“Tha! Kamu ini apa-apaan! Kenapa malah mengusir Mazida?” bentak Novina. “Aku nggak ngusir, Ma. Sudah kubilang aku malah bahagia kalau dia mau tetap di sini. Tapi aku nggak bisa menahan kebahagiaan dan kebebasannya. Jika di sisiku dia tersiksa, aku rela melepasnya pergi. Mungkin kesalahanku terlalu fatal baginya sampai dia berubah drastis. Dia mirip patung hidup beberapa hari ini. Dengan pergi, mungkin dia menemukan kembali keceriaannya,” jelas Altha. Mazida menatap tasnya. Altha membuka tas tersebut. Dompet, ponsel, surat-surat penting, dan beberapa alat mekap sederhana dikeluarkan. “Semua masih utuh, Zi. Aku hanya menyimpannya, nggak pernah menyentuh sebelumnya. Baru kali ini. Apalagi sampai membuka isinya. Ceklah kalau nggak percaya.” Mazida masih diam. Mengecek ponsel? Untuk apa? Ti

