Bab 7.

1027 Kata
Malam tiba acara ngedate dengan seorang lelaki yang amat bikin Bella menahan sabar, kesal, jengkel, dan amarah. Semua berawal dari mamanya sendiri. Jenni. Sun Plaza tempat dimana Plaza mall paling dikunjungi oleh penduduk kaya raya. Ya tempat ini memang sangat dikunjungi semua memakai baju cantik-cantik. Sampai disini cuma cari makan Nelayan makanan khas Chinese atau Yam Cha. Seperti Li Hokkien, Ceker kecap manis, Pancake, lobak kue, dan lain sebagainya. Untuk makanan orang kaya raya hanya berdua. Benar bosan untuk Bella kali ini, mending ia tidur di rumah kalau soal malam minggu. "Tante!" teriak seorang anak kecil sudah hafal banget oleh Bella. Menoleh ke belakang, ketemu lagi dengan Kirana dan Fendy tentu tidak hanya berdua ada seseorang lagi yaitu Heni. Heni juga terkejut mereka berjumpa lagi di mall yang sama. Kirana yang tadi dalam gendongan Fendy turun langsung duduk di sebelah Bella. Heni merasa aneh sama Kirana kenapa bisa akrab banget dengan Bella "Mau ikut bergabung?" tawar Boby pada dua orang dewasa Terjadilah mereka bergabung makan bersama. Kirana duduk di pangkuan Bella. Heni merasa kesal saja, kenapa itu anak jadi dekat sama Bella. Fendy malah bercengkerama dengan Boby, ternyata pertemuan mereka sudah saling kenal satu sama lain. Fendy sangat kenal baik dengan Boby, karena setiap bulan Fendy selalu service mobilnya di usahanya Boby selain itu sparepartnya rata-rata lengkap. Dari mesin lama hingga yang baru. "Tante, Kirana sudah bisa makan sayur. Sorenya Kirana minta sama nenek Masaki. Ternyata enak banget, Hao Che! (Enak),” celoteh Kirana memberitahukan kepada Bella. "Benarkah.Wah ... bagus dong!" puji Bella mengelap mulut Kirana yang di penuhi oleh saus itu. Heni jadi gondok sendiri, dikira jalan - jalan kali ini bisa lebih harmonis lagi sama Fendy dan Kirana. Sebel banget kamu, Bel! Sok caper banget! - celetuk Heni dalam hati. Setelah makan bersama di nelayan mereka pun jalan bersama ke salah satu mainan. Katanya Kirana lagi pengen beli kostum untuk sekolahnya nanti. Boby sih oke-oke saja tidak terlalu mempermasalahkan. Hanya Heni seorang seperti pawang nyamuk nggak ada yang memperhatikan dirinya. Fendy malah senyum lihat putrinya sama Bella masuk ke tempat baju anak-anak. Untuk soal baju memang ahli Bella. Karena dia juga bidang usaha tersebut. Ada juga baju dari dia jual di mall ini.  Kirana malah tarik tangan Fendy untuk masuk. "Pa, ini bagus nggak Kirana pakai?" tanya Kirana pada Fendy. "Bagus!" "Tante yang pilihx" puji Kirana lirih Bella. Bella sih senyum saja, mengacak rambut Kirana. Boby senang bisa lihat senyum Bella pada anak kecil. Ia sendiri jadi cepat pengen nikah sama Bella biar punya anak seperti Fendy. **** Jalan-jalan telah berakhir, mereka pun berpisah di basement parkiran mobil. Kirana melambai tangan kepada Bella. Bella masuk ke mobil Boby.. Dalam perjalanan Bella sungguh bahagia bisa ketemu dengan anak itu lagi. Entah kenapa dia semakin suka sama kelakuan anak itu. Setiap ketemu selalu ada saja omongan serasa benar nyata punya anak sendiri. "Sepertinya kamu suka banget sama anak itu?" Boby memulai berbuka suara dari tadi hening. "Iya begitulah," respons Bella. "Kamu tidak ingin menikah biar mempunyai anak seperti putrinya Fendy?"  Bella senyum ciut, sepertinya Boby ingin cepat menikah bukan dirinya. "Tidak, belum waktu untuk mempunyai anak," jawab Bella datar. "Kamu tidak ingin punya anak seperti dia. Mungkin kita bisa melakukannya saat sudah menikah nanti," ucap Boby tanpa ada kode ba-bi-bu langsung lurus perkataannya. "Menikah? Sepertinya untuk soal pernikahan belum waktunya. Belum kepikiran sampai sejauh itu. Masih banyak yang harus aku fokuskan, mempunyai anak itu harus siap mental." "Siap atau tidak, itu sudah kewajiban kita sebagai orang tua." "Itu menurutmu, untuk aku belum. Menjadi orang tua untuk anak kedepan biaya segalanya. Itu harus memikirkan secara matang jangan hanya dari mulut saja." Ucapan Bella langsung di bungkam oleh Bobby. Boby juga tidak sampai kepikiran sejauh itu. Segalanya yang ia punya memang terasa matang, tapi untuk keluarga memiliki anak tentu ia sudah memikirkan namun untuk ucapan Bella ada benar. Harus memikirkan semua secara matang tanpa harus dengan omongan. "Untuk hari ini Terima kasih sudah ajak aku jalan-jalan. Dan Terima kasih juga untuk makan malam." Bella membuka sabuk pengaman lalu keluar dari mobil Boby. Bella menunggu mobil Bobby keluar dari area tempat rumahnya. Kemudian Bella masuk kedalam. Mamanya seperti biasa patroli menunggu anaknya pulang tanya kabar kencan malamnya. Bella sebenarnya sudah lelah sikap mamanya ini. "Bagaimana kencan malam bersama Boby? Apa mulai ada perkembangannya?" tanya Jenni pada Putrinya. "Ya begitulah, Ma. Seperti pengalaman Mama sama papa dulu bagaimanalah saat kencan pertama," jawab Bella malah kembali bertanya pada Jenni. "Itu kan beda. Zaman sekarang sama zaman dulu saingannya sangat jauh, Bella. Ya bisa saja Boby melamar kamu di saat kencan pertama. Bisa saja, kan!" "Ma! Please ... kali ini saja jangan ungkit soal lamaran ataupun pernikahan! Bella capek, Ma. Sudah berapa kali Mama bahas soal ini terus. Tidak capek apa?!" "Mama lakuin ini juga demi kebaikan kamu biar yang lain tidak asyik tanya kapan kamu nikah, kapan punya cucu. Mama juga pengen nimang cucu kayak saudara - saudara mama juga!" "Itu mereka, Ma. Bukan aku! Biarkan mereka berkoar-koar tidak perlu didengar! Bella mau nikah atau tidak, itu hak Bella. Itu keputusan Bella, Mama tidak perlu mengaturnya. Jodoh sudah diatur sama yang diatas bukan Mama!" Bella marah, kesal, bukan kali ini saja Bella ribut dengan mamanya sendiri. Ia juga lelah dengan yang lain terus membahas kapan menikah, kapan punya anak. Bella juga tidak akan ingin seperti itu. Cukup sekali terluka, terluka saja selamanya. Jenni menatap punggung putrinya masuk ke dalam kamar miliknya. Jenni merasa sedih, ia sendiri juga tidak ingin lakukan begini kalau teman-temannya serta sanak saudara selalu menanyakan kapan Bella menikah, kapan punya cucu. Jenni mengerti Bella begini juga karena sakit hati pada seorang lelaki tengah mengkhianatinya. Jenni juga ingin mengobati luka putrinya agar bisa kembali seperti dulu wajah yang ceria bukan dengan wajah yang dingin dan datar. Bella menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, menatap kembali langit kamar. Membayangkan lagi masalah-masalah pada kehidupannya. Sebuah buliran jatuh di sudut kelopaknya. Beginilah jika meluap kemarahan terhadap Mamanya, Bella hanya bisa menangis dalam diam bukan karena menyesal atau kecewa kepada mamanya. Bella mengerti demi kebaikannya. Tapi tidak dengan cara seperti ini melakukan itu. Jika bahas soal Boby, Bella benar seratus delapan puluh persen tidak ada hati apapun padanya. Tak ada yang mengerti keadaanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN