Mazida diam. “Dan apa masih ada cinta sedikit saja di hatimu untukku?” Mazida tersenyum tawar sambil menghapus kasar air matanya. “Setelah apa yang terjadi, kamu masih bisa bertanya cinta? Lawak sekali.” “Zi, selama menikah, bagian mana yang membuatmu nggak yakin sama aku? Momen mana yang membuatmu ragu pada ketulusanku?” Mazida kembali bungkam. “Aku selalu berusaha memberi yang terbaik untukmu. Kita jarang bahkan nggak pernah bertengkar. Baru setelah mama membongkar semuanya, itulah pertengkaran kita paling hebat. Kamu terus minta pisah. Mama memintaku melepaskanmu. Aku dilema. Penyesalan terbesarku adalah menalakmu. Aku sangat menyesal untuk itu. Jadi, tolong. Bukakan pintu maafmu untukku.” “Aku mau balik. Tolong bukakan pintunya.” Mazida mengalihkan bahasan. “Tapi berjanjilah kit

