Pengakuan Bima.

1139 Kata
"Sudah berapa hari saya tidak sadar, Arafah?" tanya Bima masih setia meminta perempuan dengan kursi roda itu duduk di sebelahnya. "Tidak sampai berhari–hari," jawab yang ditanya. "Hanya hitungan jam karena efek anastesi setelah oprasi. Kenapa memangnya, Komandan?" Bima ber–oh ria. Dia menggeleng pelan seraya tersenyum. Kumis tipis di atas bibir menambah kesan maskulin yang membuatnya makin menawan. "Cuma penasaran. Pasalnya kamu banyak sekali berubah. Tidak seperti Arafah si perempuan di bawah reruntuhan yang saya temui." Arafah ingin mengungkit alasan mengapa dia bisa terlihat berbeda. Mereka berdua sudah tidak pernah bertemu hampir berminggu–minggu lamanya. "Tentu saja berubah, sudah dua minggu sejak terakhir kali kita bertemu. Anda sendiri tidak pernah datang lagi ke rumah sakit sejak hari itu." Arafah menyindir dengan nada ketus. "Sekadar mengingatkan. Kilas balik karena seseorang pernah mengatakan sebuah janji, tapi tidak terlihat usahanya menepati." Bima meneguk salivanya gugup, memutar otak menata bahasa. "Fah, saya—" "Apa?" sentak Arafah yang seakan memojokkan Bima. "Saya minta maaf," kata pemuda dengan suara bariton serak khasnya, menyesal bukan main. "Saya tidak punya pembelaan sama sekali, Arafah. Saya yang salah." Arafah menghela nafas, ditatapnya Bima dalam–dalam. "Kopral Arga sudah ceritakan semuanya," ucap si pemilik mata teduh tersebut. Usai jeda, Arafah kembali bicara. Nadanya lebih lembut dan halus. "Anda pasti sangat menderita dan kesulitan, Komandan. Kenapa memilih untuk memendam semuanya sendirian?" Sang Pimpinan di batalyon itu tertegun cukup lama. Baru kali ini ada yang iba dan mendahulukan perasaannya. "Apa yang terjadi dan menimpa Kopral Wisnu bukan salahnya Komandan. Hari itu, yang tertembak sudah ditakdirkan terkena tembakan. Yang meninggal sudah digariskan sahid—gugur didalam perjuangan," terang Arafah menenangkan. Menciptakan ruang agar Bima mampu berpikir lebih realistis dan dapat berdamai sehingga tidak lagi hidup dalam penyesalan. "Sekali lagi itu bukan karena Komandan," sambung Arafah, diusap pelan punggung tangan Bima, memberi kekuatan. Pandangan Bima meredup, tenggorokan seperti terkecik saking kering dan seraknya. Dari kosong tatap mata tegas itu terukir penyesalan dan kesepian yang mendalam. "Saya takut itu terjadi karena saya yang kurang berusaha, Arafah." Bima mengutarakan kegundahan serta kegelisahan hatinya. "Sebagai Pemimpin, mereka semua mengandalkan saya. Keluarga mereka juga bergantung pada saya, berharap mampu melindungi dan menjaga para prajurit, memastikan mereka tetap selamat dan tidak terluka." Selama Bima bicara, Arafah tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari sosok berahang tegas tersebut. Sorot mata yang selalu kelihatan tegar nyatanya punya luka dan rapuh luar biasa. Arafah berbisik lirih. "Aku tidak bisa bayangkan segelap dan sedingin apa dunia yang Anda hadapi, Komandan." Bima terhenyak. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat mendengar penuturan Arafah. Tidak sampai di sana, perempuan bertubuh kurus ringkih itu mendekat, mendekap Bima erat. Punggung belakang yang tidak pernah aman dari incaran tembakan dan pukulan para musuh itu dipeluk—diusap pelan. Sembari terus memberi elusan lembut, Arafah terisak diantara sedihnya. "Mulai sekarang, jangan tutupi dan pendam semuanya sendiri. Kalau butuh tempat untuk cerita atau berbagi, aku di sini." Arafah bermonolog dengan penuh kesungguhan. "Komandan bisa cerita, walau tanpa penyelesaian setidaknya bisa sedikit lebih lega." Bima bagaikan anak kecil yang tengah pulang mengadukan betapa sulit dan kejamnya dunia. Arafah menjelma menjadi rumah yang telah lama dia impikan keberadaannya. Sesuatu yang tidak pernah Bima rasakan. Sebab seumur hidupnya, Bima cuma punya diri sendiri untuk bergantung. "Terima kasih banyak, Arafah," ucap pria bertubuh kekar tersebut. "Ini bukan apa–apa dibandingkan Komandan yang sudah bertaruh nyawa demi selamatkan aku di hari itu." Arafah mengulas senyum saat mengutarakan tentang rasa syukurnya. Menyambung jeda yang sempat terjalin diantara mereka berdua. "Jika tidak ada Komandan, aku mungkin tidak akan dapat kesempatan kedua sebaik ini." "Kamu juga yang selamatkan saya, Arafah." Bima memotong kalimat perempuan anggun di sampingnya. "Saya berhutang selamanya ke kamu." "Maaf memotong percakapannya, Tuan dan Nona," ucap sebuah suara dari arah belakang. Berdiri Dokter muda berparas tampan yang tengah bersandar di kusen pintu dengan tangan bersila ke depan. Menatap dua pasang yang begitu asik berbincang. "Mau apa?" tanya Bima dengan nada ketus. Melirik tajam tamu yang datang tak diundang. "Mau bertemu si Cantik," goda Dokter Yudha seraya mengedipkan sebelah mata pada perempuan di depannya. "Apa kabar, Fah? Bagaimana perkembangan rehabilitasimu, lancar?" Bima menyernyit, sontak menatap Arafah yang menanggapi pertanyaan temannya dengan semangat. "Alhamdulillah, Dok. Berkat bantuan dokter dan staff medis di rumah sakit ini, aku pulih dengan cepat." Arafah membalas sopan. Tidak mampu membendung rasa penasaran, Bima memutuskan menyela percakapan dengan ikut bertanya. "Bukan bertanya kondisiku, kau malah fokus pada yang lain, Dokter?" "Memang sebelumnya aku ada bilang mau bertemu denganmu, Komandan?" sindir si tampan, kemudian tertawa cekikikan. "Sejak kapan kau dan Arafah dekat?" Bima mengintrogasi. "Saya bahkan tidak ingat apa pernah memperkenalkan kalian berdua." Pria bernama Yudha itu hanya mengangkat bahunya acuh. "Kami mengalir saja, sih. Kulihat ada perempuan cantik di rumah sakit yang selalu sendiri jadi kutemani. Mulai dari sana kami dekat—" "Jangan macam–macam kau Yudha!" sela Bima, melotot tak suka. "Arafah bukan perempuan yang bisa kau asal dekati, perlu kau tau itu." Arafah hanya menatap dua pemuda yang tengah berdebat di dekatnya sembari geleng–geleng kepala. Yudha tergelak. "Sudah sehat rupanya kau, Komandan. Syukurlah, berkurang rasa cemasku." Bima menyipit. "Kau kemari mau apa? Mengaku saja!" Dokter bersnelli putih itu mengangkat tinggi stetoskop yang semula menggantung di lehernya. "Memeriksa keadaanmulah, apalagi? Tapi karena kau sudah bisa berdebat, bahkan hampir mengajakku duel di sini, artinya kau aman. Kondisimu pulih dan membaik dengan cepat." Setelah mendengar penjelasan dari Yudha, amarah Bima berangsur mereda. Dia terpancing sampai–sampai lupa kalau karakter sang sahabat memang begini adanya. Suka menggoda—menyulut emosinya. Padahal Bimalah yang menitipkan Arafah pada Yudha dan nakes lain selama dirinya bertugas memimpin operasi militer. Ketidakberadaan Bima bukan berarti dirinya benar–benar melepaskan tanggung jawab untuk menjaga Arafah untuk menepati janjinya. Bima tidak pernah ingkar. "Saya harus sembuh, Dok. Seseorang sampai bertaruh nyawanya demi saya, maka saya harus sembuh," kata Bima seraya melirik ke arah Arafah. "Jadi?" Yudha menyimpan kembali stetoskopnya. "Apa pendapatmu?" seloroh pemilik lesung pipi sembari menaikkan sebelah alis. "Pendapat apa?" Bima balik bertanya, bingung hendak menjawab apa. "Tentang aku dan Arafah, apa ada harapan?" sambung Dokter Yudha, melempar kembali lelucon ala dirinya. "Makin ke sini aku makin sadar kalau Arafah punya wajah yang Cantik. Kita akan jadi pasangan serasi, Fah." "Serasi matamu!" Bima mendengus, membuat gerakan tidak nyaman dan memberi kode agar Yudha angkat kaki, lenyap dari pandangannya. "Si Cantik hanya untuk si Pemberani!" imbuhnya membusungkan d**a. Yudha memalingkan kepala, berpura–pura ingin muntah mendengar betapa percaya diri Bima bicara tentang gombalan recehnya. "Si pemberani siapa?" selidik Yudha, melempar umpan, sebuah pertanyaan menjebak. "Kau mau bilang Arafah hanya pantas untukmu, kau suka dengan dia?" Ucapan tersebut membuat dua orang yang Tuhan takdirkan bertemu dalam insiden antara hidup dan mati itu tiba–tiba merasa canggung. "Kenapa diam, Bim? Jawab saja, kau suka—tidak?" "Suka." Bima menyambar. "Karena itu jangan macam–macam dengan orang yang saya suka."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN