Eps. 6 Nyaris Saja!

1250 Kata
Daffin bahkan berteriak lebih nyaring dari sebelumnya. "Joy, lihat di belakangmu! Ada motor! Cepat minggir!" Joy hanya menggulir bola mata saja mendengar suara teriakan dari Daffin. Dia malah berpikiran pagi-pagi begini dokter dingin itu sudah marah-marah, kurang kerjaan bila mendengarkan seseorang marah, bukan? Sedangkan dirinya tidak melakukan kesalahan. Baru juga bertemu masa harus mendapatkan omelan? Biarkan saja Daffin bicara sampai urat lehernya putus. Daffin bingung bagaimana lagi harus memperingatkan Joy. Dua kali sudah dia berteriak namun wanita itu tetap mengabaikan peringatan darinya. Padahal motor di belakang sana semakin cepat melaju dan itu bisa membahayakan Joy. "Astaga! Kenapa dia nggak mendengarkan peringatan dariku? Menyusahkan sekali!" Daffin tentu tak bisa membiarkan kecelakaan terjadi di depan mata. Sebagai dokter tugasnya adalah melindungi pasien sebisanya semaksimal mungkin ya dia mampu. Daffin berlari ke arah Joy. Dia menangkap lengan Joy, mendorongnya ke dinding di bawah kungkungan tubuhnya. Ponsel Joy sampai terlepas dari genggaman. Dia sendiri tersentak dengan aksi Daffin yang mendadak ini. "A-ada apa, Dok?" Daffin diam tak merespons. Membuat Joy semakin bingung. Kenapa Daffin tiba-tiba mengungkungnya begini? Joy bisa merasakan suhu hangat dari tubuh pria ini. Dia juga bisa menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh Daffin. Entah, rasanya Joy takut tanpa sebab hingga membuat jantungnya menghentak cepat. Mata Joy menangkap sebuah motor yang melaju dengan cepat melintas di belakang Daffin. Barulah dia tahu kenapa alasan Daffin mengungkungnya begini? Setelah motor tadi pergi dan Joy selamat, Daffin mengurai kungkungan. Kini tatapan tajamnya menghujam seolah mengadili Joy. "Apa yang terjadi bila aku tidak menyelamatkanmu? Pasti motor tadi akan menyerempetmu. Kamu fokus telepon di jalanan yang ramai dan tidak memerhatikan sekeliling. Lihat, bukan hanya kamu membahayakan dirimu sendiri tapi kamu juga merepotkan pengguna jalan lain!" Nada bicara Daffin tak ada lembutnya sedikit pun. Joy hanya membeku menatap Daffin sembari mengumpulkan keberanian setelah mencoba menenangkan diri. "Ah, m-maaf, Dok. Tapi terima kasih sudah menyelamatkanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi tanpa bantuanmu," balasnya canggung. Kali ini Joy meminta maaf dengan tulus. Namun Daffin hanya mendengkus kemudian menggulir bola mata sembari mengangkat tangan, melihat angka di jam tangan. Tanpa membalas dengan ekspresi dingin Daffin segera pergi begitu saja meninggalkan Joy masuk ke rumah sakit. Joy membuang napas berat dan panjang sekepergian Daffin. Sungguh dia masih cemas saja meski Daffin sudah pergi. "Halo ... Ibu ... Ibu kenapa diam saja?" Suara Levin masih terdengar memanggil dari telepon. Joy tersadar bila dia belum mengakhiri telepon dengan putranya. Dia pun mencari ponselnya yang tergeletak di dekat kaki dan mengambilnya, membawa ke telinga. "Levin, maaf jalanan ramai. Ibu sudah tiba di tempat kerja. Sudah dulu ya, nanti Ibu telepon lagi. Jangan lupa makan yang banyak biar kamu cepat besar." "Ya, Bu." Joy mengakhiri panggilan. Buru-buru dia memasukkan kembali ponsel ke balik saku baju. Hatinya masih cemas tak karuan tapi tak ada waktu untuk menenangkan diri lagi, atau dia akan terlambat. Dia pun masuk ke rumah sakit menuju ke ruang laborat. Di sana dia tiba awal. Hanya ada dia dan Anita di ruangan. Lima orang lainnya belum datang padahal menurutnya dia datang kesiangan, beruntung belum terlambat sampai ke sini. "Joy, kamu sudah datang?" sapa Anita menghampiri. ​ Joy yang masih terengah-engah mengeluarkan sebotol air mineral dan meminumnya, baru menjawab. "Ya, aku pikir terlambat." "Kenapa kamu sampai berkeringat begitu?" "Tadi di luar ada motor yang hampir menyerempet. Dokter Daffin menyelamatkan, tapi itu membuatku takut seperti ini." Anita terhenyak mendengar cerita Joy. "Dokter Daffin menyelamatkanmu? Lagi?" Joy mengangguk lemas. Bila bisa memilih dia juga tak ingin diselamatkan oleh dokter dingin seperti dia. Rasanya tidak bersyukur bila berpikir demikian, sudah diselamatkan tapi masih mengeluh. Tapi itulah yang dirasakan saat ini. "Dokter Daffin sebenarnya baik tidak seperti penampilannya yang terlihat dingin." "Tapi mungkin istrinya sudah terbiasa dengan sikapnya itu dan bisa menerima," jawab Joy datar dan tak ada rasa penasaran sedikit pun. "Dokter Daffin itu masih single. Sepertinya dia tak ada keinginan untuk menikah." Joy berkerut dahinya. Dokter tampan seperti dia tak berniat menikah? Itu aneh sekali! "Kenapa? Apakah Dokter Daffin gay?" Kemungkinan seperti itu ada bukan? "Hush! Nggak! Dia pria dewasa normal. Dia nggak menyimpang seperti itu." Ini membuat Joy jadi penasaran sekarang. Rupanya Dokter Daffin yang dingin punya suatu masalah yang tidak dia sangka. "Lantas bila nggak menyimpang apa masalahnya?" "Itu ... Dokter Daffin divonis asp--" Joy serius mendengar. Laboran lain datang bersamaan masuk ke ruang laborat dengan suara berisik. "Hampir saja kita terlambat. Joy dan Anita, kalian berdua sudah datang?" "Apa terjadi sesuatu di jalan sampai kalian datang kesiangan?" tukas Anita melihat temannya yang datang dengan penampilan kacau seperti habis kena badai. "Ya, kami berlari dari tempat parkir kemari." Baru saja duduk, ada yang mengantar sampel darah dan sampel lainnya untuk diperiksa. Sample berlabel itu sudah ditaruh di meja pada tray. "Hasilnya ditunggu dalam waktu satu jam," ujar petugas medis yang mengantar. "Ya, baik. Kami akan kerjakan itu sekarang." Seorang laboran kemudian membagi sampel darah dan sampel lainnya pada laboran yang ada di ruangan, Joy juga kebagian. "Saatnya bekerja!" ucap Anita dengan semangat. Dia tak hanya menyemangati dirinya sendiri tapi bertujuan untuk menyemangati teman yang lain juga. Joy mengikuti Anita mengambil sampel untuk dikerjakan. Dia bahkan duduk di sebelahnya. Apa yang dibahas tadi tentang Daffin masih membuatnya penasaran karena terpotong dengan teman yang datang. Sekarang dia ingin mendengar itu lebih jelas lagi. "Yang kamu ceritakan tadi mengenai Dokter Daffin dia kenapa?" "Oh itu ... bagaimana bilangnya ya karena itu menyangkut aib seseorang. Nanti lah aku akan memberitahumu sekarang kita harus kerja dulu." Terpaksa Joy menutup rasa penasarannya yang masih tinggi. Sembari bekerja pikirannya berputar menebak-tebak sendiri kira-kira Ada apa dengan Daffin. 'Apa Dokter Daffin punya mental illness ya? Tapi apa? Phobia wanita begitu?' Joy merasa aneh dan tiba-tiba tersenyum sendiri. Membayangkan bila pria itu takut pada wanita. Pasti susah sekali hidupnya. Siang hari. Joy keluar ruangan untuk mengantarkan hasil tes ke beberapa dokter. Beruntung kali ini dia tak ada tugas untuk mengantarkan hasil tes ke dokter bedah. Dia masih canggung saja bertemu dengan Daffin setelah kejadian tadi. "Permisi, Dok. Hasil tes laboratnya sudah keluar." Joy bicara setelah mengetuk pintu. "Ya, tolong bawa sini." Joy menyerahkan beberapa amplop berisikan hasil tes pada dokter spesialis paru. Setelahnya dia kembali dan mengantarkan hasil tes ke beberapa ruangan dokter lain. Selesai mengantarkan hasil tes dia kembali menuju ke ruang laborat. Di tengah jalan dia melewati ruangan Daffin. Ruangan itu tertutup. Biasanya terbuka. Ini menandakan bila dokter itu tak ada di dalam, mungkin sedang bertugas di ruang operasi saat ini. Joy berhenti sejenak untuk lebih meyakinkan diri, apa benar Daffin tak ada di ruangan? Sepasang netranya bergulir menyapu jendela kaca yang tidak hanya terbuka. Kosong, tak ada siapapun di sana. Namun tiba-tiba saja dari belakang ada seseorang yang berhenti persis di belakangnya yang bersuara dengan suara beratnya. "Kamu mencari penghuni ruangan itu?" Joy tersentak kaget mendengar suara khas Daffin yang menyapa pendengaran sekaligus membuatnya merinding. Dengan berat dia menoleh ke belakang. "D-Dokter Daffin?" Daffin menajamkan sepasang matanya menatap Joy. Lengkap dengan sepasang alis gelapnya yang tebal menukik tajam mengarah padanya seperti busur. "Ng-nggak Dok, aku hanya lewat dan berhenti sejenak saja karena lelah." Daffin merasa aneh saja dengan jawaban Joy. Apa yang diinginkan wanita ini sebenarnya? "Apa kamu ingin tidur lagi di bed sana?" Joy menggeleng keras. Tentu dia tak mau lagi masuk ke sana, itu adalah bad experience untuknya. Bila bisa dia tak ingin pernah masuk ke sana lagi dan berurusan dengan Daffin. "Permisi, Dok." Joy pun langsung pergi dari sana dengan cepat. "Ada apa dengannya? Suaranya itu, aku seperti pernah mendengar suaranya. Tapi dimana?" Daffin menatap punggung Joy yang berlalu. Sungguh, dia merasa familier dengan suara Joy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN