Alin tidak dapet menahan geramannya, mendapati penghinaan dari sosok anak kandung sang suami bersama istri pertamanya. Apa yang pria itu lakukan benar-benar sebuah penghinaan untuknya, dan juga suaminya. Bunga yang pria itu berikan—layaknya bunga yang ditaburkan di atas kuburan. Suaminya belum mati. Suaminya akan segera sembuh—yakin Alin. “Pergi kamu.” Alin menatap tajam pria yang masih menyungging senyum miring, sembari kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Mata pria itu meliar ke setiap sudut ruangan. Cara pria itu melihat—jelas terlihat menghina, dalam mata Alin. “Pergi,” ulangnya dengan memberi tekanan lebih kuat. Janu memutar kepala, sepasang matanya mengecil ketika sang pemilik melebarkan senyumnya. Menatap sinis ke arah seorang wanita yang sudah tidak muda lagi. Menatap penu