Daffin tak menyangka saja bisa bertemu dengan Joy di sini. Tapi kenapa wanita itu buru-buru pergi tanpa menyapanya? Pasti Joy tahu dirinya duduk di sini, bukan? Lantas kenapa malah menutupi dirinya seperti itu agar tidak terlihat?
'Dia memang wanita aneh, ceroboh, tidak tahu terima kasih. Sekarang dia menghilang begitu saja seolah tidak melihatku. Kenapa? Sudahlah, untuk apa aku memikirkan hal tidak penting itu?' Daffin kembali mengalihkan pandangan pura-pura tidak melihat keberadaan Joy.
Jujur saja, dari banyak wanita yang pernah ditemui, dia baru melihat karakter wanita seperti Joy yang ceroboh dengan berbagai keanehan sikap.
Joy terakhir menoleh ke arah Daffin sebelum melangkah keluar dari area food court. Dia tersenyum tipis merasa Daffin tidak melihat keberadaannya juga tidak menyadari kepergiannya. Dia bisa melangkah dengan tenang untuk pulang.
Setengah jam berlalu.
Daffin sudah selesai makan dan memutuskan untuk keluar dari Swalayan. Barang bawaannya hanya sekantung paper bag berisi apel hijau. Stok camilan di rumah habis, jadi dia mengisinya kembali.
Camilan Daffin bukan berupa kue ataupun coklat, tapi buah. Berbagai buah akan dia makan sebagai pengganti camilan. Tapi dari beragam buah, yang dia suka adalah apel.
"Aku pulang sekarang." Daffin melihat ke kursi kosong di sampingnya. Barang belanjaannya sudah aman ada di sana, takutnya dia lupa.
Daffin melaju mobil keluar dari tempat parkir swalayan. Keluar dari area parkir, pandangannya kembali dihadapkan pada sesosok yang menurutnya aneh. Ada wanita yang berdiri mematung dengan belanjaan banyak menunggu di tengah jalan.
"Kenapa kamu membahayakan diri menunggu di sini?" Daffin menghentikan mobil di samping wanita itu. Bukan untuk marah, tapi untuk memberitahu baik-baik demi kondisi wanita itu sendiri. Dia paling tidak bisa melihat orang lain menderita apabila bisa diselamatkan.
Wanita tadi menoleh dan membuat Daffin menekuk muka. "Joy?" Sungguh, Daffin tak habis pikir saja apa yang dilakukan Joy di tengah jalan seperti ini. Apakah wanita itu memang suka berkeliaran di jalan dan membahayakan diri juga pengguna jalan lainnya? Atau apa?
"D-Dokter Daffin?" Joy tersentak menatap manik cokelat gelap itu, sampai menarik mundur tubuhnya. Dia menghindari pria itu malah bertemu lagi di sini.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" ulangnya dengan pertanyaan yang sama dengan tatapan menyelidik.
Joy mendelik. "Menunggu angkot."
Sejak tadi, dia menunggu angkot yang lewat tapi terus penuh. Seandainya dia tidak membawa kompor dan peralatan memasak lainnya dia bisa jalan kaki sampai tempat kos. Tapi karena bawaannya banyak, jadi dia kesusahan membawa itu semua.
Daffin mengernyit melihat barang bawaan Joy. Ada kompor juga di sana. Sejenak dia diam sembari melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangannya bergantian. Sudah tiga menit dia berhenti di sini. Dia tak mau membuang waktu lagi.
"Kamu butuh tumpangan?" tawar Daffin.
"Nggak! Terima kasih. Sebentar lagi akan ada angkot yang datang."
"Yakin nggak mau?"
Joy menggeleng keras. Dia benar-benar tak ingin duduk semobil dengan Daffin. Dia tak mau saja menghadapi ucapan dingin dan tajam Daffin nantinya. Lebih baik dia naik angkot yang ramai dan penuh sesak. Meski panas tapi dia tetap merasa nyaman.
Daffin sekali lagi menggulir bola mata menyapu jam di pergelangan tangan. Waktu sudah berlalu 2 menit. Dia tak mau membuang waktu lebih lama lagi. Karena Joy menolak tawarannya maka dia segera melaju mobil pergi tanpa berkata apapun.
Joy hanya menatap kosong mobil yang sudah melaju menjauh meninggalkan dirinya. "Ck! Dia emang pria dingin tak punya adab. Pergi juga melenggang begitu saja tanpa pamit."
Joy lantas meneriaki angkot yang baru saja lewat di depannya hingga berhenti. Masih ada dua kursi kosong di sana. Dia langsung masuk sebelum ada penumpang lainnya mengisi kursi itu dengan barang bawaannya. Karena penuh, kompor diletakkan di atas angkot dan ditarik oleh sopir.
Daffin yang melaju pelan mobil melihat dari spion. Terlihat angkot yang membawa Joy bergerak maju di jalanan raya. Kini dia kembali berdecak. "Wanita aneh. Jelas ada tumpangan dan lebih nyaman dia malah memilih angkot yang berdesakan."
***
"Terima kasih, Pak." Joy turun di depan gang. Dia lantas masuk gang, berjalan kaki sejauh 500 meter sambil membawa barang bawaannya.
Tiba di kos, dia langsung menata barang yang dibelinya. Lelah! Itu yang dia rasakan.
"Harusnya aku terima tumpangan tadi." Setelahnya Joy tersadar seketika dan memukul kepalanya. "Kenapa aku malah mengharapkan tumpangan darinya?"
Mentari terbit kala Joy selesai sarapan pagi. Pagi ini dia tidak sarapan di warung Bu Sari, tapi masak sendiri. Hanya menu simple tapi itu lebih baik daripada terus makan di warung.
Joy kembali melangkahkan kaki kecilnya menuju ke Rumah Sakit Omnion. Langkah kakinya terasa berat, tapi dia hampir terbiasa dengan keadaan ini. Tiba di laborat, beberapa temannya sudah datang menyambutnya dengan senyum cerah, secerah mentari pagi ini.
"Ada apa kalian terus bersemangat pagi ini?
"Joy, kamu nggak tahu ya bila hari ini adalah hari ulang tahun Dokter Daffin?"
"Ulang tahun?" Sebelah alis Joy terangkat.
Pria dingin itu berulang tahun hari ini? Lantas apa hubungannya dengan dia? Dia tidak harus memberikan hadiah, bukan?
"Biasanya di hari ulang tahunnya, Dokter Daffin akan mengajak kita semua makan di sebuah tempat di jam makan siang nanti."
"Ya, sebaiknya kamu ucapkan selamat ulang tahun padanya sekarang, bila tidak, kamu nggak akan diajak nanti," canda Anita.
"Memang kalian sudah memberikan ucapan selamat padanya?"
"Sudah!"
Joy tiba-tiba meremang sendiri. Haruskah dia mengucapkan selamat ulang tahun tanpa ada temannya? Rasanya dia tak mampu melakukan itu.
Tradisi di rumah sakit ini sendiri adalah mengucapkan selamat ulang tahun di hari lahir setiap pekerja, siapa pun itu tak pandang bulu.
"Kalian memberikan kado juga?" Suara Joy agak serak ketika bertanya.
"Nggak! Tapi boleh bila kamu ingin memberikan kado."
Joy hanya mereguk saliva dengan berat. Mungkin bila yang lain memberikan kado, dia tidak akan memberikannya. Bukan masalah uang hal pokoknya, tapi masalah suka dan tidak suka. Joy hanya akan memberikan hadiah pada orang yang disukainya. Sedangkan Daffin? Dia tidak suka padanya!
Anita dan lainnya kemudian mendorong Joy keluar dari laborat agar Joy segera mengucapkan selamat pada Daffin. Mereka meninggalkan Joy di depan ruangan Daffin.
Di dalam sana ada beberapa orang yang bicara dengan Daffin. Mungkin memberikan ucapan selamat.
"Si-al! Apakah aku benar-benar harus masuk ke sana?"
Joy menata hati dan mental lalu melangkah. Mau masuk rasanya tak sopan. Sebab dia lihat Daffin bicara dengan seorang dokter lainnya, Dokter Hendra--urolog di rumah sakit ini setelah beberapa orang keluar dari ruangan Daffin, menunggu di samping pintu yang terbuka.
Dokter Hendra yang selama ini membantu Daffin menjalani terapi setelah mengalami kecelakaan itu.
"Dok, aku sudah menjalani terapi selama tiga tahun ini. Rasanya aku lelah menjalani terapi, seolah itu nggak ada harapan." Suara Daffin terdengar lesu.
Rasanya dia hampir menyerah dengan kondisinya saat ini. Sudah menjalani terapi namun kondisinya belum pulih juga hingga sekarang.
"Dok, terapi tetap harus dilanjutkan sampai selesai. Bila putus mungkin hasilnya akan berbeda. Untuk hasil maksimal memang diperlukan kesabaran ekstra. Kondisi aspermia itu hanya sementara dan memang dibutuhkan kesabaran untuk pemulihannya."
Joy mengatupkan bibir yang ternganga dengan telapak tangannya. Dia tidak bermaksud mencuri dengar pembicaraan mereka. Tapi percakapan mereka terdengar sendiri oleh telinganya.
'Masalah kesuburan? Benarkah Dokter dingin itu mengalami gangguan pada sistem reproduksi? Apakah ini yang tak bisa Anita katakan beberapa waktu yang lalu?'
Di saat Joy masih tersentak dengan informasi tersebut, dua pekerja wanita datang dan berhenti setelah melihat Joy.
"Kamu kenapa berdiri di sini? Mau mengucapkan selamat?"
Joy mengangguk dengan gugup sebagai jawaban.
"Kalau begitu jangan sungkan masuk saja dengan kami sekalian jangan tunggu di luar begini."
Suara pekerja tadi terdengar sampai dalam ruangan, membuat Dokter Hendra mengakhiri obrolan mereka.
"Sepertinya masih banyak yang mau mengucapkan selamat padamu, Dok. Kita bicarakan lain waktu."
Setelah Dokter Hendra keluar dari ruangan, Joy dan dua perawat tadi masuk untuk mengucapkan selamat.