Nana terus mondar-mandir dengan wajah gelisah. Pintu kamarnya kembali diketuk pelan. Ibunya berkali-kali mengatakan bahwa Redi menunggunya di ruang tengah. Nana memandang HP di tangannya yang bergetar. Sama sekali tak ingin mengangkatnya. Telepon dari Redi. Haruskah ia menemui? Setengah jam lalu, ia kirimkan pesan pada lelaki itu bahwa ia tak bisa menjadi istrinya. Pasti, Redi akan sangat marah padanya. “Nduk, Nduk, kenapa tak membicarakannya pada Ibu? Mau diletakkan di mana wajah ibumu ini, Nduk?” Nana duduk di bibir ranjang, dadanya bergemuruh hebat. Ia tarik ke atas simbol telepon warna merah, lalu menonaktifkan HP-nya itu. Setelah itu ia rebah di kasur, lalu menarik selimut. Nana tak tahu berapa jam ia terlelap. Saat terbangun, ruang tamu rumahnya sudah dimatikan. Pasti, ibunya da