Altha mengembuskan napas panjang. Ia mengambil telapak tangan Mazida, lantas menggenggamnya erat. “Kenapa kamu berubah pikiran lagi? Janganlah kayak gini.” “Tapi perbedaan kita terlalu mencolok dan nyata, Mas. Aku hanya gembel. Sementara keluarga Mas Altha? Orang kaya raya. Aku merasa nggak pantas.” “Siapa bilang nggak pantas? Sayang, bukankah kaya, miskin, jelek, cantik, tampan, itu semua sama di hadapan Allah?” “Tapi–“ “Secara nggak sadar, kita sebenarnya sudah terhubung sejak dulu. Ayahmu menolong kakekku, menolongku, lalu mobil yang kutumpangi menabrak ayahmu, kita dinikahkan. Itu semua takdir yang sudah tertulis, Sayang. Masalah keluargaku kaya dan kamu sebatang kara, aku dan keluargaku nggak mempermasalahkan. Lalu apa lagi yang kamu risaukan?” “Aku takut.” “Apa yang kamu takut

