Haris sudah berdiri di depan pintu apartemen Janu, selama lima belas menit. Menekan bel beberapa kali, namun belum juga mendapati sang pemilik membuka pintu di hadapannya. Ia mendesah. Sudah berkali-kali mencoba menghubungi nomor milik pria itu, namun tidak juga dijawab. Pria itu berdecak, sementara kakinya melangkah—mondar-mandir, di depan benda persegi yang menjadi akses keluar masuk aparteman sang bos. Tangan kanannya masih menempelkan benda bernama ponsel di telinga. Nada sambung masih terdengar, dan pria itu terus menggumam, “Angkat… angkat… di mana sih, lo.” *** Janu melangkah keluar benda persegi yang membawanya dari basement ke lantai—di mana apartemennya berada. Kepala pria itu masih penuh dengan perbincangan singkat bersama sang nyonya yang sedang sakit. Setibanya di rumah sa