Eps. 5 Fokus Pada Jalan!

1058 Kata
Sungguh, Joy merinding setengah mati melihat Daffin. Tadi saja saat mengantarkan hasil tes darah, pria itu sudah membuatnya takut. Dia berharap tak berurusan dengan dokter dingin itu lagi. Nyatanya dia barusan berada di ruangan Daffin. Sungguh mata pria tadi membuatnya takut. Ini mengingatkannya pada kejadian tiga tahun silam. Entah kenapa, dia merasa tatapan itu sama. Mungkin itu karena warna iris mata Daffin yang membuatnya teringat pada sosok pria asing yang telah menanam benih dalam rahimnya, meski mungkin Daffin tak ada kaitannya dengan kejadian itu. Joy kembali ke ruang laboran. Empat teman Joy yang baru saja duduk bersandar nyaman pada kursi, tersentak setelah melihat kedatangan Joy. "Joy, kamu kembali? Kamu sudah sadar? Apa kamu baik-baik saja sekarang?" Joy membeku dengan pertanyaan itu. Dia benar tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Bukankah tadi dia makan dengan temannya ini di kantin? Tapi kenapa tiba-tiba saja dia ada di ruangan dokter dingin itu? "Apa aku pingsan?" "Ya. Dokter Daffin yang menolongmu tadi dan dia bilang kamu syok." "A-aku pingsan?" Joy semakin bertambah syok saja mendengarkan penjelasan itu. Daffin menolong dirinya? Bukankah dokter dingin itu memberinya peringatan di awal pertemuan. Tapi kenapa dia menolongnya di saat dia pingsan? "Joy, duduk dulu." Laboran lain menunjuk serta menepuk kursi kosong di sampingnya. Joy duduk di kursi itu. Pelan dia susun punggung untuk duduk nyaman sembari meraup udara bebas. Sesak rasanya setelah bertemu dengan Daffin. "Apa kami menyebabkan kamu memendam sesuatu ? Jangan sungkan untuk berbagi dengan kami. Kami terkejut tadi kamu mendadak pingsan." Joy merasa diperhatikan sekaligus tak enak hati di waktu bersamaan sampai temannya merasa bersalah padanya. "Nggak, kalian semua baik padaku. Bisa menerimaku dengan baik, terima kasih. Mungkin tadi aku anemia saja. Ya, biasanya sering gitu. Kalian nggak perlu khawatir." *** "Joy, apa yang kamu lakukan di sana? Kita sudah selesai dan mau pulang sekarang." tukas seorang laboran menatap Joy di sudut ruangan. Hari sudah sore dan saatnya bagi mereka untuk pulang. Di saat yang lain berbenah, Joy hanya duduk menatap kosong keluar jendela. Entah apa yang dipikirkannya. "Ya, maaf. Aku kurang konsentrasi." Joy kembali dari kesadaran. Padahal sebenarnya dia masih terpikirkan pada Daffin. Jujur saja dia datang ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak juga teman yang lebih nyaman daripada di tempatnya. Tapi nyatanya baru datang saja dia berurusan dengan Daffin. Rasanya hari-hari ke depan di rumah sakit ini terasa berat. Joy kemudian beranjak dari duduknya mengikuti teman yang lain keluar dari ruang laborat. Di tengah jalan dia kembali bertemu dengan Daffin. Pria itu menggunakan masker bersama dua dokter lainnya, terlibat suatu percakapan serius di depan ruang bedah. Meski wajahnya tertutup oleh masker tapi Joy langsung bisa mengenali sosok Daffin dari matanya. 'Jadi ... dia sibuk sekali di rumah sakit ini. Sepertinya dia tak ada waktu untuk dirinya sendiri.' Sejenak tatapan Joy dan Daffin beradu, namun Joy segera menunduk memutus pandangan. Rasanya tak kuasa dia menatap mata cokelat itu setelah kejadian barusan. 'Joy? Dia sudah pulang. Dia sama sekali sudah lupa dengan penolongnya. Aku nggak tahu wanita zaman sekarang, apa seperti itu? Malu atau takut mengungkapkan rasa terima kasih? Kata ajab yang simpel sekali.' "Dokter Daffin, jadi bagaimana dengan rencana bedah untuk pasien di kamar VIP?" "Apa tadi?" Daffin yang teralihkan mencoba fokus kembali pada rekan dokter. "Dok, mengenai treatment untuk pasien di kamar VIP yang merupakan kerabat dari pemilik Rumah Sakit ini bagaimana?" Rekan dokter sampai mengulang menjelaskan. "Itu ... rasanya kurang pantas bila kita berdiskusi di sini, selain ramai juga kurang nyaman. Lebih baik kita masuk dulu ke ruang diskusi." Dokter lain setuju dengan usul Daffin. Mereka kemudian masuk ke ruang diskusi yang biasa digunakan untuk para dokter berdiskusi bila ada sesuatu yang serius. Di luar rumah sakit. Joy kembali mengayunkan langkah kaki kecilnya menuju ke tempat kos. Bila dirasakan kakinya terasa pegal padahal Joy tak mengindahkan rasa itu dan tetap mengayun langkah kecilnya. Tiba di kamar, Joy langsung menaruh tasnya ke meja kemudian berebah di tempat tidur. "Lelahnya ..." Joy memejamkan mata dan dalam waktu singkat tertidur. Dia bahkan sampai tidak mendengar suara dering ponsel di dekatnya. *** "Bu Sari, berapa semuanya?" tanya Joy setelah selesai sarapan pagi di warung makan pemilik kos. Hari ini juga Joy masih belum bisa memasak. Dia belum beli bahan dan perlengkapan memasak. Mungkin nanti atau secepatnya akan dia lengkapi semua. Karena dia harus mengencangkan ikat pinggang. Selesai sarapan, Joy buru-buru berangkat menuju ke rumah sakit dengan jalan kaki. Bahkan, sambil jalan Joy menenggak sebotol air mineral. Itu karena dia takut terlambat. Di tengah jalan terdengar suara dering ponsel yang mengharuskan Joy berhenti untuk mengangkat telepon. Joy berhenti tanpa memerhatikan sekitar. Dia terlihat antusias kala menerima telepon. "Halo Levin, kamu sudah mandi?" Joy bersemangat karena yang telepon adalah Levin. "Sudah, Bu. Kemarin Ibu tidak mengangkat telepon dariku kenapa?" protesnya dengan suara cadel yang membuat Joy rindu. "Maaf, Ibu kelelahan kemarin di hari pertama bekerja. Ini tadi mau telepon, buru-buru berangkat." Joy melanjutkan percakapan sambil jalan. Bila dia berhenti, mungkin akan makan waktu dan akan terlambat sampai rumah sakit. Hampir tiba di rumah sakit jalanan padat di sana semakin rapat. Dari belakang Joy ada sebuah motor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Pengendaranya buru-buru karena juga hampir terlambat masuk kerja sehingga naik dengan kecepatan tinggi. Terdengar suara klakson motor dibunyikan. Pengendara memberikan tanda peringatan pada Joy. Sayang, Joy kurang begitu mendengar di tengah keramaian dan fokus menelepon. Mungkin bila motor itu ada di depannya meski jauh dia bisa melihat ataupun menghindar, tapi bila di belakang bagaimana dia bisa tahu? Dari arah depan sana terlihat Daffin baru saja turun dari mobil. Dokter dingin itu berjalan sendiri memerhatikan jam di tangan. Meski belum terlambat, namun langkah kakinya cepat. Akan ada operasi dalam waktu satu jam ke depan. Dia harus bersiap dari sekarang. "Wanita itu lagi," decak Daffin kala menatap ke arah depan dan menangkap sosok Joy sedang berjalan. Dia lebih tidak suka lagi melihat wanita itu berjalan tanpa waspada sambil menelepon yang tentunya bahaya sekali. Suara klakson motor dari belakang dibunyikan lebih nyaring dan intens dari sebelumnya. Joy tidak menangkap suara itu, namun berbeda dengan Daffin. Dia mendengar suara peringatan tersebut. Dia pun tersentak karena mendapati ada sebuah motor yang melaju dengan cepat dari arah belakang akan menabrak Joy. "Joy, minggir!" teriak Daffin. Joy merasa seperti ada yang memanggil namanya. Dia menatap lurus, ada Daffin di depan. Sayang, dia tidak tahu kenapa pria itu memanggil dan terus fokus pada telepon. Malahan ia abaikan panggilan dari Daffin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN