas ayu tersebut. "Nona, ada keperluan apa—" "Apa dia Komandan kalian?" Yang ditanya Arafah itu diam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seolah sedang menimang apakah Arafah adalah orang yang pantas dan bisa diberitahu mengenai kabar besar yang terjadi. Tepat ketika pertanyaannya diiyakan, Arafah merasa dunianya untuk sekejap berhenti beroprasi. Hening—kosong—sepi. Sulit dia jelaskan karena hanya ada sakit dan sesak yang menghimpit dadanya kini. "Benar dia tertembak?" tanya Arafah seraya menegarkan diri. "Komandan Bima yang ada di dalam sana?" Prajurit tadi menundukkan kepala, menyatukan dua tangan persis bersikap layaknya orang yang tengah berduka. Arafah tidak sadar kalau dirinya kembali terisak. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasa. "Apa di dalam sana dia baik–baik saja? Apa luka tembaknya parah? D–dia pasti selamat, 'kan?" Sebelum runtutan pertanyaan Arafah mendapat jawaban, tim bedah—yang tidak lain adalah perawat Sonya—keluar ruangan dengan wajah panik. Mata indahnya pertama kali beradu pandang dengan Arafah yang letaknya beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sonya berusaha profesional dengan kembali fokus pada tugas–tugasnya. Dia keluar untuk mengabarkan kalau stok darah yang sebelumnya digunakan demi membantu keberlangsungan tindakan penyelamatan nyawa Komandan Bima menipis. Ditengah kegiatan operasi itu mereka membutuhkan stok darah tambahan. "Kami sudah cari, tapi tidak ada stok lagi, Sus." Prajurit yang bintang di seragamnya lebih banyak dari yang lain angkat suara. "Dari kami juga tidak ada golongan darah yang cocok untuk bisa jadi pendonor." Arafah mengangkat tangannya tinggi‐tinggi dan berseru dengan suara lantang. "Aku siap jadi pendonor!" pekiknya, percaya diri. Sonya menghampiri temannya itu. "Golongan darahmu?" "O negatif," kata Arafah. "Cepat lakukan tes padaku, Sus!" "Tapi, Fah—" "Aku akan baik–baik saja. Tolong, Sus. Ambil darahku!" Layaknya mendengar sebuah keajaiban, wajah Perawat Sonya sontak berubah—berseri‐seri. Golongan darah O– disebut sebagai donor universal karena bisa didonorkan kepada siapapun—tanpa memandang golongan darah si penerima. Sonya meraih telapak tangan Arafah dan mengusapnya pelan. "Kamu malaikat penyelamatnya, Fah. Tuhan kirimkan kamu untuk memberi dia kesempatan kedua." Siapa sangka kalau Arafah secara tidak langsung menjadi penyelamat untuk orang yang juga pernah menyelamatkannya. Sepasang itu seolah ditakdirkan untuk saling ada—saling bantu—saling berpengaruh pada hidup satu sama lain. Pertemuan ditengah perang konflik dua negara menghantarkan mereka pada takdir yang tidak diduga–duga. Selama proses pengambilan—tranfusi darah, Arafah tidak khawatir akan kondisinya yang masih belum pulih melainkan lebih mementingkan Bima yang belum selesai berjuang di ruang operasi. Doa tidak henti–hentinya dia lantunkan, semoga Bima diberi kemudahan dan mendapat belas kasihan Tuhan. "Jika Engkau bisa tunjukkan keajaiban dan mukjizat padaku, tolong beri hal yang sama pada Komandan Bima. Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan, Engkau Dzat Yang Maha Menyembuhkan." Arafah bermunajat dengan kesungguhan hati. Satu–satunya yang bisa Arafah mintai pertolongan ialah pada Sang Penguasa dan Pemilik Alam Semesta. Asy-Syafi'i—Maha Penyembuh. "Mampukan dia mampu melewati ujian–Mu ini, Ya Allah. Sesungguhnya aku adalah saksi bahwasanya dia adalah hamba–Mu yang baik lagi tak berdaya," isak perempuan yang masih memohon pada Rabb–nya. "Bila bukan pada–Mu, pada siapa lagi kami meminta." Sampai sebulan lalu, Arafah dan Bima hanyalah dua orang asing yang tak saling tahu. Tapi kini rencana Tuhan membawa mereka pada hubungan saling membutuhkan—saling ketergantungan. Arafah sudah begitu lama tidak merasakan kekhawatiran akan perasaan kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya. Dia tidak pernah sangka kalau orang yang akan membuatnya kembali merasakan ketakutan itu adalah Komandan Bima. Orang yang mengulurkan tangan dan menggenggam Arafah erat ditengah keterpurkan dan titik terberat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN